Pengelolaan potensi sumber daya air yang melimpah di gunung dan pegunungan Indonesia perlu pembenahan. Pengelolaan sumber daya air yang keliru bisa menjadi bumerang.
Hal itu disampaikan Hendarmawan dalam orasi pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Ilmu Hidrogeologi Vulkanik pada Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, Bandung, Jumat (17/1).
Orasi ilmiah ”Pemahaman Hidrogeologi Vulkanik (Kawasan Gunung Api), Salah Satu Basis Ketahanan Sumberdaya Air Nasional di Indonesia” disusun berdasarkan pengalaman dan penelitian Hendarmawan selama 18 tahun terakhir di bidang hidrogeologi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut dia, berdasarkan data UNESCO tahun 2003, Indonesia mendapatkan curah hujan tinggi, yakni 2.600-2.700 milimeter per tahun. Hal itu memberikan potensi sumber daya air hingga 2.838 miliar kubik per tahun. Indonesia memiliki sumber daya air terbesar di dunia setelah Brasil, Rusia, dan Kanada.
Sebagian potensi air itu tersimpan dalam cekungan di 126 gunung di Indonesia. Studi ilmiah tahun 2007 menyebutkan, potensi sumber air tanah berdasarkan cekungan di endapan vulkanik mencapai 4.700 miliar kubik per tahun. Tingginya kandungan air di sekitar gunung menjadi penarik bagi masyarakat untuk tinggal di sekitarnya.
”Bentang alam vulkanik punya curah hujan tinggi dan punya tingkat peresapan sangat baik. Hal ini memengaruhi tumbuhnya perkotaan di sekitarnya,” katanya.
Akan tetapi, potensi besar air itu sering tidak dimanfaatkan dengan baik. Pada musim kemarau kerap terjadi kekeringan, sebaliknya pada musim hujan terjadi banjir. Di sisi lain, perebutan air kerap memicu konflik antarmasyarakat.
Menurut Hendarmawan, hal itu dipengaruhi sejumlah kendala, seperti penentuan daerah resapan air yang konvensional, perhitungan potensi air tidak cermat, kebijakan resapan buatan dan reboisasi yang tidak sesuai tata ruang daerah, serta eksploitasi air tanah berlebihan.
Untuk memaksimalkan potensi air di kawasan gunung api, Hendarmawan melakukan beberapa penelitian. Salah satunya survei topografi untuk mengukur setiap titik studi dengan bantuan peta topografi, citra satelit, dan hidrologi. Ada kajian geologi dan geofisika untuk mengetahui kondisi bawah permukaan tanah agar informasi struktur geologi dan lapisan pembawa air terlihat jelas. Studi hidrokimia dan hidroisotop juga dilakukan untuk menjelaskan asal dan perilaku air tanah.
”Kami berharap metode ilmiah pengelolaan air tanah vulkanik dilakukan bersama dengan kearifan lokal masyarakat seperti reboisasi dan pembuatan resapan air,” katanya.
Rektor Universitas Padjadjaran Ganjar Kurnia mengharapkan, penelitian yang dilakukan Hendarmawan ikut membantu menyelesaikan persoalan penataan air di Indonesia. Penataan air yang benar diyakini bisa meminimalkan kekeringan dan banjir yang terjadi setiap tahun. Bukan tidak mungkin penataan air yang baik membantu mendongkrak kesejahteraan masyarakat di berbagai daerah. (CHE)
Sumber: Kompas, 18 Januari 2014