Tiba-tiba kita mendengar banyak gelar yang dilekatkan orang kepada Soedjatmoko. Dan gelar-gelar itu alangkah hebatnya. Nono Anwar Makarim menyebutnya “dekan intelektual bebas Indonesia”. Tajuk Kompas mengajukan gelar “bagawan”. Emha Ainun Najib menyebutnya eyang dan ulama besar. Kiai Hamam menyebutnya sufi. Tetapi Soedjatmoko sendiri pernah dengan amat rendah hati menyebut dirinya sebagai “manusia budaya lndonesia“, yang juga menjadi warga dunia”.
Ungkapan itu memang sederhana. Tetapi mengandung pengertian yang amat dalam. Sebab dengan ungkapan itu dia menyatakan dirinya seorang humanis, yang dalam konteks Indonesia biasanya dikaitkan dengan paham yang memandang kebangsaan sebagal bagian dari kemanusiaan semesta. Ungkapan semacam itu jugalah yang dipergunakan oleh Surat Kepercayaan Gelanggang untuk mempermaklumkan diri sebagai “ahli waris kebudayaan dunia”, yang menerima rangsangan dari seluruh penJuru dunia, untuk “dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri”.
Pada awalnya, paham semacam itu terasa menjadi semacam pilihan lain dari “ Barat” dari “Timur” yang menjadi tema polemik kebudayaan di tahun 1930-an. Di tahun 1937, Sjahrir menulis bahwa ia menolak untuk memilih antara Barat yang kapitalistis dan Timur yang menghamba-hamba, sebab kedua-duanya harus silam dan memang sedang tenggelam ke masa silam. Di tahun 1936, Amir Syarifuddin dengan kelompok Harian Kebongoenan memperkenalkan suatu paradigma baru, yang tidak lagi membagi dunia dalam dua blok tradisional, Barat dan Timur, tetapi antara kekuatan demokratis melawan kekuatan fasis. Paradigma ini memberi jalan keluar dari kebuntuan nonkoperasi, ketika di tahun 1939 GAPI menuntut “Indonesia Berparlemen“.
Pada masa Jepang, baik Sjahrir maupun Amir Sjarifuddin memilih untuk bergerak di bawah tanah. Demikian Juga SoedJatmoko terpaksa terpencil di Solo, setelah dikeluarkan dari Sekolah Tinggi Kedokteran dan mengalami penyiksaan Jepang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tetapi justru di masa pengucilan inilah yang menanamkan pengertian yang mendalam tentang “nasionalisme tanpa kebencian”, setelah ia menyimak arus-arus kekerasan yang irasional semasa revolusi. Ungkapan itu dia peroleh dari ayahnya. Tetapi jelas tak lepas dari paradigma nasionalisme yang khas, yang melihat perjuangan kemerdekaan tidak terutama sebagai perjuangan melawan bangsa asing, tetapi lebih-lebih sebagai penuangan demokrasi.
Revolusi tampaknya memang merupakan pengalaman yang menyayat dalam, dan paham humanis lantas tertanam kuat pada masa ini, baik sebagai alternatif terhadap xenophobia dan nasionalisme sempit, maupun sebagai pembelaan terhadap manusia yang terasa dicabik-cabik oleh situasi revolusioner. Kesan saya, pengalaman traumatik ini jauh lebih mendalam pengaruhnya dibandingkan dengan sumber-sumber yang ditimba dari Barat dalam membentuk paham ini di Tanah Air.
Saya merasa bertemu dengan orang Jawa, ketika Soedjatmoko menulis: “Hidup ini senantiasa terelakkan dari perangkap akal manusia …Essensi hidup itu tak dapat tertuangkan dalam bentuk kata dan pengertian. Ia hanya dapat dialami dalam “rasa” .. Maka apabila berdasarkan suatu filsafat politik kita dari atas hendak mengatur kehidupan manusia dalam keseluruhannya, atau jika dalam berpolitik kita mengklaim memiliki kebenaran mutlak, kita sebenarnya telah menjalankan suatu keangkuhan terhadap hidup itu”.
Dan pendirian humanisnya terbersit tajam dalam kalimat berikutnya: “…dalam usaha kita untuk membawa perkembangan masyarakat ke suatu arah tertentu, janganlah kita melupakan manusia sendiri, manusia konkret. Sebab manusia konkret, kebahagiaan serta kegirangan hidupnya, ialah satu-satunya alasan kita dalam berpolitik dan yang merupakan ukuran terakhir bagi kita”.
Soedjatmoko sedang mengulas Dr. Zhivago ketika menuliskan kalimat itu, tetapi sebenarnya dia sedang mengungkap kembali perjumpaannya sendiri dengan revolusi. Perjumpaan itu telah menggoreskan secara amat mendalam pendiriannya sebagai humanis, yang tak pernah terhapus lagi dari Jati dirinya.
* * *
KETERPENCILANNYA pada masa-masa yang sulit itu juga membentuk sikapnya terhadap ilmu pengetahuan. Sesudah melahap berbagai karya besar, dan kemudian dalam protesnya memutuskan untuk tidak membaca lagi selama enam bulan, ia akhirnya mengaku: “Baru saya mengerti pentingnya pengetahuan sebagai penjelmaan dorongan batin. Kalau dulu pengetahuan itu saya isap, saya kumpulkan, sekarang saya mulai melihat pengetahuan sebagai perluasan dari dalam, perluasan dari pertumbuhan akal dan jiwa manusia“. Sejak itu, ia tak lagi terintimidasi oleh kemampuan dan reputasi pemikir-pemikir termasyhur. “Saya terus-menerus mencari sendiri dan menghadapi pemikir-pemikir utama dunia sebagai salah satu cetusan, sebagai rekan pencari kebenaran. Sesudah itu saya bebas dari cengkeraman dan dominasi pengetahuan. Pengetahuan kemudian menjadi alat pembuka pengertian, yang tidak ada artinya tanpa keikhlasan dan keinginan untuk tahu, untuk mengerti dan untuk pada akhirnya cinta kepada manusia”.
Sikap inilah barangkali yang telah mendorongnya melintasi berbagai pagar disiplin ilmu ketika bergumul dengan masalah dan tantangan yang dirasakannya mengancam otonomi dan kebebasan manusia, dua kata yang menurut Ignas Kleden merupakan kunci utama untuk memahami Soedjatmoko. Sebab dalam penjelajahannya yang luas itu, ia selalu bergulat dengan persoalan yang sama, yaitu “bagaimana menyelamatkan dan mempertahankan kebebasan dan otonomi manusia, yang menerima ancaman dari seluruh penjuru kehidupan”.
Ignas menganggap, gagasan pembebasan itu memperoleh inspirasi penting dari cita-cita humanisme renaisans dan Aufklaerung. Namun hemat saya, perjumpaan yang traumatik dengan revolusi telah membuat goresan yang lebih mendalam lagi, dan meninggalkan suatu ciri yang khas, paham humanis yang berpaut pada pengalaman Indonesia.
Paham itu akan tetap terdengar selama kebebasan masih merupakan masalah. Dan seperti ditulis Soedjatmoko, usaha pembebasan itu akan berlangsung terus, karena setiap gerakan pembebasan akan menemui kemerosotannya sebagai mekanisme yang melayani diri sendiri Kebebasan tidak bisa diniscayakan begitu saja. Setiap situasi baru memerlukan perumusan problematikanya yang baru.
Soediatmoko telah pergi, ketika peroblematika baru itu sedang di ambang pintu. Tetapi paham humanis tak pernah mati. Dari sanalah akan selalu muncul semangat dan harapan yang baru.”“
Aswab Mahasin, direktur LP3ES
Sumber: Kompas, 27 Desember 1989