Aliran listrik yang tepat bisa dijadikan stimulan untuk meningkatkan memori kerja pada otak seseorang. Dengan stimulasi itu, orang yang berumur 60-70 tahun bisa memiliki memori kerja layaknya orang berusia 20 tahun. Efek itu bisa bertahan setidaknya hingga 50 menit setelah stimulasi dilakukan.
Memori kerja sering digambarkan sebagai buku catatan pikiran. Memori kerja adalah bagian otak yang menyimpan informasi bersifat sementara yang merupakan bagian dari memori jangka pendek. Memori kerja ini digunakan saat kita mencatat nomor telepon ketika seseorang membacakannya, memecahkan masalah, perhitungan matematika, maupun pengambilan keputusan.
REINHART LAB/BOSTON UNIVERSITY–Selama proses uji pencocokan gambar, memori kerja pada otak responden berumur 20-an tahun aktif (kiri). Selanjutnya, pada warga lansia, berumur 60-an tahun dan 70-an tahun, memori kerja itu menjadi tidak aktif (tengah). Namun, setelah otak lansia itu diberi stimulasi arus listrik yang tepat, maka bagian memori kerja itu akan aktif kembali (kanan).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Memori kerja itu merupakan tempat pusat kesadaran hidup,” kata asisten profesor di Universitas Boston, Amerika Serikat yang juga menjadi salah satu peneliti stimulasi listrik untuk otak, Robert MG Reinhart, seperti dikutip BBC, Senin (8/4/2019).
Memori kerja berbeda dengan memori jangka panjang. Memori jangka panjang memungkinkan manusia mengenang kembali kehidupannya di masa lalu, mulai dari masa kecil, hari pertama sekolah, hari pernikahan, hingga mainan atau barang kesayangan seseorang di masa kecil.
Memori kerja hanya mampu menyimpan informasi tertentu selama beberapa menit atau hingga beberapa jam saja. Kondisi itu disebabkan memori kerja akan selalu memperbarui informasi yang diterima otak. Namun, memori kerja ini akan menurun kemampuannya seiring dengan bertambahnya umur.
Memori kerja
Sifat alamiah memori kerja yang menurun itulah yang coba ditingkatkan oleh para peneliti. Studi yang dipublikasikan di jurnal Nature Neuroscience, Senin (8/4/2019) itu menguji kemampuan memori kerja pada 42 orang berumur 20-an tahun dan 42 orang berumur antara 60-an tahun hingga 70-an tahun. Mereka diminta memainkan gim untuk mencari perbedaan antara dua gambar yang mirip dan diperlihatkan satu demi satu, tidak bersamaan.
Pada mereka yang masih muda, umur 20-an tahun, mereka mampu mencari perbedaan antara dua gambar dengan cepat dan akurat tanpa perlu otak mereka distimulasi dengan aliran listrik tertentu. Sementara itu pada lansia, berumur 60-an sampai 70-an tahun, kinerja memori kerja otak mereka makin membaik setelah otaknya mendapat stimulasi listrik.
“Dengan stimulasi otak ini, kita dapat mengembalikan fungsi memori kerja otak lebih baik seperti yang kita miliki saat masih berusia muda,” tambah Reinhart.
CYDNEY SCOTT/BOSTON UNIVERSITY–Robert MG Reinhart
Hasil uji ini berpotensi besar mengingat populasi dunia makin menua dengan cepat. Di sisi lain, makin banyak lansia yang berjuang dengan berbagai aktivitas sehari-hari di tengah makin terbatasnya memori kerja mereka.
“Mengenali wajah, menavigasi lingkungan sekitar rumah, mengingat untuk mengambil dan meminum obat, hingga membuat keputusan keuangan adalah aktivitas sehari-hari yang harus dilakukan lansia. Namun banyak di antara mereka menghadapi kendala akibat turunnya fungsi memori kerja otaknya,” katanya.
Mekanisme stimulasi
Proses stimulasi otak responden lansia itu dilakukan dengan fokus pada gelombang otak di dua wilayah otak yang terlibat dalam memori kerja, yaitu bagian otak temporal dan prefrontal. “Otak bagaikan konduktor orkestra yang menggunakan ritme gelombang otak frekuensi rendah untuk mengomunikasikan informasi,” ujar Reinhart.
Namun seiring bertambahnya usia, gelombang otak itu menjadi tidak sinkron. Kondisi itu bagaikan pertunjukan orkestra dengan alunan berbagai jenis alat musik yang tidak selaras.
Untuk mendeteksi gelombang otak itu, para peneliti Universitas Boston merekam gelombang otak responden dengan elektroensefalogram. Selanjutnya, mereka menggunakan stimulasi arus listrik, khususnya arus bolak-balik transkranial tinggi (HD-tDCS), untuk memperkuat dan menyelaraskan kembali gelombang otak.
Uji itu memberi hasil dengan meningkatkan fungsi memori kerja pada responden lansia. Namun, kini, peneliti ingin memperluas metode itu pada responden yang lebih besar untuk memastikan hasilnya.
Selain itu, muncul pertanyaan baru apakah stimulus aliran listrik pada otak yang diberikan kepada responden memberi hasil nyata dalam kehidupan sehari-hari. Jangka manfaat dari uji yang lebih lama juga masih dipertanyakan mengingat dalam studi hanya menguji responden hingga 50 menit setelah stimulan diberikan.
Tantangan lainnya adalah menjadikan hasil studi itu benar-benar bermanfaat dalam kehidupan nyata dan jangka waktu manfaat yang lebih lama atau teknologi portabel untuk memberikan stimulus.
Riset itu juga dilakukan pada orang sehat sehingga tidak bisa ditarik kesimpulan bahwa metode serupa bisa dimanfaatkan untuk orang dengan penyakit Alzheimer alias pikun. Meski demikian, para peneliti berharap, stimulasi otak itu di masa depan akan mampu mengatasi berbagai gangguan otak mulai dari demensia, autisme, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD), hingga epilepsi.
Alzheimer’s Society, lembaga amal di Inggris yang mendukung riset, pencegahan dan perawatan demensia menyambut positif hasil penelitian tersebut. “Mengubah dan memperbaiki sirkuit otak dengan teknologi adalah jalan baru yang menarik untuk penelitian demensia.”
Mekanisme stimulasi aliran listrik ini baru diujikan pada lansia untuk memulihkan kemampuan memori kerja yang hilang. Namun, metode serupa diyakini bisa juga dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan memori kerja yang rendah.
“Saya pikir memungkinkan untuk meningkatkan fungsi kemampuan memori kerja kepada siapa saja, termasuk kepada orang yang normal dan sehat, juga mereka yang masih muda,” kata Reinhart. Namun, peningkatan paling besar terjadi pada orang-orang dengan fungsi memori kerja menurun atau pada lansia.
Meski demikian, profesor neuropsikologi perkembangan di Universitas Oxford, Inggris, Dorothy Bishop yang tidak terlibat dalam penelitian mengatakan terlalu dini untuk mengekstrapolasi temuan riset ini guna mendukung aktivitas sehari-hari mereka yang memiliki masalah memori kerja secara signifikan.
“Tidak ada indikasi bahwa efek stimulasi yang menguntungkan itu tetap bertahan setelah uji eksperimental selesai,” tambahnya. Karena itu, penelitian lain yang mendukung temuan tersebut perlu diperbanyak sebelum menyimpulkan bahwa metode ini bisa diaplikasikan secara klinis.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 10 April 2019