Para ilmuwan sebagai elemen bangsa India tidak kalah dalam bersaing dengan para ilmuwan yang berasal dari benua Eropa maupun Amerika. Mereka telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam ilmu sains khususnya Fisika. Berikut adalah beberapa profil ilmuwan tersebut.
1. Prof. Achmad Baiquni, M.Sc., Ph.D.
Prof. Dr. Achmad Baiquni MSc, Ph.D (lahir di Surakarta, 31 Agustus1923 – meninggal 21 Desember1998 pada umur 75 tahun[1][2] dan dimakamkan di Tonjong, Bogor) adalah Fisikawan Atom pertama di Indonesia. Dan termasuk dalam jajaran ilmuwan fisika atom internasional yang dihormati.
Sejak kecil, ia sudah memperoleh pendidikan agama. Pada usia kanak-kanak, ahli fisika atom ini sudah mampu membaca juz ke-30 (juz terakhir Al Quran yang memuat sejumlah surah pendek), “sebelum saya bisa nembaca huruf Latin,” katanya. Dan seperti kebiasaan anak-anak santri, ia pun masuk madrasah: belajar agama pada sore hari, setelah paginya bersekolah sekolah dasar. Malahan, ia melanjutkan menuntut ilmu agama di madrasah tinggi Mamba’ul Ulum, madrasah yang didirikan Paku Buwono X. Di situ Baiquni sekelas dengan Munawir Sjadzali, mantan Menteri Agama. Lulusan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI di Bandung, 1952. Kemudian mengajar di UGM Yogyakarta. Menikah dengan Sri Hartati, pasangan ini dikaruniai 6 orang anak, 5 putra dan 1 putri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penelitian
Pada tahun 1950, ilmu fisika atom masih menjadi monopoli Amerika Serikat yang lima tahun sebelumnya menjatuhkan bom atom di Hiroshima. Baru pada tahun 1954, Presiden Eisenhower mengizinkan fisika atom diajarkan secara terbuka di perguruan tinggi. Baiquni tahun ltu memang sedang memperdalam ilmu fisikanya di Amerika Serikat. Terbukanya bidang “baru” itu tak dilewatkan begitu saja. Di universitas inilah, pada 1964, ia meraih Ph.D.-nya. Sekembalinya ke tanah air Achmad Baiquni kembali mengajar di UGM Yogyakarta.
Beliau juga menulis beberapa buku, tapi yang saya tahu hanya ini ALQUR’AN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI. Inti dari buku ini adalah pendapat penulis sebagai seorang Muslim sekaligus seorang Ilmuwan Indonesia, bahwa Al Qur’an tidak akan berubah sejak diturunkan hingga akhir zaman, sedangkan sains dapat berubah temuannya dari masa kemasa karena bertambahnya informasi/data yang diperoleh sebagai akibat makin canggihnya peralatan/teknologi dan berkembangnya fisika dan matematika. Dan pendapat bahwa mempercayai kebenaran Al Qur’an adalah sikap yang tidak bisa ditawar. Apabila sains tampak menemukan suatu yang tidak serasi dengan Al Qur’an, ada dua kemungkinan penyebabnya: sains belum lengkap datanya dan belum terungkap semua gejala yang berkaitan sehingga kesimpulannya meleset, atau pemahaman terhadap ayat yang bersangkutan kurang benar.
2. Prof Tjia May On
Tjia May On merupakan salah satu dari enam ilmuwan Indonesia yang masuk daftar Wise Index of Leading Scientists and Engineer, pada tahun 2008. Daftar tersebut dikeluarkan oleh Comstech (Standing Committee on Scientific and Technological Cooperation), lembaga yang bertujuan meningkatkan promosi serta kerja sama sains dan teknologi di antara negara – negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Tjia menyelesaikan studi sebagai sarjana fisika pada 1962 di ITB. Setahun kemudian ia memasuki studi fisika partikel di Northwestern University, AS hingga PhD tahun 1969 dengan tesis Saturation of A Chiral Charge – Current Commutator. Kemudian pada tahun 1966, risetnya bersama fisikawan CH Albright dan LS Liu masuk Physical Review Letters dengan judul Quark Model Approach in the Semileptonic Reaction.
Pada awal 1960 – an, para sarjana fisika di Indonesia baru mempelajari partikel kuantum dan kosmologi relativistik. Dua bidang itu yang mengubah pandangan dunia secara radikal – revolusioner awal abad 20 tentang alam semesta dan asal – usulnya. Sepuluh tahun kemudian tercatat hanya lima nama yang punya otoritas bicara tentang kuantum dan relativitas yaitu: Ahmad Baiquni, Muhammad Barmawi, Tjia May On, Pantur Silaban, Mereka angkatan pertama yang jumlah penerusnya relatif sedikit dibanding bidang fisika terapan.
Pria kelahiran Probolinggo, 25 Desember 1934 ini juga sempat ikut riset di International Center of Theoretical Physics (ICTP), Trieste, Italia, yang didirikan fisikawan asal Pakistan peraih hadiah Nobel, Abdus Salam. Saat itulah, dia meninggalkan fisika partikel dan memasuki riset polimer, optik nonlinier, dan superkonduktor yang menghantarkan namanya di kancah internasional.
Dalam 33 tahun penelitiannya, ia telah menerbitkan dua buku teks, 24 penelitian kolaboratif internasional, 86 jurnal ilmiah internasional, 44 presentasi simposium internasional, 44 publikasi jurnal nasional, dan 77 presentasi ilmiah nasional. Karya – karyanya ini, sebagian dipublikasikan di jurnal internasional Physical Review, Nuclear Physics, Physica C, International Journal of Quantum Chemistry, Review of Laser Engineering, dan Journal of Non – linear Optical Physics.
3. Pantur Silaban
Hukum Snellius mengenai pembiasan itu merupakan pintu masuk bagi Pantur Silaban mencintai fisika. Karena tak ada jawaban jitu dari sang guru, ia pun bernazar akan menggeledah rahasia alam melalui studi fisika di kemudian hari.
Dalam perjalanan ruang-waktu, minat Pantur melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi setelah lulus SMA ikut pula bergerak. Selain mendalami fisika, ia berhasrat pula mempelajari teologi. Meninggalkan Sumatera selepas sekolah lanjutan atas, pria kelahiran Sidikalang, 11 November 1937 itu mampir di Jakarta membekali diri mengikuti ujian saringan masuk sekolah tinggi teologi.
Orangtua Pantur, pasangan Israel Silaban dan Regina br. Lumbantoruan, adalah pedagang yang berhasil. Pendek cerita, keluarga ini tergolong berada di lingkungan Sidikalang dan sekitarnya. Dalam tempo enam setengah tahun, waktu optimal pada zaman itu merampungkan kuliah tingkat sarjana, Pantur lulus pada tahun 1964 dan berhak menyandang gelar doktorandus dalam fisika. Ia langsung diterima sebagai anggota staf pengajar Fisika ITB. Selama kuliah kecenderungannya pada bidang tertentu dalam fisika mulai terbentuk. Pantur amat menggandrungi matematika murni dan mata kuliah yang tergolong dalam kelompok fisika teori, seperti mekanika klasik lanjut, teori medan elektromagnetik, mekanika kuantum, dan teori relativitas Einstein. Maka, ketika datang kesempatan studi lanjut di Amerika Serikat pada tahun 1967, tujuannya sudah jelas. “I go there just for the General Relativity Theory, no other things,” katanya. “Itu yang ada di benak saya waktu itu.” Pantur diterima di sekolah itu. Tentang pentingnya kedudukan sekolah gravitasi Universitas Syracuse itu, Dr. Clifford M. Will dari Universitas Washington di St. Louis seperti dikutip The New York Times (23 Oktober 2002) ketika menurunkan obituari atas Peter G. Bergmann menulis sebagai berikut: “Pada masa-masa akhir 1940an Syracuse adalah tempat yang tepat untuk bekerja dalam Relativitas Umum karena tak ada tempat lain di dunia yang melakukannya.”
Pantur merupakan fisikawan Indonesia yang berguru langsung kepada murid dan kolega Einstein dalam Relativitas Umum. Ia merupakan satu dari 32 mahasiswa dari seluruh dunia yang mempelajari Relativitas Umum di Syracuse dengan Bergmann sebagai pembimbing atau ko-pembimbing dalam kurun tahun 1947-1982. Tak salah kalau orang menyebutnya sebagai cucu murid Einstein.Adapun pembimbing utamanya lebih muda dari Bergmann, tapi juga raksasa dalam Relativitas Umum. Dialah Joshua N. Goldberg. Nama-nama itu terasa Yahudi. Universitas Syracuse memang didominasi oleh orang-orang Yahudi, baik dosen maupun mahasiswanya. Sekali waktu dalam sebuah kuliah, Pantur menggambarkan almamaternya itu dengan lelucon segar yang tentu saja didasarkan pada fakta: “Hanya ada dua jenis manusia yang diterima di Syracuse. Yang pertama Yahudi, yang kedua adalah orang pintar. You tahu, saya bukan Yahudi.”
Alih-alih berkeras mendapatkan kuantum gravitasi, akhirnya Pantur mengikuti saran Goldberg, mengalihkan topik untuk disertasinya: mengamputasi prinsip Relativitas Umum dengan menggunakan Grup Poincare untuk menemukan kuantitas fisis yang kekal dalam radiasi gravitasi. Temuan ini mengukuhkan keberpihakannya kepada Dentuman Besar (Big Bang) sebagai model pembentukan Alam Semesta ketimbang model-model lain.
Pekerjaan itu selesai pada tahun 1971 dan mengukuhkan Pantur Silaban sebagai Ph.D. dengan disertasi berjudul Null Tetrad Formulation of the Equations of Motion in General Relativity. Setahun setelah menyelesaikan disertasinya, Pantur kembali di Bandung pada tahun 1972 dan mengajar di Jurusan Fisika ITB. Orang pertama Indonesia yang mendapat doktor dalam Relativitas Umum itu adalah orang Sumatera pertama—tidak sekadar orang Batak pertama—yang mendapat Ph.D. dalam fisika. Sebuah risetnya setelah disertasi ini dimuat di Journal of General Relativity and Gravitation..
4. Hans Wospakrik
Hans Jacobus Wospakrik (lahir di Serui, Papua, 10 September1951 – meninggal di Jakarta, 11 Januari2005 pada umur 53 tahun) adalah seorang fisikawanIndonesia yang merupakan dosenfisika teoritik di Institut Teknologi Bandung.
Ia memberi sumbangan berarti kepada komunitas fisika dunia berupa metode-metode matematika guna memahami fenomena fisika dalam partikel elementer dan Relativitas Umum Einstein. Hasil-hasil penelitiannya ini dipublikasikannya di jurnal-jurnal internasional terkemuka, seperti Physical Review D, Journal of Mathematical Physics, Modern Physics Letters A, dan International Journal of Modern Physics A . Ia meninggal pada 11 Januari 2005 akibat leukimia.
Riwayat pendidikan
Tahun 1971 Hans masuk ITB dengan mengambil jurusan Teknik Pertambangan, yang tidak diminatinya sehingga pindah pada tahun berikutnya ke jurusan Fisika. Tahun 1976 ia menyelesaikan pendidikan sarjananya. Pada akhir tahun 1970–an, ia pergi ke Belanda dalam rangka melanjutkan studi pascasarjana di bidang fisika teoritik. Semenjak tahun 1999 Hans pergi ke Universitas Durham, Inggris. Tapi baru tahun 2002 ia mengambil program doktor di universitas yang sama. Awal tahun 1980–an, sembari melanjutkan studi pascasarjananya, Hans pernah mengadakan riset bersama Martinus JG Veltman (tahun 1999, Veltman meraih Nobel Fisika), di Utrecht, Belanda, dan di Ann Arbor, Michigan, Amerika Serikat (AS).
Dari Atomos Hingga Quark
Dari Atomos Hingga Quark adalah sebuah buku hasil karya Hans yang menceritakan mengenai pencarian manusia sepanjang sejarah mengenai penyusun terkecil dari materi-materi alam ini. Berawal dari Yunani di mana para filsuf saat itu berfilsafat mengenai penyusun terkecil setiap materi, Jazirah Arab yang disinggung oleh Hans sebagai pemegang “obor pengetahuan” berikutnya setelah Yunani, ilmu alkemi, reaksi nuklir yang “menceritakan” pada kita tentang keberadaan atom, proton dan neutron, sampai temuan saat ini mengenai satuan materi yang lebih kecil, yaitu quark .
Karya-karya
- Hans J. Wospakrik,, Nonrecursive zeta-function regularization of the Fujikawa anomaly factor, Phys. Rev. D 40, 1367 – 1369 (1989)
- Tracy LaQuey, Sahabat Internet: Pedoman bagi Pemula untuk Memasuki Jaringan Global, diterjemahkan oleh Hans J. Wospakrik, Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, Penerbit ITB, 1997; Judul asli: Tracy LaQuey, Internet Companion: A Beginner’s Guide to Global Networking. Copyright ©1994 by Tracy LaQuey and Editorial Inc. First published by Addison-Wesley Publishing Company, Inc., Reading, Massachusetts, USA
- Hans J. Wospakrik, Freddy P. Zen, Inhomogeneous Burgers Equation and the Feynman-Kac Path Integral, arXiv.org, solv-int/9812014 (December 1998)
- Hans J. Wospakrik, Path Integral Evaluation of the Free Propagator on the (D-1)-dimensional Pseudosphere, arXiv.org, quant-ph/9903005 (March 1999)
- Hans J. Wospakrik and Freddy P. Zen, CPT Symmetries and the Backlund Transformations, arXiv.org, solv-int/9909007 (September 1999)
- Hans J. Wospakrik, Classical Equation Of Motion Of A Spinning Nonabelian Test Body In General Relativity, Phys.Rev.D26:523-526,1982.
5. Terry Mart
Riset fisika, apalagi fisika dasar, selama ini dianggap tidak memiliki prospek ekonomis yang baik bagi penelitinya. Karena salah satu alasan itulah, hingga kini hanya segelintir orang yang tetap menekuni ilmu ”rumit” ini. Di antara mereka yang langka dan mampu mematahkan anggapan itu adalah Terry Mart, Ilmuwan Fisika Nuklir dan Partikel tingkat dunia.
Menekuni bidang Fisika Nuklir dan Partikel Teoretis sejak 20 tahun lalu, Terry kini menjadi orang yang kaya ilmu dan dipandang oleh komunitas ilmuwan fisika di tingkat dunia. Kekayaannya itu terlihat pada makalahnya yang terbit di jurnal dan prosiding internasional, jumlahnya mencapai sekitar 100 makalah.
Dari paper internasional, yang dihasilkan rata-rata dua kali setahun, ia mendapat insentif dari Universitas Indonesia Rp 10 juta per makalah. Belum lagi tawaran dana penelitian dan penggunaan fasilitas riset dari perguruan tinggi asing.
Bila ditanya apa kiatnya bisa seproduktif itu? Kuncinya adalah kreativitas dan perhatian sepenuh hati pada ilmu yang ditekuni. ”Bila tiap hari kita memikirkannya, setiap kali pula muncul ide untuk mengembangkannya,” ujar Terry.
Di ruang kerjanya yang berukuran 4 x 3 meter ada seperangkat komputer yang bekerja 24 jam, melakukan komputasi ribuan data eksperimen yang kemudian dicocokkan dengan model yang dikembangkannya. Dengan menggunakan satu komputer, waktu yang diperlukan untuk memproses data mencapai 3 hingga 11 hari. Karena itu, ia bercita-cita memiliki 50 komputer yang bekerja paralel untuk mempercepat proses tersebut dan dengan jumlah data input yang jauh lebih besar.
Prinsip tiada hari tanpa meneliti diterapkan bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga mahasiswa dan peneliti lain di kelompok Peminatan Fisika Nuklir & Partikel UI yang dipimpinnya sejak tahun 1998.
”Dengan begitu dapat tumbuh budaya riset, yaitu seorang dosen dan mahasiswa merasa malu dan ketinggalan jika tidak ikut melakukan penelitian. Saat ini di Jurusan Fisika sudah mulai mengarah ke situ,” urainya.
Namun bagi Terry, suasana kampus di Indonesia memang belum kondusif untuk kegiatan riset karena rendahnya proses kreatif, sikap santai, bahkan cenderung malas yang melekat di sebagian masyarakat kampus. Inilah yang menyebabkan terjadinya scientific decomposition atau pembusukan ilmiah.
Karena itu, secara periodik Terry harus ”menyetrum” kembali semangatnya dengan mengadakan penelitian di luar negeri. Ini dijalaninya selama tiga bulan setiap dua tahun.
”Bila ingin maju, peneliti ilmu dasar memang harus ’keluar’ dan bersaing dengan peneliti dunia lainnya. Jangan hanya bermain di tingkat nasional,” ujar salah satu pendiri Grup Fisika Teoritik di Indonesia pada tahun 2004 ini.
Baginya tidak sulit mendapat dukungan dana dari universitas terkemuka yang membuka peluang baginya melakukan kerja sama riset di luar negeri. Paling tidak ada lima universitas dari empat negara maju yang menerimanya sebagai peneliti tamu dan menanggung semua biaya riset dan perjalanan.
Meski penelitiannya kerap dilakukan di luar negeri, Terry sangat mencintai Indonesia sehingga tidak tebersit sedikit pun untuk hijrah ke negeri orang. Justru hasil penelitian di luar negeri menjadi ”oleh-oleh” untuk diteliti lebih lanjut para mahasiswanya menjadi bahan tesis.
Terry Mart lahir di Palembang 3 Maret 1965. Ia mengenyam pendidikan S1 di Universitas Indonesia lulus dengan cum laude pada 1988 dan mengambil S3 di Universitat Mainz, Jerman dan lulus cum laude pada 1996.
Pengalaman kerja Terry antara lain menjadi pengajar fisika di UI (1990-sekarang), Asisten peneliti Universitat Mainz (1996), Ketua Peminatan Fisika Nuklir & Partikel UI (1998-sekarang), Sekretaris program Studi Ekstensi Fisika UI (2002-2009), Peneneliti tamu di George Washington University, AS; Okayama University of Science, Jepang; Tohoku University, Jepang; Universitat Mainz, Jerman; Univeristy of Stellenbosch, Afrika Selatan.
Dalam berorganisasi, Terry menjadi Anggota Dewan Pendidikan Tinggi Indonesia (2009-sekarang), Anggota Komite Pengarah Internasional IUPAP & Asia Pacific Few-Body Conference (2005-sekarang), Anggota Komite Seleksi Bersama Lembaga Pertukaran Akademik Jerman/DAAD (1998-sekarang), serta Editor dan Referee pada beberapa jurnal nasional dan internasional (2005-sekarang).
Selain itu, Terry pernah menerima penghargaan berupa Mahasiswa Teladan FMIPA UI (1987), Penghargaan publikasi internasional UI (1998-2010), Habibie Award (2001), Dosen berprestasi III UI (2004), Satyalancana Karya Satya 10 tahun (2007), Leading Scientist dari COMSTECH/Organisasi Konferensi Islam (2008), Ganesa Widya Jasa Adiutama ITB (2009), Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa dari Departemen Pendidikan Nasional (2009), dan Excellent Researcher dari SEA EU NET (2009).
6. Jony Setiawan
Dr. Johny Setiawan adalah astronom asal Indonesia yang bekerja di Max Planck Institute for Astronomy (MPIA), Jerman. Bersama timnya, Dr. Johny Setiawan, menemukan 10 planet di tata surya hydrae. Yang membuat bangga, beliau adalah satu-satunya ilmuwan non Jerman sekaligus sebagai ketua tim proyek tersebut.
Di Jerman, Dr. Johny Setiawan sangat mudah dikenali. WNI yang sudah 17 tahun tinggal di Jerman itu selalu tampil plontos, bercelana pendek, dan kaus tanpa lengan. Walaupun beliau adalah astronom dan penemu lebih dari sepuluh planet baru namun penampilannya begitu sederhana.
Meski telah 17 tahun merantau ke negeri Jerman, Johny masih fasih berbahasa indonesia. Bukan hanya itu. Pria yang lahir di Jakarta 16 agustus 1974 (35 tahun) tersebut mengaku selain bahasa indonesia, beliau telah menguasai empat bahasa dengan lancar, yakni Inggris, Spanyol, Prancis, dan Jerman. Masa kecil beliau dihabiskan di jakarta, lebih tepatnya di daerah Bintaro.
Johny menamatkan S-1 dan S-3-nya di Freiburg, Jerman, dan tercatat sebagai lulusan termuda di Albert-Ludwigs-Universitat, Freiburg, Jerman. Di universitas yang sama, Johny meraih gelar s-3 dan menjadi ilmuwan postdoctoral di departemen planet dan formasi bintang Max Planck Institute for Astronomy (mpia).
Awal ketertarikan Johny pada astronomi dan bercita-cita menjadi astronom adalah ketika ayahnya mulai sering mengajaknya ke atap rumah untuk melihat bintang-bintang tiap petang. “saat itu di Jakarta masih bisa lihat bintang tiap malam karena langitnya masih bersih, tidak seperti sekarang,” jelasnya. Kebiasaan inilah yang membangkitkan minatnya akan ilmu astronomi. “waktu itu ayah saya sering bercerita yang aneh-aneh tentang bintang-bintang tersebut. Dia juga memberi nama aneh-aneh pula. Setelah saya dewasa, saya baru tahu bahwa apa yang dibicarakan ayah dulu salah semua,”
Meski mengidamkan profesi astronom, beliau mengakui sejak kecil justru tidak terlalu suka dengan pelajaran fisika yang menjadi elemen penting dalam ilmu tersebut. Menurut dia, banyak pertanyaan di fisika yang aneh-aneh dan cenderung tidak perlu, maka itu Johny Setiawan malah lebih tertarik dengan pelajaran sejarah.
Sejak mengamati bintang-bintang di jagat raya, beliau telah menemukan lebih dari 10 planet. Lima di antaranya sudah dipublikasikan, sementara yang lain dalam tahap penelitian. Planet-planet tersebut di antaranya adalah planet yang dinamai hd 47536c, hd 110014b, dan hd 110014c, akan dipublikasikan tahun depan dalam jurnal astronomi.
Namun, dari sekian banyak temuannya, yang paling berkesan adalah planet tw hydrae b. Pasalnya, itu satu-satunya planet temuannya yang tidak menggunakan angka-angka seperti yang lain. Planet itu adalah planet termuda yang beliay temukan. Planet ini juga dalam kontroversi karena masih banyak yang belum percaya karena pembuktian adanya planet ini kan secara tidak langsung. Selain itu, penemuan planet ekstrasolarnya (planet di luar sistem tata surya) dipublikasikan dalam majalah nature pada 4 Januari 2008. Sebelumnya tim astronom dari mpia yang diketuainya berhasil menemukan sistem extrasolar termuda plus dengan metode variasi kecepatan radialnya. Temuan bintang muda dan pleanetnya menjadi begitu penting. Kenapa? Karena dari situ kita bisa tahu awal mula tata surya dan pembentukan planet-planet yang mengitarinya. Pencarian planet pada bintang muda menjadi penting karena tidak lepas dari masalah aktivitas bintang, karena bintang di usia yang masih muda permukaannya masih tidak stabil.
7. Haryo Sumowidagdo
Bagi anda yang pernah membaca novel Dan Brown, berjudul Angel and Demon, pasti tak asing lagi dengan CERN (Conseil Européene pour la Recherche Nucléaire) atau European Organization for Nuclear Research. Sebuah komplek laboratorium percepatan partikel terbesar di dunia yang terletak di perbatasan antara Perancis dan Swiss, persis di sebelah barat Jenewa, yang memiliki daya tarik tersendiri bagi para peminat ilmu fisika
Namun, siapa nyana ternyata ada orang Indonesia di antara ribuan ilmuwan itu. Salah satunya adalah Haryo Sumowidagdo. Lelaki yang menggondol Ph.D dari Florida State University dan S1 dan S2 di Universitas Indonesia
Aktivitas di CERN
Ada tiga kegiatan utamanya di CERN, yaitu sebagai teknisi, pembimbing, dan fisikawan. Sebagai teknisi, ia menulis program kendali dan kontrol untuk alat eksperimennya.Sebagai pembimbing, ia membimbing dan menjadi tempat bertanya para mahasiswa program doktoral. Interaksinya dengan mahasiswa terjadi dua arah, karena ia juga kadang bertanya kepada mereka.
Sebagai fisikawan, Haryo menganalisis data untuk melakukan pengukuran besaran fisika atau mencari penemuan baru dalam bidang fisika. Kemudian tentunya menulis karangan ilmiah dan mempublikasikannya di jurnal ilmiah.
Ada kegiatan keempat yang belum banyak ia lakukan, yakni mempopulerkan iptek kepada masyarakat luas. Di CERN, kendala utama bagi Harya adalah belum fasih berbahasa Prancis. Saat ini Haryo terlibat proyek Large Hadron Collider (LHC) secara tidak langsung. Ia menjadi anggota Compact Muon Solenois (CMS), sebuah eksperimen fisika partikel yang terletak di LHC. LHC sendiri merupakan bagian dari CERN.
LHC merupakan sebuah akselerator/pemercepat zarah. Akselerator adalah sebuah mesin yang bisa mempercepat sesuatu. Mirip dengan pedal gas di sebuah mobil yang bisa menaikkan kecepatan mobil dari diam ke kecepatan tinggi. Zarah (diadaptasi dari bahasa Arab) adalah sesuatu yang sangat kecil, tidak kasat mata, namun merupakan bahan baku yang menyusun semua benda yang kita lihat di sekitar kita. Di dalam LHC, zarah-zarah dipercepat sampai mendekati kecepatan cahaya. Zarah-zarah yang berkecepatan tinggi ini kemudian saling ditubrukkan. Dalam tubrukan tersebut bisa tercipta zarah-zarah lain yang kemudian dilihat oleh alat-alat eksperimen fisika partikel.
LHC merupakan sebuah terowongan di bawah tanah yang membentuk lintasan lingkaran dengan diameter delapan kilometer. Bandara Soekarno-Hatta bisa diletakkan di dalam lingkaran LHC. Letak LHC adalah dekat kota Jenewa di Swiss.
Cita-cita Sewaktu Kecil
Profesinya saat ini sebenarnya tidak sesuai dengan cita-citanya sejak kecil. Sewaktu Haryo masih SD, ia sebenarnya ingin menjadi petani dan ingin masuk IPB. Alasannya karena ia terkesan dengan cerita Rumah Kecil (Little House) karangan Laura Ingalls Wilder yang menceritakan betapa petani bisa menjadi orang yang makmur, mandiri, dan hidup dari usaha dan tanahnya sendiri. Ketika di SMP kemudian berubah, ingin menjadi sarjana teknik komputer.
Terakhir ketika SMA, barulah Haryo mulai suka kepada fisika dengan serius. Di kelas III SMA, ia melamar untuk program penerimaan mahasiswa tanpa tes di Universitas Indonesia (UI). Ia memilih Fisika dan diterima. Ketika di Fisika UI, ia bertemu dengan mendiang Prof. Darmadi Kusno dan Dr. Terry Mart. Mereka berdua memberikan pengaruh besar padanya sehingga Haryo akhirnya mantap dengan cita-cita untuk menjadi fisikawan. Selain Haryo, ada juga orang Indonesia lain yang tergabung di CERN, yaitu Rahmat dari University of Mississipi dan Romulus Godang dari University of South Alabama. Mereka berdua merupakan anggota CMS, sehingga mereka juga terlibat dengan CERN.
Awalnya Bergabung di CERN
Awal cerita Haryo bergabung di CERN dimulai dari sebuah artikel di Kompas tanggal 8 Juni 1994 yang berjudul Seorang Fisikawan Indonesia Terlibat Penemuan Top Quark. Artikel itu menceritakan tentang kisah seorang alumni Fisika UI yang tengah menempuh studi doktoral di Amerika Serikat (AS) dan bekerja di Fermilab (sebuah laboratorium fisika seperti CERN yang terletak dekat Chicago, Amerika Serikat). Alumni tersebut terlibat dalam eksperimen fisika partikel yang menemukan top quark, salah satu partikel elementer. Penemuan top quark merupakan salah satu penemuan sangat penting dalam bidang fisika, setara dengan penemuan-penemuan penting lain yang sudah dianugrahi Hadiah Nobel Fisika. Meski kemudian Haryo menyelesaikan sarjana fisika dengan topik skripsi fisika partikel teoretik, kesan yang ditinggalkan artikel itu sangat dalam.
8. Nelson Tansu
Prof. Nelson Tansu, Ph.D dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, tanggal 20 Oktober 1977. Dia adalah anak kedua di antara tiga bersaudara buah pasangan Iskandar Tansu dan Lily Auw yang berdomisili di Medan, Sumatera Utara. Kedua orang tua Nelson adalah pebisnis percetakan di Medan. Mereka adalah lulusan universitas di Jerman. Abang Nelson, Tony Tansu, adalah master dari Ohio, AS. Begitu juga adiknya, Inge Tansu, adalah lulusan Ohio State University (OSU). Tampak jelas bahwa Nelson memang berasal dari lingkungan keluarga berpendidikan. Ia adalah lulusan terbaik SMU Sutomo 1 Medan pada tahun 1995 dan juga menjadi finalis Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI).
Setelah menamatkan SMA, ia memperoleh beasiswa dari Bohn’s Scholarships untuk kuliah di jurusan matematika terapan, teknik elektro, dan fisika di Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat. Tawaran ini diperolehnya karena ia menjadi salah satu finalis TOFI. Ia berhasil meraih gelar bachelor of science kurang dari tiga tahun dengan predikat summa cum laude. Setelah menyelesaikan program S-1 pada tahun 1998, ia mendapat banyak tawaran beasiswa dari berbagai perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat. Walaupun demikian, ia memilih tetap kuliah di Universitas Wisconsin dan meraih gelar doktor di bidang electrical engineering pada bulan Mei 2003.
Penelitan doktornya di bidang photonics, optoelectronics, dan semiconductor nanostructires juga meraih penghargaan tertinggi di departemennya, yakni The 2003 Harold A. Peterson Best ECE Research Paper Award.
Setelah memperoleh gelar doktor, Nelson mendapat tawaran menjadi asisten profesor dari berbagai universitas ternama di Amerika Serikat. Akhirnya pada awal tahun 2003, ketika masih berusia 25 tahun, ia menjadi asisten profesor di bidang electrical and computer engineering, Lehigh University.
Saat ini Prof. Nelson menjadi profesor di universitas ternama Amerika, Lehigh University, Pensilvania dan mengajar para mahasiswa di tingkat master (S-2), doktor (S-3) dan post doctoral Departemen Teknik Elektro dan Komputer. Lebih dari 84 hasil riset maupun karya tulisnya telah dipublikasikan di berbagai konferensi dan jurnal ilmiah internasional. Ia juga sering diundang menjadi pembicara utama di berbagai seminar, konferensi dan pertemuan intelektual, baik di berbagai kota di AS dan luar AS seperti Kanada, Eropa dan Asia. Prof Nelson telah memperoleh 11 penghargaan dan tiga hak paten atas penemuan risetnya. Ada tiga penemuan ilmiahnya yang telah dipatenkan di AS, yakni bidang semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan high power semiconductor lasers.
Nelson adalah pemuda mandiri. Semangatnya tinggi, tekun, visioner, dan selalu mematok standar tertinggi dalam kiprah riset dan dunia akademisinya. Orang tua Nelson hanya membiayai hingga tingkat S-1. Selebihnya ia sendiri yang membiayainya melalui beasiswa yang didapatkan.
Bahkan, di AS yang negeri supermaju pun reputasi Nelson bukan fenomena umum. Bayangkan, pada usia semuda itu, dia menyandang status guru besar. Sehari-hari dia mengajar program master, doktor, dan bahkan post doctoral. Yang prestisius bagi seorang ilmuwan, ada tiga riset Nelson yang dipatenkan di AS. Kemudian, dua buku teksnya untuk mahasiswa S-1 dalam proses penerbitan.
Nelson jadi profesor muda di Lehigh University sejak awal 2003. Untuk bidang teknik dan fisika, universitas itu termasuk unggulan dan papan atas di kawasan East Coast, Negeri Paman Sam. Untuk menjadi profesor di Lehigh, Nelson terlebih dahulu menyisihkan 300 doktor yang resume (CV)-nya juga hebat-hebat.
Sumber: blog rezamamang