Dana penelitian dan riset di Indonesia masih rendah, baru sekitar 0,08 PDB. Pemerintah bisa melibatkan dana swasta untuk penelitian.
Anggaran riset dan penelitian di Indonesia belum memenuhi standar. Padahal potensi peneliti cukup tinggi. Perlu adanya regulasi untuk mendongkrak anggaran penelitian, termasuk dengan melibatkan pihak swasta.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI–Kepala Balai Penelitian Sembawa Sinung Hendratno (kiri) dan Direktur Riset dan Pengembagnan PT Riset Perkebunan Nusantara Gede Wibawa (Kanan) menunjukan lapisan ban vulkanisir dan beberapa barang turunan karetdi kantor Balai Penelitian Sembawa, Senin (15/4/2019). Penyerapan karet untuk keperluan domsetik di Indonesia masih rendah, untuk itu diperlukan pembangunan indusrtri hilirisasi karet untuk meningkatkan penyerapan karet.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hingga tahun 2018, anggaran yang diklaim pemerintah untuk penelitian dan riset sekitar Rp 24 triliun. Jumlah itu hanya sekitar 0,08 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Jika dikaji lebih jauh, dana Rp 24 triliun itu tidak murni untuk penelitian tetapi juga termasuk tunjangan dan gaji.
“Yang digunakan murni untuk penelitian sekitar 30 persen,” kata Wakil Ketua Himpunan Peneliti Indonesia (Himpenindo) Husein Avicenna Akil saat melantik pengurus Himpenindo Sumatera Selatan di Palembang, Selasa (18/6/2019).
Padahal apabila dilihat dari standar dana penelitian internasional, biasanya dana penelitian sekitar 1 persen dari PDB. “Malaysia saja dana penelitiannya sekitar 3 persen dari PBD-nya,” ungkap Husein.
Husein mengatakan, rendahnya anggaran untuk penelitian ini juga disebabkan belum adanya regulasi yang sesuai. Padahal, kata Husein, ada sejumlah cara yang dapat dilakukan agar anggaran penelitian anggaran penelitian bisa ditingkatkan. Salah satunya dengan melibatkan dana swasta misalnya melalui dana Tanggung jawab Sosial Perusahaan (CSR).
Pihak swasta mungkin bisa tertarik, jika pemerintah membuat regulasi yang memberikan kemudahan bagi perusahaan yang sudah memberikan anggaran untuk kepentingan penelitian. “Kemudahan itu bisa melalui keringanan pajak atau melalui insentif tertentu,” kata Husein.
Saat ini, ungkap Husein, ada anggaran abadi sebesar Rp 1 triliun yang bisa digunakan bagi peneliti melakukan penelitiannya. “Dana ini bisa diklaim oleh peneliti dengan mengirimkan proposal penelitiannya,” ungkapnya. Dana ini juga berbentuk hibah, dan tidak akan ditagih apa yang bisa diberikan kembali pada negara.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI–Staf dari Balai Riset dan Standarisasi Industri Palembang Kementerian Perindustrian sedang mengoperasikan alat tekan yang digunakan untuk mengeluarkan kadar air di dalam bahan olah karet di Kantor Baristand Palembang , Senin (18/2/2019) . Alat ini merupakan bagian dari teknologi yang diberinama APK3BIPA (Alat Penduga K3 Baristand Palembang) 2019. Alat ini diharapkan dapat membantu petani melalui Unit Pengolahan dan Pemasaran bokar untuk mengukur Kadar Karet Kering (K3). Alat yang sudah diteliti sejak 2014 ini diharapkan dapat menguatkan posisi tawar petani ketika bernegosiasi dengan pembeli.
Menggali potensi
Husein mengatakan, saat ini pihaknya sedang berupaya untuk menggali potensi peneliti di daerah. Selama ini, peneliti hebat dan memiliki paten kebanyakan hanya berkutat di Jawa. Padahal, daerah di luar Jawa memiliki potensi yang cukup besar. Apalagi, peneliti tersebut sudah memiliki dukungan potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
Untuk itu, diperlukan adanya himpunan peneliti agar muncul peneliti yang berkualitas di daerah dan mampu mengembangkan potensi yang ada di daerahnya. “Untuk itu, diharapkan penelitian disesuaikan dengan kebutuhan yang ada di daerahnya,” kata Husein.
Gubernur Sumatera Selatan, Herman Deru mengatakan sebagai provinsi terkaya nomor lima di Indonesia, semua sumber daya tersedia di Sumsel. Namun, masih banyak komoditas yang belum tergarap optimal. Di Sumsel belum ada sapi perah, atau bahkan produksi padi masih lebih rendah dibanding di sejumlah daerah di Jawa.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI–Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir memberikan pemaparan di simposium nasional vokasi akutansi di Palembang, Sumatera Selatan, Senin (18/6/2019). Dalam pemaparannya, Nasir mengimbau agar Perguruan Tinggi memperbaharui fasilitas dan sumber daya manusianya agar tidak tertinggal dengan negara lain.
Dengan adanya penelitian diharapkan permasalahan yang ada di daerah dapat diselesaikan terutama untuk menurunkan angka kemiskinan. “Keberadaan penelitian bisa menjadi dasar untuk membuat kebijakan,”katanya.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengatakan, pihaknya sedang membahas rancangan undang-undang sistem inovasi nasional (Sisnas) dengan DPR. Ini adalah salah satu upaya untuk meningkatkan anggaran penelitian “Nantinya, akan dibentuk Badan Riset Nasional dimana anggaran untuk riset dijadikan satu,” katanya. Dengan ini diharapkan penelitian bisa lebih optimal.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI–Ilustrasi _ Petugas sedang memeriksa pipa di kilang minyak unit III Plaju, Palembang, Jumat (21/12/2018). Di dalam kilang ini dibuat bahan bakar hijau yang terbuat dari bahan turunan kelapa sawit.
Menurut Nasir saat ini, penelitian di Indonesia sudah tergolong maju pesat. Jumlah publikasi ilmiah di Indonesia tahun 2018 mencapai 32.520 publikasi ilmiah, jauh lebih tinggi dibanding tahun 2015 dimana Indonesia hanya memproduksi publikasi sekitar 5.250 publikasi. Sejumlah karya pun sudah dihasilkan.
Nasir berharap nantinya penelitian harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi saat ini. “Pendidikan tinggi harus melakukan perubahan yang lebih dahsyat kalau tidak mengarah kesana pendidikan tinggi akan ketinggalan,” katanya.
Sumber: Kompas, 19 Juni 2019