Dalam sejumlah bacaan mengenai sejarah penemuan tambang Ertsberg di Kabupaten Mimika, Papua, yang kini dikelola PT Freeport Indonesia, jarang diungkapkan peran Suku Dayak asal Kalimantan. Dalam bagian sejarah panjang penemuan tambang Ertsberg, yang artinya gunung bijih, Suku Dayak terlibat dalam sebuah ekspedisi di Tanah Papua.
Sejarah keterlibatan Suku Dayak diungkap dalam buku berjudul Tembagapura: The Mining Community, The Uniqueness and The Natural Beauty of Our Surroundings yang disusun PT FI. Buku itu diterbitkan Aksara Buana, 2011. Dalam buku setebal 326 halaman itu, keterlibatan Suku Dayak disinggung kendati tidak banyak.
Adalah Dr AH Lorentz yang memimpin ekspedisi besar pada 1907 yang didukung kekuatan militer Belanda dalam tim ekspedisi. Disebutkan, anggota tim mencapai ratusan personel. Dalam tim itu, ada sejumlah anggota Suku Dayak yang didatangkan dari Kalimantan. Tujuan ekspedisi itu memetakan pedalaman Papua dan mengumpulkan spesimen flora dan fauna.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Alasan Suku Dayak dipilih, selain mereka kuat dan tangguh menembus lebatnya hutan belantara Papua, Suku Dayak tahan menghadapi cuaca dingin pegunungan. Dalam buku itu tersaji foto Suku Dayak membuat perahu dari batang pohon, serta saat mereka menyeberangi sungai di hutan Papua. Tentu, dalam ekspedisi itu, peran anggota suku di Papua tak kalah kecil.
Pada akhirnya, ekspedisi Lorentz tak sampai menemukan tambang Ertsberg. Namun, dari ekspedisi, mereka menghasilkan sebuah peta dan berbagai informasi keanekaragaman hayati. Dari hasil ekspedisi itu pula, lahirlah ekspedisi berikut yang kemudian berhasil menemukan tambang Ertsberg. Pemuda Belanda, Jean Jacques Dozy, yang “berjasa” menemukan cadangan Erstberg yang kemudian menjadi cikal bakal raksasa Freeport menambang di situ.
Kini, polemik soal Freeport di tanah Papua-sudah lebih dari 45 tahun mengeruk kekayaan tambang emas, perak, dan tembaga- terus berlarut-larut. Pokok persoalan, selalu sama, masih pantas atau tidak operasi Freeport di Papua diteruskan? Pada 2021, kontrak mereka berakhir.
Dalam sebuah diskusi hilirisasi tambang yang dihadiri pelaku usaha tambang, seseorang dari bagian pelaku usaha itu berkata kepada Kompas. Jika Pemerintah Indonesia tak memperpanjang operasi Freeport, “Indonesia akan kacau!”. Lebih lanjut, ia memperjelas ucapannya itu bahwa kacau yang dimaksud, ancaman disintegrasi Papua dari Indonesia.
Betulkah begitu? Bisa iya, bisa juga tidak. Selama ini, kita selalu dibayang-bayangi kekuatan Amerika Serikat sebagai negara adikuasa di balik operasi Freeport. Untuk urusan perpanjangan operasi, jika perlu, pejabat setingkat Menteri atau bahkan Presiden AS langsung turun tangan melobi Pemerintah Indonesia.
Betul kata seorang pengamat energi, Indonesia harus bersatu dalam soal Freeport. Semua komponen bangsa harus kompak. Satu suara. Jika Suku Dayak dan suku-suku di Papua bisa bersatu dalam ekspedisi, bahkan saat negara Indonesia belum lahir, kini seharusnya kita bisa lebih baik lagi. (ARIS PRASETYO)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Desember 2015, di halaman 19 dengan judul “Suku Dayak dan Suku-suku di Papua Pun Bersatu”.