”Ini adalah sebuah doa,” ujar Ketua Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, B Herry Priyono, kemarin. ”Doa kepada para leluhur kami, para pendahulu kami yang telah mendirikan sekolah ini. Pada sebuah generasi yang telah melahirkan dan merawat sekolah ini seperti penjaga malam,” tuturnya.
”Ia (bangunan ini) tidak hanya merekam ketelitian seperti seorang penjaga malam—sosok Romo Magnis yang setia membangun sekolah ini dari awal—tetapi sekaligus mencoba merawat pertanyaan. Menjadi rongga di sela-sela hiruk-pikuk Jakarta,” ujarnya tentang konsep yang melatarbelakangi sosok gedung pascasarjana yang baru.
Bising Jakarta terasa senyap di dalamnya, membuat siapa pun menjadi betah untuk berlama-lama tinggal. ”Ada motif lain dari hanya sekadar gelar, yaitu ingin merefleksikan profesinya dengan lebih mendalam,” kata Romo Herry Priyono.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Didirikan pada 1 Februari 1969 sebagai pelaksanaan cita-cita almarhum Driyarkara dan Slamet Iman Santoso kala itu yang bertujuan memajukan Ilmu Filsafat dalam masyarakat Indonesia, sekolah tinggi itu kini menjadi semacam oase bagi pergulatan pemikiran di Indonesia.
Meskipun didirikan oleh Jesuit, STF Driyarkara tidak tumbuh dalam ruang terbatas. Pada program pascasarjana, mereka yang datang, tutur Herry Priyono, tidak sekadar diajar dengan ilmu filsafat murni yang memang menjadi mata kuliah wajib, tetapi juga diajak untuk membangun dialog dengan bidang-bidang lain lewat refleksi filsafat.
Ketika program pascasarjana dibuka pada tahun 1996, dinamika itu berkembang. STF tumbuh sebagai pusat intelektual, bukan dengan bahasa religius, melainkan dengan bahasa sekuler. ”Karena itu, para mahasiswa datang dari berbagai kalangan, seperti peneliti, dosen, guru, profesional muda, wartawan, pemimpin LSM, juga lulusan pesantren. Hingga para manajer di lingkungan Bank Indonesia pun masuk menjadi mahasiswa,” tutur Herry.
Mereka yang datang dari berbagai macam latar belakang itu bergulat bersama mencari pendalaman lewat refleksi filsafat dan menjadi benih komunitas intelektual untuk publik di Indonesia.
Seorang mahasiswa pascasarjana, Antarini Arna, memiliki pengakuan, ”Saya masuk ke sini untuk mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu saya temukan jawabnya.”
Pada perjalanannya setelah tiga tahun di bangku STF Driyarkara, dia berproses. ”Saya mendapatkan jawaban yang saya cari. Lebih dari itu, kini saya punya pertanyaan-pertanyaan baru. Dengan pertanyaan-pertanyaan baru itu, pandangan saya akan banyak hal jadi berubah,” tutur Antarini, seorang humanitarian defender.
Bagi Antarini, belajar adalah sebuah proses. Maka, yang dia cari adalah proses. ”Saya tidak mau belajar di universitas ritel. Mahasiswanya banyak. Saya tertarik pada proses belajar yang dialogis, ada tutor, yang bisa diketuk pintunya kapan saja. Saya menemukan hal itu di sini. Untuk menemukan sekolah ini merupakan sebuah proses pencarian tersendiri,” kata Antarini yang mengaku sebelumnya tidak pernah mendengar tentang STF Driyarkara.
Menurut Herry, ada motif lain dari sekadar mendapat gelar, yaitu ingin merefleksikan bidang keterlibatan dengan lebih mendalam dalam cuaca publik Indonesia yang multikultural, sebagaimana disebutkannya di atas.
Karena itu, STF, ungkap Herry, tidak menjadi sekolah ideologis, melainkan menjadi sekolah yang digagas untuk membangun cita-cita keluhuran, kedalaman, berani berkorban, disiplin berpikir, dan terlibat dalam dunia intelektual dengan bahasa kewarganegaraan. Terutama, menurut Herry, bangsa ini sekarang sudah kehilangan nilai-nilai keluhuran.
Dalam wujud fisiknya, hal itu dicoba direfleksikan melalui gedung baru pascasarjana yang dirancang oleh arsitek Andi Siswanto dan akan diresmikan pada Sabtu 22 Mei esok. Meskipun demikian, ruang itu sesungguhnya bukanlah ruang masif dari tumpukan batu semata, melainkan ruang-ruang dialektika, di mana aneka gagasan didialogkan dan ingin disumbangkan kepada publik.
Tempat ini diharapkan mampu juga menjadi sarana untuk membawa seseorang masuk dalam keheningan. ”Karena sesuatu yang tidak pernah diam sesungguhnya menunjukkan kedangkalan,” tuturnya. Dan siapa tahu, filsafat memiliki peran untuk membangun kejernihan, dunia pemikiran, dan kesejatian refleksi.
Harapan itu coba dihadirkan melalui ruang-ruang yang menghadirkan kesejukan di udara Indonesia yang tengah penat dengan segala hiruk-pikuk dan keriuhan. Seperti tertulis dalam paragraf terakhir puisi berjudul ”Ex Philosophia Claritas” itu….
Bila tiang dan dinding ini menua
Biarlah padanya merambat tradisi sekolah kami
Yang merawat buku, gagasan, dan teka-teki,
Hasrat belajar, daya nalar, serta imajinasi;
Dan bila dari sini lahir sekian generasi
Biarlah pucuk waktu menuntun keterlibatannya
Dengan kejernihan yang mempesona.
(ISW/JOS)
Sumber: Kompas, Jumat, 21 Mei 2010 | 04:48 WIB