KINI banyak danau dan waduk di Indonesia kritis akibat ulah manusia. Untuk menyelamatkan, dilakukan berbagai upaya mulai dari menerapkan sistem pemantau, modifikasi cuaca, hingga penyedotan limbah dan sedimen.
Danau, baik alami maupun buatan manusia (waduk) adalah sumber kehidupan dan mata pencarian penduduk. Sumber daya air digunakan untuk berbagai kegiatan seperti perikanan, pertanian, pengolahan air minum, pembangkit listrik, hingga pariwisata. Kerusakan dan fungsi sumber daya air akan mengusik berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Kerusakan lingkungan terutama disebabkan faktor antropogenik seperti eksploitasi perikanan, mekanisasi transportasi air, pembuangan limbah, dan perubahan tata ruang. Saat ini telah terjadi penurunan produksi perikanan, merebaknya gulma, pendangkalan danau dan waduk, hingga banjir di musim hujan.
”Di Indonesia ada 840 danau yang sebagian besar dalam kondisi rusak dengan tingkatan bervariasi,” kata Profesor Riset bidang Limnologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gadis Sri Haryani.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Danau yang kritis adalah Danau Rawa Pening (Jawa Tengah), Limboto (Gorontolo), dan Tempe (Sulawesi Selatan). ”Danau ini mengalami penyusutan luas karena sedimentasi dan dicemari eceng gondok,” kata Gadis. Danau tersebut masuk dalam daftar 15 danau kritis dari Kementerian PU.
Kondisi sama terjadi pada waduk (bendungan) yang berjumlah 211. Kekritisan terutama terjadi pada waduk di Jawa yang mengalami tekanan lingkungan yang berat, antara lain Juanda, Kedungombo, dan Sutami. Di Sumatera ada Singkarak dan Batutegi.
Rehabilitasi wilayah perairan dilakukan dengan reboisasi dan penataan ulang wilayah. Perbaikan bukan hanya di lingkungan danau dan waduk, namun hingga ke kawasan hulu.
Langkah selanjutnya, memasang alat pemantauan dalam upaya mencegah berulangnya kerusakan dan membangun sistem peringatan dini bencana banjir. Sistem monitor juga dipasang di danau yang masih tergolong aman.
Sistem pemantau
Bambang Setiadi, peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), bekerja sama dengan Hidenori Takahashi dari Universitas Hokkaido dan Yukihisa Shigenaga dari Midori Engineering Laboratory serta Perum Jasa Tirta II untuk menguji coba alat pemantau telemetri di Bendungan Jatiluhur, Purwakarta.
Instrumen ini beberapa tahun sebelumnya digunakan untuk memantau kondisi permukaan air di lahan gambut perkebunan sawit di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah serta permukaan Sungai Kahayan di Kalteng. Alat ukur itu juga dicoba di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember.
Instrumen ini dilengkapi dengan sensor pengukur ketinggian muka air, suhu, dan curah hujan. Sensor lain juga dapat dipasangkan pada sistem tersebut sesuai kebutuhan, seperti pengukur kelembapan, tekanan, suara, intensitas cahaya, kerapatan, dan sifat-sifat listrik, serta keasaman.
Data dikirim dengan sistem telemetri pada periode waktu tertentu. Pada sistem pemantau di Jatiluhur pengiriman dilakukan tiap 10 menit ke kantor pusat. ”Dengan alat pemantau ini, parameter lingkungan perairan di waduk dapat diketahui secara lebih cepat dan akurat dibandingkan secara konvensional,” kata Bambang yang juga Ketua Masyarakat Akunting Sumber Daya Lingkungan Indonesia. Uji coba di Bendungan Jatiluhur dilaksanakan pada Oktober 2013 hingga Maret 2014.
Selama uji coba dilakukan pengumpulan data pengukuran sensor secara otomatis dan sistem transfer data menggunakan modem yang terhubung ke jaringan telekomunikasi selular (mobile). Data diterima sistem server komputer di kantor pusat. Semua sarana yang beroperasi di lapangan memakai baterai.
Pemantauan dengan sistem otomatis dapat mempercepat analisis dan pengambilan keputusan untuk mengantisipasi risiko atau bencana. Alat ini akan menggantikan cara manual dan dipasang di danau yang berisiko.
Bila uji coba prototipe alat pemantau berhasil, demikian Bambang, pembuatan sistem pemantau telemetri akan dilakukan sebuah industri nasional dengan kandungan komponen lokal lebih dari 50 persen.
Penanggulangan
Berbasis sistem pemantauan ini dapat dilakukan pengukuran parameter di danau dan waduk untuk mengetahui secara dini terjadinya kenaikan massa air di bawah danau/waduk (upwelling). Kenaikan ini terjadi karena suhu permukaan lebih dingin dibandingkan di dasar danau atau waduk. Fenomena ini biasanya terjadi pada musim hujan.
Kenaikan massa air berupa bahan organik–sisa pakan ikan yang terendap–menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di air hingga mengakibatkan kematian massal ikan.
Sekitar 30 persen pakan yang diberikan lepas dan mencemari air. Di Waduk Jatiluhur, untuk produksi ikan 10.000 ton per tahun, setidaknya ada 6.000 ton sisa pakan ikan tiap tahun mencemari perairan.
”Hampir semua danau dan waduk di Indonesia mengalami upwelling yang memicu kematian massal ikan hampir setiap tahun,” kata Iwan Eka Setiawan, peneliti di Balai Teknologi Survei Kelautan-BPPT. Di Waduk Jatiluhur, Januari 2013, lebih dari 10.000 ton ikan mati. Akibatnya terjadi kerugian lebih dari Rp 150 miliar.
Rehabilitasi kualitas perairan waduk dan danau sepatutnya dilakukan. Hal itu dilakukan dengan mengangkat sedimen menggunakan kapal yang dilengkapi alat penyedot material.
Oleh: Yuni Ikawati
Sumber: Kompas, 10 Desember 2013