Kekeringan dan Kebakaran untuk Diantisipasi
Institut Pertanian Bogor dan Columbia University, Amerika Serikat, membangun sistem risiko kebakaran yang mampu mendeteksi potensi kebakaran hutan tiga bulan sebelumnya. Itu diharapkan memberi waktu cukup bagi para pihak bersiap diri mencegah kebakaran.
Sistem itu diperkirakan siap dioperasikan setahun mendatang. Pengembangan sistem menggunakan data prediksi iklim, “sejarah” temuan titik panas, peta lahan/gambut, data sosial/ekonomi, dan infrastruktur.
“Sudah sepuluh provinsi bisa kami petakan, terutama di wilayah langganan kebakaran hutan dan lahan,” kata Rizaldi Boer, Guru Besar Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB, Senin (7/9) di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sistem itu dibangun IPB dan Columbia University sejak 2008. Awalnya dibangun untuk memperkuat sistem peringatan karhutla monitoring system (KMS) yang dikembangkan Badan Pengelola Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD+). Bedanya, KMS berbasis data cuaca hanya bisa memprediksi enam hari sebelumnya.
“Terlalu sempit waktunya untuk mempersiapkan diri,” kata Rizaldi seusai diskusi “El Nino: Pelajaran dari Pengalaman Masa Lalu untuk Perencanaan dan Tindakan” yang digelar Kantor PBB untuk Koordinasi REDD di Indonesia (UNORCID).
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS–Helikopter Kamov dari Rusia yang didatangkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana ke Kalimantan Selatan memadamkan kebakaran lahan gambut di wilayah Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Senin (7/9). Operasi pemadaman lewat udara mulai dilakukan di Kalimantan Selatan untuk menanggulangi kabut asap yang mengganggu aktivitas dan kesehatan.
Rizaldi yang juga Direktur Eksekutif Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pasific mengatakan, fire risk system telah diujicobakan di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas di Kalimantan Tengah. Hasilnya belum sempurna. “Ada lokasi tidak rentan, tapi terbakar hebat. Setelah dicek, ternyata ada perubahan tutupan lahan dari hutan jadi semak belukar,” katanya.
Sistem ini bisa jadi bukti dan modal awal bagi masyarakat untuk mengawasi alih fungsi hutan ilegal. Ia juga mengharapkan sistem itu bisa digunakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ataupun pemerintah daerah untuk menerbitkan berbagai kebijakan terkait.
Menurut Johan Kieft, Kepala Unit Ekonomi Hijau UNORCID, sistem ini sangat berguna bagi Indonesia karena kebakaran di Indonesia sebagian besar terjadi di daerah gambut yang dikeringkan. “Sistem pemantauan sekarang berbasis hot spot atau telanjur terbakar. Di gambut, api sulit dipadamkan,” ujarnya.
Itu karena titik yang terbakar berada di kedalaman sehingga membutuhkan ekstra air agar api benar-benar padam. Kebakaran di gambut menimbulkan kabut asap yang mengganggu kesehatan warga dan perekonomian.
“Seperti kondisi saat ini, saya tak mau pesimistis. Kenyataannya, kita sudah terlambat untuk berbuat. Karena itu, kita harus mengantisipasi kekeringan atau kebakaran mendatang,” katanya.
Kieft berharap langkah baik yang pernah dilakukan pemerintah mengantisipasi kebakaran hutan/lahan dilanjutkan. Audit kepatuhan terhadap perusahaan dan penerbit izin agar diperluas, tak hanya di Riau. Pembangunan sekat kanal juga perlu direplikasi untuk memastikan gambut tetap basah. (ICH/B09)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 September 2015, di halaman 14 dengan judul “Sistem Peringatan Baru Disiapkan”.