Gerhana Matahari Total 2016
Sebagai fenomena alam biasa tetapi langka, gerhana matahari total 9 Maret 2016 yang terlihat di beberapa daerah di Indonesia menjadi fenomena yang sayang dilewatkan. Terlebih lagi, wilayah daratan yang bisa menyaksikan gerhana nanti hanya Indonesia. Namun, sebagian warga masih takut menyaksikan karena khawatir mata rusak atau mengalami kebutaan setelah melihat gerhana.
Trauma pelarangan menyaksikan gerhana matahari total (GMT) 11 Juni 1983 yang terjadi di tengah Jawa, selatan Sulawesi, tenggara Maluku, dan selatan Papua sepertinya masih membekas di ingatan masyarakat. Saat itu, warga dipaksa tinggal di rumah, menutup semua lubang dan kaca yang memungkinkan sinar matahari menerobos rumah, serta bersembunyi di kolong meja dan tempat tidur. Larangan itu dikeluarkan agar warga terhindar dari kebutaan akibat terkena sinar matahari yang tergerhanai.
Jajak pendapat Litbang Kompas yang diselenggarakan 8-9 Februari 2016 pada 574 responden berusia minimal 17 tahun lewat telepon rumah menunjukkan 60,1 persen responden setuju pelarangan melihat gerhana karena bisa merusak penglihatan. Bahkan, jika pemerintah melarang melihat gerhana 9 Maret nanti, ada 71,4 persen responden akan mematuhinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hasil jajak pendapat itu mengejutkan mengingat hanya 56,4 persen responden yang tahu terjadi GMT 1983. Apalagi pemilik telepon rumah identik dengan kelompok menengah atas yang terdidik. Itu menunjukkan minimnya informasi tentang gerhana yang dimiliki masyarakat, termasuk cara mengamati gerhana yang aman.
Dokter subspesialis retina mata di Rumah Sakit Mata Jakarta Eye Center Kedoya, Jakarta, Referano Agustiawan, Kamis (25/2), menyatakan, secara prinsip, tak ada beda antara menyaksikan matahari pada kondisi normal sehari-hari dan melihat matahari saat gerhana, baik total maupun sebagian. “Keduanya berbahaya, bisa merusak mata. Karena itu, tak disarankan melihat langsung matahari, apalagi dalam waktu lama,” katanya.
Pada hari biasa, amat jarang orang menatap matahari dalam waktu lama, seperti orang tak sadar karena pengaruh obat, pasien gangguan jiwa. Saat gerhana, warga justru ingin melihat matahari langsung. Gerhana matahari tetap bisa dinikmati tanpa mengorbankan kesehatan mata.
Retina
Mata manusia terbagi atas kelopak mata, kornea (lapisan terluar bola mata), iris (selaput pelangi), pupil (anak mata), lensa mata, dan retina (saraf mata). Manusia bisa melihat obyek apabila ada cahaya melewati kornea, diteruskan ke pupil, difokuskan lensa, dan diterima retina.
Sinar matahari berlebih yang ditangkap mata bisa merusak retina. Retina ialah lapisan terdalam di mata, berfungsi menerima cahaya dan mengantarkan ke otak untuk diolah agar membentuk bayangan atau citra.
Ibarat kamera analog, retina bekerja seperti film. Jika kita membuka kamera berisi film di tempat terbuka, film terbakar dan tak bisa dicetak. Retina mata pun terbakar jika terlalu banyak terpapar sinar matahari.
Retina ialah bagian mata terpenting. Apabila ada bagian mata lain rusak, operasi perbaikan penglihatan bisa dilakukan selama retina sehat. Sebaliknya, jika retina rusak meski bagian mata lain baik, penglihatan seseorang tak akan bisa jadi kembali normal.
Di retina, miliaran sel sensitif pada cahaya. Sel-sel itu membuat manusia bisa melihat warna dan bentuk benda. Jika sinar matahari masuk berlebihan ke retina, retina mengeluarkan zat kimia bersifat toksik yang merusak pusat retina mata atau makula.
“Kerusakan retina mata akibat menatap langsung sinar matahari dengan mata telanjang dalam waktu lama disebut solar retinopathy. Itu bisa memicu kebutaan permanen,” kata Referano. Kerusakan akibat melihat matahari saat gerhana disebut solar eclipse retinopathy.
Kerusakan retina yang parah itu tak menimbulkan nyeri atau sakit karena retina tak punya saraf. Akibatnya, penderita tak sadar retinanya rusak. Gejala solar retinopathy adalah ada titik hitam pada pandangan mata.
Cahaya matahari yang merusak retina adalah sinar ultraviolet tipe B (UVB). Selain retina, UVB memicu kulit bagian luar terbakar dan kanker kulit. Makin rendah posisi lintang suatu daerah dan kian tinggi dari permukaan laut, paparan sinar UV lebih tinggi. Paparan tertinggi terjadi pukul 10.00-14.00. Meski mendung, risiko sinar UV tetap tinggi.
Dokter spesialis mata konsultan di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo, Bandung, Iwan Sovani dkk, dalam artikel “Gerhana Matahari dan Penglihatan Anda” menyebut masalah penglihatan akibat solar eclipse retinopathy ada satu hari sampai sebulan setelah melihat gerhana.
Gejalanya antara lain penglihatan buram dan muncul skotoma atau bayangan hitam menutupi pandangan. Selain itu, bisa terjadi metamorphopsia atau melihat garis lurus jadi bengkok dan benda jadi lebih besar atau kecil. Tanda lain ialah gangguan penglihatan warna, silau, dan sakit kepala.
Keluhan umumnya di kedua mata. Di mayoritas kasus, tajam penglihatan kembali normal dalam beberapa bulan. Sejumlah pasien mengalami kerusakan permanen berupa tajam penglihatan turun dan skotoma menetap.
Reaksi mata
Referano menambahkan, mata manusia tak bisa menerima cahaya berlebih. Saat cahaya terlalu menyilaukan, mata menyipit dan kelopak mata turun untuk mengurangi sinar yang masuk mata. Lalu, iris akan berkontraksi sehingga pupil mengecil untuk mereduksi sinar masuk ke retina.
Saat totalitas gerhana, sinar matahari tertutup sepenuhnya oleh piringan bulan, maka mata bereaksi seperti saat melihat dalam gelap. Kelopak mata membuka dan pupil melebar untuk menangkap cahaya sebanyak mungkin.
Hanya saat totalitas gerhana itu, ketika korona matahari tampak, mata bisa menatap matahari tanpa filter pengurang intensitas cahaya matahari. Pemakaian filter membuat korona tak terlihat. Korona hanya tampak saat gerhana matahari total dan kecerlangannya amat lemah sehingga aman ditatap langsung mata.
Namun, fase totalitas gerhana nanti di sejumlah tempat di Indonesia hanya 1,5-3 menit. Saat totalitas gerhana berakhir, sinar matahari bersinar terang kembali, pupil mata cenderung tetap terbuka lebar sehingga rentan menimbulkan solar retinopathy.
Pergeseran piringan bulan setelah fase totalitas gerhana terjadi perlahan, tak mendadak. Namun, perubahan cepat dalam hitungan detik itu kurang disadari pengamat yang terpesona melihat matahari. “Jadi, bukan gerhananya yang membahayakan mata, tetapi intensitas tinggi sinar matahari bisa merusak retina,” ujarnya.
Kacamata gerhana
Meski melihat langsung matahari berbahaya bagi mata, gerhana matahari bisa dinikmati lebih aman dengan alat atau cara tertentu. Selain kacamata gerhana penyaring sinar UV, pemakaian kamera atau teropong dilengkapi filter khusus bisa dilakukan.
Namun, harus dipastikan jenis dan kemampuan kacamata menyaring UV. Penggunaan kacamata hitam sembarangan yang tak bisa menyaring sinar UV berbahaya karena pupil mata membesar akibat pandangan gelap dari kacamata. Konsekuensinya, paparan sinar UV ke retina kian besar.
Sementara Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menganjurkan warga yang akan melihat gerhana matahari agar memakai kacamata anti-UV. Pada sebagian orang, kerusakan makula akibat paparan sinar matahari tinggi dan lama bisa dipulihkan. Pada sebagian lain, kerusakan menetap. “Kemampuan pemulihan makula tergantung usia dan lama paparan matahari,” katanya.
Meski demikian, menurut Referano, jarang ada kebutaan akibat solar retinopathy, hanya 1-2 kasus per tahun. Selain karena jumlah penderita terbatas, amat jarang orang sengaja menatap lama matahari. (ADH/MZW)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Maret 2016, di halaman 24 dengan judul “Sinar Surya Perusak Mata”.