Lumbung pangan di Kalimantan Tengah agar tak menimbulkan pekerjaan rumah baru yang membebani bangsa. Kehati-hatian dan keterbukaan akan proyek ini bisa memitigasi risiko-risiko lingkungan.
Banyak pihak terkejut ketika Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan keputusan pemerintah untuk membuka lahan gambut di eks-proyek Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah untuk menjaga suplai pangan dalam mengantisipasi dampak pandemi Covid-19, 28 April 2020. Mereka kemudian mengaitkannya dengan pengalaman pahit masa lalu ketika megaproyek ini dimulai pada 1995.
Pembukaan lahan gambut besar-besaran dengan cara membuat kanal-kanal raksasa yang menguras air dan tentu saja anggaran negara kini masih menjadi pekerjaan rumah. Setiap tahun terjadi kebakaran lahan yang asapnya menyiksa warga setempat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski menuai sejumlah protes, sebagaimana diberitakan Kompas, Kamis pekan lalu, Presiden Joko Widodo bersama rombongan menteri mendatangi lokasi food estate atau lumbung pangan yang di antaranya berada di Desa Bentuk Jaya di Kapuas dan Desa Belanti Siam di Pulang Pisau. Hal ini menyiratkan bahwa proyek yang telah berjalan dua pekan akan terus berlanjut meski menuai kritik.
Kedua kabupaten tersebut akan menyediakan lahan seluas 164.598 hektar (ha) atau dua kali luas Singapura. Rinciannya, seluas 85.456 ha lahan intensifikasi atau lahan yang sudah dikelola masyarakat dan 79.142 ha lahan potensial yang selama ini terbengkalai.
Tahun ini, pemerintah akan mengerjakan 30.160 ha lahan; di Pulang Pisau seluas 10.160 ha berupa sawah dan dua pertiganya, sekitar 20.000 ha, di Kapuas masih berupa rawa.
Program Lumbung Pangan yang merupakan Proyek Strategis Nasional 2020-2024 ini mengejutkan banyak pihak, terutama kalangan akademisi, aktivis, dan pemerhati lingkungan. Bahkan, sejumlah ilmuwan dan akademisi yang pernah terlibat langsung dengan Pengembangan Lahan Gambut (PLG) kaget saat mengetahui rencana pemerintah tersebut.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN–Sejumlah anggota TNI merapikan kanal utama dan parit sepanjang 300 meter yang terhubung dengan embung berukuran 10 meter x 10 meter, Minggu (11/10/2015), di Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Berkategori program strategis nasional, Lumbung Pangan memiliki jalan tol perizinan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, proyek ini hanya butuh 60 hari untuk mendapatkan izin lingkungan.
Sejumlah pihak meminta pemerintah tak buru-buru merealisasikan rencana itu mengingat area setempat diduga merupakan lahan gambut yang dalam. Kerusakan pada gambut bersifat irreversible atau tak dapat dipulihkan.
Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Asmadi Saad, dalam diskusi daring, menyebutkan, pembentukan gambut tropis di Indonesia, merujuk referensi ilmiah, terjadi antara 4.200 dan 6.800 tahun lalu. Jika lahan gambut dibuka, kerusakan berupa penurunan muka gambut dan oksidasi yang menyebabkan pelepasan emisi tak bisa dihindarkan.
Risiko terbakar
Emisi ini akan tetap terjadi meski menerapkan hidrologi yang baik. Belum termasuk risiko terbakarnya gambut ketika mengering. Seperti kebakaran lahan seluas 1,64 juta ha pada 2019 yang 494.050 hektar di antaranya berupa gambut. Di Kalteng, luas gambut terbakar mencapai 183.836 ha.
The Copernicus Atmosphere Monitoring Services mencatat, kebakaran Agustus-November 2019 melepaskan emisi 708 megaton setara karbon dioksida (CO2). Sebagai perbandingan, pada 1 Agustus-18 September 2019, kebakaran di Indonesia melepas emisi 360 megaton setara CO2 dibandingkan 400 megaton setara CO2 pada periode sama di tahun kebakaran terparah dasawarsa ini pada 2015.
Terkait lokasi ini merupakan lahan gambut ditepis oleh pemerintah yang menyatakan lahan yang digunakan merupakan tanah aluvial alias bukan gambut meski berada di lahan eks-PLG. Pemanfaatan lahan-lahan ini juga diklaim untuk mengurangi risiko kebakaran.
Peneliti dari Laboratorium Alam Hutan Gambut Universitas Palangka Raya, Kitso Kusin, sebagaimana dikutip Kompas.id, mengungkapkan, lokasi Desa Bentuk Jaya yang dikunjungi Presiden merupakan area gambut dengan kedalaman beragam. Dari risetnya, kawasan itu jauh dari pasang-surut air sehingga saat awal PLG (1997) digunakan pompa air untuk pengairan. Karena berbiaya mahal, warga meninggalkan lahan setempat.
Berbagai pihak menyatakan pembukaan lahan pangan berupa cetak sawah ini tak efektif dan memakan biaya serta waktu. Apalagi, dalihnya untuk mengantisipasi darurat pangan dampak Covid-19 atau penyakit disebabkan virus korona baru dan itu butuh kecepatan.
Untuk memberdayakan pangan lokal, solusi lain adalah pemerintah menjalankan amanat undang-undang dengan melindungi lahan-lahan pertanian yang terus tergerus permukiman dan kawasan industri. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, luas lahan sawah pada 2011 lebih luas (8.127.264 ha) daripada tahun 2015 (8.087.393 ha) yang tentu berkorelasi dengan penurunan produksinya.
Selain itu, agar tak ribut bahwa lahan yang akan dimanfaatkan berupa gambut atau bukan, pemerintah lebih baik menunjukkan kajiannya secara terbuka. Jika ada kajian lingkungan hidup strategis ataupun studi berbasis kajian ilmiah yang dilakukan, sebaiknya hal itu disajikan bagi publik dan partisipatif.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 15 Juli 2020