Partisipasi perempuan di bidang sains, teknologi, rekayasa, dan matematika makin diperhitungkan. Isu jender tak lagi jadi hambatan perempuan untuk berkarya di bidang itu. Meski demikian, keterlibatan perempuan perlu didorong. Sistem yang berjalan belum mendukung perempuan bisa maksimal di bidang STEM.
Peneliti dari Departemen Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Sri Fatmawati, menyampaikan, sistem pendukung jadi penentu keberhasilan perempuan di bidang sains, teknologi, rekayasa, dan matematika (STEM). ”Sistem pendukung terbentuk dulu, dari orangtua, lingkungan sekitar, tempat kerja, dan pasangan,” ujarnya seusai diskusi ”Perempuan dalam Ekosistem Sains”, Jumat (19/10/2018), di Jakarta.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Pendiri Fifty50, organisasi mahasiswa yang mempromosikan isu keadilan perempuan di bidang STEM di Australia, Francesca Maclean dalam acara forum diskusi bertajuk “Perempuan dalam Ekosistem Sains” yang diadakan oleh Akademi Ilmuan Muda Indonesia (AIMI), Jumat (19/10/2018) di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tanpa sistem pendukung kuat, perempuan sulit menggapai cita- cita lebih tinggi, terlebih di bidang STEM. Tekanan sosial terkait peran sebagai ibu mengakibatkan sebagian perempuan merelakan kariernya. ”Perempuan harus bekerja keras saat memilih berkarier dan berkeluarga, tetapi itu bukan hambatan. Jika sistem terbentuk, peran itu bisa dijalani dengan baik karena ada dukungan orang sekitar,” kata Sri.
Laporan Forum Ekonomi Dunia 2016 dalam Global Gender Gap Report menyatakan perlu upaya lebih keras mengatasi ketertinggalan perempuan di bidang STEM. Itu disebutkan pula oleh lembaga pengkajian McKinsey pada 2016. Lembaga itu melaporkan, di industri teknologi informasi, 37 persen perempuan lolos saat penerimaan pekerja. Perempuan yang menduduki posisi manajemen senior 25 persen dan mencapai puncak 15 persen.
KOMPAS/YUNI IKAWATI (YUN)–Prof Dr Eng Eniya Listiani Dewi
Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material Eniya Listiani Dewi menambahkan, selain dari dukungan orang sekitar, dukungan lingkungan kerja pun sangat berperan untuk mendukung perempuan di bidang STEM. Contohnya, belum semua lembaga penelitian ataupun universitas menyediakan tempat penitipan anak ataupun ruang laktasi.
Terkait hal itu, peran pemerintah melalui kebijakan menjadi penting untuk mendukung layanan tersebut. Konsep pengarusutamaan jender yang digaungkan pemerintah sejak lama perlu digugah kembali agar konsep tersebut bisa diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Pendiri Fifty50, organisasi mahasiswa yang mempromosikan isu keadilan perempuan bidang STEM di Australia, Francesca Maclean berpendapat, saat ini perlu lebih banyak perempuan di bidang STEM karena perempuan belum menempati setidaknya setengah dari posisi kepemimpinan yang ada. Kepemimpinan perempuan ini diperlukan untuk menentukan keputusan yang berkaitan dengan komunitasnya. Keberagaman diperlukan agar inovasi yang dihasilkan lebih berkembang.
“Selain kesetaraan (equality) jender, yang paling penting adalah adanya keadilan (equity) jender. Keadilan jender ini bagaimana memberikan kesempatan sama sehingga tujuan yang dicapai sama tingginya,” katanya.
Ketua Akademi Imu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro menyampaikan, ilmu pengetahuan dan sains tidak mengenal adanya batasan, termasuk batas jender. Semua kalangan dirangkul untuk berpartisipasi di bidang ini. Sayangnya, konsep sains tanpa batasan belum mewujud secara maksimal. “Hambatan utama biasanya bersifat budaya dan struktural. Ini perlu kita perhatikan bersama,” ujarnya.–DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 20 Oktober 2018