Pusat Standardisasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendaftarkan kriteria ekolabel pada kategori kantong belanja bioplastik ke Badan Standardisasi Nasional atau BSN. Plastik terurai sempurna di dalam tanah itu diharapkan menyaingi penggunaan plastik umumnya yang diklaim ramah lingkungan.
Kepala Pusat Standardisasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Noer Adi Wardojo, Jumat (7/10), di Jakarta, mengatakan, pendaftaran produk tas belanja plastik dan bioplastik mudah terurai ke BSN mencapai jajak pendapat/uji publik yang berakhir 17 Oktober 2016. Bila tak ada tanggapan negatif publik, BSN segera menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI).
SNI itu akan memperbarui SNI kriteria ekolabel kategori kantong belanja plastik 2011. Jenis kantong belanja saat itu mengacu kantong belanja plastik berbahan polimer bijih plastik dan campuran tepung pati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seiring perkembangan teknologi, muncul kantong belanja plastik 100 persen dari tepung nabati. Di Indonesia, kata Adi, terdapat dua nama dagang yang diproduksi pabrik di Indonesia: Ecoplas dan Enviplast.
Tiap merek dagang itu mengklaim bioplastik produksinya bisa terurai sempurna pada 6 bulan hingga 4 tahun. Plastik itu terurai karena diproses bakteri tanah.
Adi menambahkan, plastik itu hancur ketika dimasukkan ke dalam air panas. Di satu sisi, bioplastik aman bagi ternak.
Harga bioplastik itu, kata Adi, berkisar Rp 200-Rp 1.500 per lembar ukuran sedang. Beberapa waktu lalu, Asosiasi Peritel Indonesia menyebut harga plastik jenis oxium sekitar Rp 800 yang berarti pihaknya masih memberi subsidi saat program kantong plastik berbayar (Kompas, 4/10).
“Kalau kekuatan pasar mendorong penggunaan bioplastik, pasti produsen akan bertambah. Harga lebih murah,” kata Adi.
Adi menekankan, penggunaan bioplastik merupakan garda terakhir pengelolaan sampah, terutama, katanya, pengurangan, pemakaian ulang, dan pengolahan kembali sampah.
Dihubungi terpisah, Agus Haryono, Kepala Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan, selama ini plastik ramah lingkungan yang umum dipakai peritel tak terurai sempurna. “Plastik seperti itu butuh terurai dengan syarat suhu dan tekanan tertentu. Kalau syarat tidak terpenuhi, sangat lama terurainya,” katanya.
Bioplastik saat ini, katanya, penggunanya masih terbatas dan segmen masyarakat tertentu. Karena itu, produksinya pun belum terlalu banyak sehingga harga relatif lebih mahal.
Selain dari tepung nabati, pembuatan bioplastik juga bisa dari senyawa poli asam laktat (PLA) yang berasal dari biomassa atau gula. Namun, proses pembuatannya lebih mahal.
“Standar biodegradable masih jadi perdebatan. Di Indonesia, tempat menguji belum ada. Bakterinya bisa didatangkan dari Singapura,” katanya. Bila produksi dan animo bioplastik tinggi, ia yakin berdampak pada ketersediaan laboratorium uji. (ICH)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Oktober 2016, di halaman 14 dengan judul “SNI Ekolabel Bioplastik Didaftarkan”.