Selaras dengan rekor tahun 2016 sebagai tahun terpanas global sepanjang sejarah, suhu rata-rata di Indonesia konsisten meningkat. Dengan tidak adanya El Nino seperti pada 2015, pecahnya rekor tahun terpanas di 2016 menunjukkan efek gas rumah kaca sebagai pemeran utama kenaikan suhu.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu rata-rata Indonesia pada 2016 lebih tinggi 1,2 derajat celsius dibandingkan normalnya, berdasar rata-rata suhu 1981-2010. Itu melampaui rata-rata anomali suhu 2015 sebesar 1 derajat celsius dibandingkan normalnya.
Di sisi lain, Indonesia tahun 2016 tak seperti 2015 yang dilanda kekeringan karena El Nino, fenomena menghangatnya suhu muka laut Samudra Pasifik area khatulistiwa, yang memicu curah hujan minim. “Berarti, efek gas rumah kaca (GRK) paling berpengaruh membuat rekor suhu terpanas selalu pecah dari tahun ke tahun,” kata Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Dodo Gunawan, Jumat (20/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dodo mencontohkan, kadar karbon dioksida di atmosfer Jakarta, Jumat kemarin, menembus angka 450 bagian per sejuta (ppm), yang berarti ada 450 molekul karbon dioksida per 1 juta molekul atmosfer. Dalam konteks perubahan iklim, jika volume gas rumah kaca secara global mencapai 450 ppm, suhu bumi bertambah 2 derajat celsius.
Emisi gas karbon di wilayah barat Indonesia melalui pengukuran di Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit Kototabang, Sumatera Barat, pun menunjukkan tren peningkatan dan belum ada tanda-tanda stabil di angka tertentu. Dodo menuturkan, kadar CO2 pada 2004 terpantau masih pada kisaran angka 370-an ppm, kemudian pada 2016 di kisaran 390 ppm.
Dari data anomali suhu pada 2016, provinsi dengan kenaikan suhu tertinggi, yaitu Yogyakarta, mencapai 2,5 derajat celsius dibandingkan normalnya, disusul Bali (2 derajat celsius).
Karena itu, kata Dodo, salah satu strategi memitigasi kenaikan suhu adalah menekan emisi GRK lewat penyesuaian pada aktivitas sehari-hari. Gas rumah kaca berdampak lebih besar dibandingkan fenomena alam semacam El Nino, tetapi sekaligus yang paling bisa diintervensi manusia.
Indonesia berjanji menurunkan emisi GRK hingga 29 persen dibandingkan kondisi tanpa intervensi pada 2030. Dengan kerja sama luar negeri, pemerintah siap menurunkan 41 persen.
Menanggapi itu, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK Nur Masripatin mengatakan, pemerintah menggalakkan mitigasi pengurangan emisi, terutama di sektor energi dan penggunaan lahan. (JOG)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Januari 2017, di halaman 14 dengan judul “Suhu Indonesia Terus Naik”.