Untuk mengurangi risiko bencana di jalur sesar yang telah diidentifikasi dengan baik, termasuk di antaranya sesar Lembang, di Jawa Barat pemerintah akan memberikan peringatan ke publik, antara lain dengan memasang tanda-tanda bahaya.
Secara nasional, jumlah sesar baru yang ditemukan sebanyak 295 zona. Kemudian kajian Rahma Hanifa dari Pusgen dan tim menemukan, di area satu kilometer jalur patahan aktif di Indonesia terdapat 2.892 bangunan sekolah, 40 rumah sakit, 126 puskesmas, dan jumlah penduduk di area itu mencapai 4.103.975 jiwa.
Selain itu, terdapat infrastruktur transportasi sebanyak 11 pelabuhan, 21 terminal, 2 stasiun, 237 ruas jalan provinsi sepanjang 652,3 km, 31 ruas jalur kereta api dengan panjang 83,3 km, dan 15 ruas jalan tol sepanjang 20,1 km.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tugas pemerintah untuk memberi peringatan agar tidak lagi disalahkan kalau terjadi bencana. Suka tidak suka, masyarakat harus tahu risikonya. Berikutnya ke depan harus ada penataan ruang berbasis risiko bencana ini,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo saat berkunjung ke daerah bencana longsor di Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (11/1/2019).
Kunjungan yang juga dilakukan di daerah bencana tsunami di Banteng tersebut dilakukan bersama sejumlah pejabat instansi lain seperti Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Dwikorita Karnawati, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Geologi Kasbani, serta sejumlah ahli kebencanaan.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO–Bentang patahan atau sesar Lembang yang membentuk garis tengah yang membatasi antara kawasan perkotaan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (7/2/2012). Patahan ini menyimpan potensi bahaya bencana jika terjadi gerakan atau pergeseran pada patahan tersebut.
Pada kesempatan itu, Doni mengatakan, pengurangan risiko bencana akan menjadi prioritas BNPB. Meskipun begitu, dia belum menjelaskan kapan target pemasangan tanda-tanda bahaya di jalur sesar aktif tersebut.
Tantangan
Eko Yulianto mengatakan, berdasarkan kajian yang dilakukannya, sesar Lembang juga melalui banyak bangunan pemerintah seperti sekolah dan rumah sakit, termasuk juga bangunan militer, selain juga bangunan masyarakat. Sekalipun sudah ada Peraturan Gubernur Jawa Barat mengenai zona aman 250 meter di jalur sesar ini, masih ada bangunan yang baru dibangun di sana.
“Tantangan lebih sulit adalah bagaimana memindahkan bangunan eksisting ini, karena kalau pas di atas jalurnya diperkuat konstruksinya juga tidak bisa,” kata dia.
Kehancuran bangunan di jalur yang dilalui sesar aktif ini terlihat dalam gempa yang melanda Sulawesi Tengah pada 28 September 2018. Dari pantauan Kompas, kerusakan bangunan yang terjadi terlihat memanjang di kanan-kiri garis patahan yang bisa dilihat sebagai sebagai surface rupture atau retakan permukaan. Sepanjang jalur sesar aktif tanahnya bergeser secara horizontal dan sebagian juga vertikal.
Survei Pusat Gempa Bumi Nasional (Pusgen) menemukan, adanya pergeseran tanah secara lateral di Kota Palu hingga 5,8 meter. “Selain pergeseran horizontal, kami juga menemukan adanya pergeseran vertikal maksimal 3,5 meter,” kata Eko Yulianto.
Menurut Eko, jarak aman bangunan dari jalur sesar ini selain dipengaruhi oleh potensi kekuatan gempa dan kedalaman sumbernya, juga oleh kondisi tanahnya. “Untuk tanah endapan pasir yang tebal atau bekas rawa-rawa yang diuruk, potensi kerusakan bisa lebih tinggi. Bahkan, bisa menyebabkan likuefaksi,” katanya.
Dia mencontohkan, gempa berkekuatan M 7,7 yang berpusat di Samudera Hindia sebelah selatan Tasikmalaya, Jawa Barat pada 2 September 2009, di sekitar Lembang dan Ciwedey menyebabkan puluhan rumah rusak. Padahal jaraknya dengan sumber gempa sangat jauh. Sedangkan gempa yang berpusat di sekitar sesar Kampung Muril yang dilalui sesar Lembang menyebabkan 300 an rumah rusak. Padahal skala gempanya sangat kecil.
“Ini menunjukkan kondisi tanahnya yang lunak dan rentan memicu amplifikasi gempa. Daerah sana dulu adalah endapan rawa-rawa, makanya ada daerah di kawasan ini disebut Cihideng atau air hitam,” kata Eko.
Sekolah berisiko
Dihubungi terpisah, penggiat sekolah aman bencana yang juga Tenaga Ahli Kebencanaan dan Inklusif di Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Zam Zam Muzaki mengatakan, langkah jangka pendek yang akan dilakukan adalah dengan melakukan sosialisasi dan diseminasi informasi mengenai risiko ke sekolah-sekolah yang berada di jalur patahan.
“Daftar sekolahnya sudah ada sejak tahun lalu. Kami akan mengajak mereka untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana. Kami juga sudah membuat pedoman sekolah sekolah aman bencana secara daring bagi guru dan non-guru,” kata dia.
Sedangkan untuk jangka panjang, akan berkoordinasi dengan tim Kementerian PUPR dari Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan, Ditjen Ciptakarya dan Pemda setempat untuk melakukan kajian tentang kelaikan struktur bangunan serta mendorong perkuatan struktur bangunan.
“Untuk sekolah-sekolah yang berada 10 – 50 meter dari sesar mungkin akan menjadi pertimbangan dan direkomendasikan untuk relokasi. Karena pengelolaan dan aset sekolah ada di pemerintah daerah tentu ini menjadi advokasi yang akan selalu dikawal,” kata dia.
Eko juga mengusulkan, sekolah-sekolah yang berada di zona bahaya gempa bumi dikaji kelayakan strukturnya. Sedangkan dilalui jalur sesar aktif direkomendasikan untuk direlokasi.
“Kalau bangunan yang dilalui jalur sesar kalau gempa bisa dipastikan akan roboh sehingga mau tidak mau memang harus dipindahkan. Ini disebabkan adanya gelombang kejut saat gempa,” kata Eko.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 12 Januari 2019