Subspesies Baru Nyamuk Malaria Diidentifikasi

- Editor

Kamis, 9 Juli 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Riset mengidentifikasi subspesies nyamuk pembawa parasit malaria di Indonesia. Beragamnya spesies nyamuk itu menambah kompleks penanganan penyakit tersebut.

Penelitian terbaru berhasil mengidentifikasi subspesies nyamuk Anopheles epiroticus di kepulauan Indonesia. Nyamuk pembawa parasit malaria ini sebelumnya dianggap hanya berada di daratan Asia seperti Kamboja, Myanmar, Thailand, dan Vietnam.

Temuan ini dilaporkan di jurnal PLOSE Neglected Tropical Diseases pada 2 Juli 2020 oleh peneliti malaria di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset dan Teknologi Syafruddin dan timnya. ”Kami menemukan nyamuk Anopheles epiroticus beredar di bagian barat Indonesia setelah melakukan kajian secara molekuler,” kata Syafruddin, di Jakarta, Rabu (8/7/2020).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Genus Anopheles diketahui memiliki 480 spesies dan 100 di antaranya mampu menularkan parasit malaria pada manusia meski hanya sedikit yang menjadi vektor primer. Di Indonesia, ada lebih dari 80 spesies nyamuk Anopheles yang telah didokumentasikan, 24 spesies di antaranya dianggap sebagai vektor malaria.

”Untuk wilayah pesisir Indonesia bagian barat dan tengah, penyakit malaria terutama ditularkan oleh kelompok nyamuk Anopheles sundaicus,” katanya.

Penelitian ini, lanjut Syafruddin, awalnya bertujuan mengeksplorasi distribusi Anopheles sundaicus di Indonesia. Spesies nyamuk betina A sundaicus dikumpulkan dari 12 daerah di tujuh provinsi di Indonesia bagian barat hingga selatan-tengah.

”Ternyata kami juga menemukan Anopheles epiroticus di Sumatera Utara dan Kepulauan Bangka Belitung. Dari morfologi, A epiroticus dan A sundaicus sulit dibedakan. Namun, secara molekuler, ada perbedaannya walaupun sangat kecil, yaitu hanya tiga nukleotida,” tuturnya.

Penelitian sebelumnya oleh Linton YM di Bulletin of Entomological Research (2005) menyatakan, A epiroticus hanya ada di daratan Asia. Namun, studi Syafruddin dan tim ini memberikan bukti definitif pertama tentang keberadaan dan sebaran geografis A epiroticus di Indonesia.

Temuan ini juga menunjukkan A epiroticus memiliki kedekatan dengan garis keturunan lain yang masuk dalam kompleks A sundaicus sehingga secara morfologis sulit dibedakan. ”Saat ini, sedikit yang diketahui peran spesifik A epiroticus dalam penularan malaria di Sumatera dan Bangka Belitung,” ujarnya.

Namun, seperti ditulis dalam kajian ini, ada kemungkinan nyamuk yang secara morfologis diidentifikasi sebelumnya sebagai A sundaicus dan menunjukkan tingkat menggigit manusia relatif tinggi sebenarnya A epiroticus.

”Masih dibutuhkan studi lanjut tentang distribusi anggota A sundaicus di Indonesia dan potensi peran spesifik lokasi mereka dalam penularan malaria. Identifikasi spesies dari anggota kompleks ini akan berguna untuk menargetkan program manajemen vektor,” ungkapnya.

Respons inang
Wakil Kepala Lembaga Eijkman Herawati Supolo Sudoyo mengapresiasi riset yang dilakukan para peneliti unit malaria di lembaganya. Harapannya, studi ini bisa berkontribusi menangani malaria, yang hingga kini masih menjadi masalah kesehatan yang serius di Indonesia.

”Ada beberapa poin menarik dari kajian ini, di antaranya terdapat 24 vektor malaria yang secara morfologik hampir tak bisa dibedakan. Tentu sangat menarik untuk mengetahui lebih lanjut apakah masing-masing nyamuk memiliki kemampuan transmisi patogen spesifik. Penting juga melihat respons inang terhadap vektor dan parasit malarianya,” kata Herawati, yang tidak terlibat dalam kajian ini.

Herawati menambahkan, saat ini perlu ada kajian lebih intensif terkait potensi zoonotik atau penularan parasit malaria Plasmodium knowlesi yang biasa menjangkiti monyet ke manusia seiring makin intensifnya pembukaan hutan. Sejauh ini, P knowlesi telah menulari masyarakat di Aceh, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Utara.

Temuan P knowlesi pada manusia menambah kompleks penanganan malaria. Sebelumnya, plasmodium malaria yang diketahui menginfeksi manusia di Indonesia hanya empat, yakni P falciparum, P vivax, P malariae, dan P ovale.

Oleh AHMAD ARIF

Editor EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 9 Juli 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia
Perkembangan Hidup, Teknologi dan Agama
Jembatan antara Kecerdasan Buatan dan Kebijaksanaan Manusia dalam Al-Qur’an
AI di Mata Korporasi, Akademisi, dan Pemerintah
Ancaman AI untuk Peradaban Manusia
Tingkatkan Produktivitas dengan Kecerdasan Artifisial
Menilik Pengaruh Teknologi Kecerdasan Buatan dalam Pendidikan
Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 16 Februari 2025 - 09:06 WIB

Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:57 WIB

Perkembangan Hidup, Teknologi dan Agama

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:52 WIB

Jembatan antara Kecerdasan Buatan dan Kebijaksanaan Manusia dalam Al-Qur’an

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:48 WIB

AI di Mata Korporasi, Akademisi, dan Pemerintah

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:41 WIB

Tingkatkan Produktivitas dengan Kecerdasan Artifisial

Berita Terbaru

Profil Ilmuwan

Mengenal Achmad Baiquni, Ahli Nuklir Pertama Indonesia Kelahiran Solo

Selasa, 29 Apr 2025 - 12:44 WIB

Berita

Perkembangan Hidup, Teknologi dan Agama

Minggu, 16 Feb 2025 - 08:57 WIB

Berita

AI di Mata Korporasi, Akademisi, dan Pemerintah

Minggu, 16 Feb 2025 - 08:48 WIB