Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengusulkan perombakan sistem akreditasi sekolah. Sistem ini tak sejalan dengan visi Kemdikbud menghilangkan pengkastaan sekolah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempertimbangkan merombak sistem akreditasi sekolah guna menghilangkan favoritisme terhadap sekolah-sekolah tertentu. Harapannya, ke depan sistem yang baru bisa berlaku adil terkait Seleksi Masuk Nasional Perguruan Tinggi Negeri.
“Saat ini, akreditasi sekolah bertingkat A, B, C, dan tidak terakteditasi. Sistem ini mengakibatkan pola pikir masyarakat bahwa ada sekolah yang bagus dan ada yang buruk. Akibatnya, berpengaruh ke dalam SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) yang semestinya menggunakan nilai rapor,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy ketika ditemui di Jakarta, Rabu (30/1/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR –Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy (berpeci hitam) ketika melakukan jumpa pers mengenai rencana pemerintah untuk pemerataan mutu pendidikan.
Ia mencermati sistem SNMPTN yang memberi jatah 40 persen untuk SMA/madrasah berakreditasi A, 30 persen untuk yang berakreditasi B, serta 5 persen untuk sekolah berakreditasi C atau tidak terakreditasi. Menurut dia, sistem ini tidak sejalan dengan visi Kemdikbud menghilangkan pengkastaan sekolah dan pemerataan mutu pendidikan.
Tidak adil
Muhadjir berpendapat, tidak adil apabila administrasi sekolah yang dijadikan penentu siswa bisa masuk ke dalam kuota SNMPTN. “Prestasi semestinya diukur dari capaian individual, bukan dari kelengkapan administrasi sekolah, walaupun di saat yang sama kita terus mengupayakan peningkatan sarana dan prasarana sekolah. Siswa tetap sebagai subyek utama yang harus dievaluasi berdasarkan kinerja masing-masing,” tuturnya.
Akreditasi A, B, dan C ini yang menurut dia membuat orangtua berebut memasukkan anak ke sekolah-sekolah yang dinilai unggul dan digemari banyak orang. Walhasil, pembelajaran yang terjadi di sekolah tidak demi mengembangkan wawasan dan kompetensi, tetapi demi lulus masuk sekolah maupun perguruan tinggi tertentu.
Muhadjir memaparkan, gagasan yang dikembangkan adalah hanya membuat sistem sekolah terakreditasi dan tidak terakreditasi, tidak ada lagi akreditasi A, B, C. Status terakreditasi harus menjamin sekolah itu memenuhi semua standar pendidikan nasional. Adapun sekolah yang tidak memenuhi atau pun belum memenuhi secara sempurna masuk ke kategori tidak terakreditasi. Dengan demikian, pemerintah beserta lembaga terkait bisa lebih mudah melakukan pembinaan kepada sekolah yang belum terakreditasi.
Sebelumnya, Kemdikbud berupaya menghilangkan pengelompokan sekolah melalui sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) berbasis zonasi. Syarat PPDB adalah jarak dari rumah ke sekolah, bukan nilai rapor dan ujian nasional.
Muhadjir mengatakan, sistem zonasi bisa menjadi lebih efektif untuk melihat sekolah-sekolah yang masih perlu dikembangkan, termasuk sekolah swasta agar tidak tertinggal dalam pembangunan. Targetnya, masyarakat tidak perlu was-was ketika anak masuk sekolah negeri atau pun swasta karena status akreditasi menjamin mereka mendapat pendidikan yang baik.
“Ide ini sudah didiskusikan dengan Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi agar bisa dibuat sistem SNMPTN yang berkesinambungan dengan visi pendidikan dasar dan menengah,” ucapnya.
Kolaborasi
Selain itu, juga digaungkan pembelajaran yang berupa kolaborasi, bukan kompetisi. Muhadjir menerangkan, pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia, di dalamnya ada unsur toleransi, empati, bekerja sama, dan membangun bangsa. Sistem pendidikan yang berkembang selama ini adalah menekankan pentingnya daya saing agar bisa menang. Padahal, kunci kemajuan masyarakat adalah kerja sama dengan mengoptimalkan segala keragaman potensi untuk satu tujuan, bukan saling mengalahkan.
“Guru-guru akan terus diberdayakan kemampuan mengembangkan pembelajaran berbasis proyek dan kerja kelompok untuk mengasah aspek kognitif dan sosial siswa,” ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan idealis di pusat tidak bisa terlaksana di daerah tanpa koordinasi dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Kementerian Damam Negeri hendaknya juga dilibatkan.
“Orangtua memilih sekolah “unggulan” karena merupakan naluri alami. Mereka melihat sekolah hanya dari tampilan fisik dan reputasi,” katanya.
Perbaikan infrastruktur dan daya dukung sekolah harus digalakkan. Akan tetapi, belum ada provinsi yang mau menganggarkan 20 persen anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk sektor pendidikan. Dari sisi kebijakan, mereka juga masih fokus kepada kesejahtetaan masyarakat dan pembangunan infrastruktur umum.
Dari sisi pelatihan guru juga harus dilaksanakan secara saksama, lanjut Ubaid. Jangan sampai guru yang mengikuti berbagai pelatihan adalah orang yang sama terus-menerus atau terdapat berbagai pelatihan dengan topik serupa.
“Peta berdasarkan rapor sekolah yang dikeluarkan Kemdikbud hingga kini belum terpantau digunakan sebagai landasan pengembangan pendidikan di daerah. Harus ada komitmen semua pihak untuk melaksanakannya,” tutur Ubaid.
Oleh LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 31 Januari 2019