Manggarai. Buminya subur nan kaya. Pemandangan hijau di sepanjang jalan yang kami lewati dari barat hingga ke tengah adalah bukti. Mineral mangan berkualitas tinggi menggoda orang mengambilnya, mengeruknya. Masyarakat Manggarai sejak lahir telah dibekali kekayaan yang tinggal mereka olah. Menjadi sejahtera mestinya bukan lagi sebuah mimpi.
Sepanjang perjalanan dari barat ke Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, bukit menghijau dan hamparan padi terentang panjang berselang-seling dengan bangunan perumahan sederhana dan amat sederhana. Wajah kemiskinan menjadi selingan di tengah janji kemakmuran.
Mashur, nenek moyang orang Manggarai yang berasal dari Tanah Minangkabau, mungkin tak pernah membayangkan bahwa di kemudian hari keturunannya harus berhadapan dengan tangan-tangan pemodal tambang yang mengoyak rajut kehidupan sosial-ekonomi mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mashur-lah yang memperkenalkan sistem pertanian dan perladangan kepada penduduk asli yang disebut orang Kuleng. Mereka juga mengajarkan penggunaan peralatan pertanian dari besi, mendirikan rumah besar, membuka kebun, dan mengenalkan api. Semula masyarakat asli hidup dengan beternak dan berburu hewan liar serta masih mengonsumsi daging mentah (Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, Damie N Toda, 1999).
Sebagai salah satu potongan dari lingkaran Cincin Api, Pulau Flores merupakan pulau yang amat subur karena kehadiran 13 gunung api. Di Manggarai, Flores Barat, Gunung Anak Ranaka merupakan yang tertinggi di Pulau Flores. Sementara, melalui proses geologisnya, Pulau Flores dikaruniai kekayaan lain berupa kandungan mineral dan logam.
Kisah kekayaan tanah Flores akan logam berharga bermula tahun 1854 dari pedagang Freijss yang terus berlanjut hingga terjadi kontrak kerja dengan pihak Belanda.
Belanda yang telah lama menginjakkan kaki di Ende mulai memasuki wilayah Manggarai tahun 1907. Belanda menguasai Manggarai secara politik dan ekonomi pada awal 1900-an hingga 1950-an. Pada masa itulah Belanda mengenalkan tanaman keras kopi, yang mereka bawa dari luar.
Pergolakan sosial politik di Manggarai telah terjadi lama sebelum Belanda menginjakkan kaki di Manggarai.
”… Pengaruh Kerajaan Goa dan Bima terhadap munculnya kekuatan-kekuatan politik di Manggarai merupakan dasar konflik sosial yang berkelanjutan pada waktu Belanda menguasai Manggarai.” (Stratifikasi Sosial, Robert MZ Lawang)
Kekacauan sosial dan peperangan terjadi di Manggarai jauh sebelum Belanda hadir. kekacauan itu baru reda setelah Belanda campur tangan. Belanda lalu menunjukkan kekuasaan politisnya dengan mengangkat Alexander Baroek pada tahun 1930 sebagai raja di Kerajaan Todo-Pongkor. Kerajaan tersebut menguasai 38 kedaluan (tingkatan di bawah kerajaan). Kerajaan tersebut di kemudian hari tercatat sebagai kerajaan paling berpengaruh di Tanah Manggarai.
Pada masa sekarang, jahitan kekerabatan dan kelindan masyarakat dengan lingko (lahan milik adat) masih melekat pada sebagian besar masyarakat Manggarai, terutama mereka yang hidup di luar wilayah kota.
Desa administratif eksis secara hukum (de jure), tetapi secara nyata (de facto) sebagian besar masyarakat yang tinggal di satuan masyarakat yang lebih kecil dari desa administratif masih menerapkan sistem stratifikasi sosial masyarakat makro Manggarai Tengah.
Segala aktivitas dan kegiatan di dalam masyarakat di suatu kampung masih dipimpin tua golo dan tua teno. Mereka masih tetap berpegang pada filosofi gendang one lingko pe’ang.
Gendang yang merupakan pusat komunitas dari garis ayah/patrilineal (wa’u) selalu terkait dengan lingko. Lingko adalah tanah milik warga gendang. ”Tak ada gendang, maka tak ada lingko, dan sebaliknya,” ujar Direktur Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC)-OFM Peter Aman, OFM.
Manggarai Raya
Setelah kemerdekaan Indonesia, Manggarai semula merupakan satu wilayah kabupaten yang meliputi daerah Labuan Bajo di sebelah barat hingga perbatasan dengan Ngada.
Tahun 2003 terbentuklah Kabupaten Manggarai Barat yang beribu kota Labuan Bajo. Tahun 2007 lahirlah Kabupaten Manggarai Timur dengan ibu kota Borong.
Pada era Bupati Antony Bagul, isu lingkungan menjadi hal utama. Prinsip dia, menyejahterakan masyarakat adalah dengan membuat masyarakat sehat dengan menyediakan lingkungan yang sehat pula.
Berpegang pada prinsip perlindungan lingkungan, Antony melarang warga menggantungkan hidup dari berkebun kopi di hutan lindung di Kampung Colol, Desa Ulu Wae, Kecamatan Pocoranaka, Kabupaten Manggarai Timur. Pada saat tanaman-tanaman kopi dibabat pemerintah, terjadi bentrok yang kemudian dikenal dengan ”Rabu Berdarah”. Enam warga Colol tewas. ”Saya sudah ada kesepakatan dengan warga sebelumnya,” ujar Antony. Sementara dari warga, diwakili Yosef Danur, merasa tidak pernah ada pembicaraan.
Isu lingkungan kemudian tak lagi mengemuka sejak Antony tidak lagi terpilih sebagai Bupati Manggarai Raya.
Wajah pertambangan
Secara perlahan, wajah pertambangan mulai menggantikan wajah lingkungan yang semula dirintis Antony. Kisah pertambangan dimulai tahun 1980-an ketika kekayaan Manggarai mulai diendus PT Aneka Tambang.
Pertengahan tahun 1990-an beberapa perusahaan pertambangan mulai masuk. Semua masih dalam rangka aktivitas pemetaan, studi kelayakan, atau eksplorasi pendahuluan.
Sementara itu, Badan Geologi juga melakukan berbagai survei. Dalam laporan Kertas Posisi JPIC-OFM Indonesia dituliskan, pemetaan dan penyelidikan geologi dan geokimia pada 1980-2008 antara lain menghasilkan kesimpulan adanya tembaga (Cu) yang disertai emas (Au) di sejumlah desa. Sementara mangan (Mn) antara lain ditemukan di Kampung Tumbak, Kajong, Lante, dan Meas.
Eksplorasi lalu seakan tak terbendung dan sebagian kemudian melanjutkan dengan penambangan. Orang Manggarai biasa berkata, ”Mangan di Manggarai tinggal diangkat, tak perlu digali. Sudah siap ambil.”
Lapisan mangan di Manggarai banyak berada di permukaan. Oleh karena itu, sistem peledakan menjadi pilihan kebanyakan usaha pertambangan.
Lalu, berbagai persoalan baru mulai menyapa masyarakat yang tinggal di daerah lingkar tambang. Mulai dari ledakan yang memekakkan telinga, debu yang menutupi permukaan tanah dan lahan serta tanaman, menyusutnya sumber air, intimidasi dari orang perusahaan, sampai tercerainya rajutan kekerabatan dalam wa’u.
Bupati Manggarai Christian Rotok selalu menegaskan, dirinya tak pernah mengeluarkan izin baru. ”Warga yang meminta ada tambang masuk. Mereka tiba-tiba sudah ada di kantor saya dan meminta saya memberikan izin,” katanya.
Sementara itu, Wakil Bupati Manggarai Timur Andreas Agas yang ditemui di Borong mengatakan, tanaman tak bisa tumbuh karena tanah panas akibat mengandung mangan. Maka, katanya, mangan harus dikupas lebih dulu, baru kemudian direklamasi dan pertanian mulai dikembangkan.
Kedua pemegang kepemimpinan daerah di dua kabupaten itu menegaskan, pertambangan untuk menyejahterakan masyarakat. Itu pula yang diserukan siapa pun pendukung tambang.
Pada kenyataannya, dalam hal ini di Manggarai, aktivitas pertambangan justru banyak merusak lingkungan pendukung pertanian dan peternakan. Koordinator JPIC Keuskupan Ruteng Marten Jenarut mengatakan, ”Tugas pastoral kami adalah memastikan keutuhan ciptaan.”
Muncul tanya di pengujung kisah: masih absahkah mimpi menjadi sejahtera itu? Kompas akan menuliskan serial hasil peliputannya.
Oleh: BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Sumber: Kompas, 9 Februari 2015
Posted from WordPress for Android