Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah dengue dan chikungunya kian pendek menyusul perubahan iklim yang terjadi secara global. Hal itu mengakibatkan pertambahan populasi nyamuk bisa terjadi lebih cepat.
Menurut Kepala Loka Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Ciamis Kementerian Kesehatan Lukman Hakim, Selasa (16/12), di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, dulu siklus nyamuk mulai dari telur, larva, pupa, hingga nyamuk dewasa sekitar 10 hari. Sejumlah riset menunjukkan, dalam beberapa tahun terakhir, siklus itu jadi lebih pendek, 7-8 hari.
Selain itu, perubahan iklim global menyebabkan siklus perkembangan virus dalam tubuh nyamuk sebelum menular ke manusia kian pendek, dari seminggu jadi 3-4 hari. ”Hidup nyamuk dipengaruhi perubahan suhu. Seperti di Lembang, Jabar, yang dingin, dulu tak ditemukan nyamuk Aedes. Kini, kasus DBD di sana banyak muncul,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Siklus nyamuk dan virus yang hidup di dalam tubuhnya yang lebih pendek itu bisa menyebabkan penularan penyakit lebih cepat. Karena itu, intervensi di aspek preventif dan kuratif harus menyesuaikan hal itu.
Dulu banyak pemerintah daerah menggalakkan kegiatan ”Jumat bersih” setiap minggu yang kegiatannya antara lain pemberantasan sarang nyamuk. Dengan siklus nyamuk kian singkat, kegiatan itu harus dilakukan lima hari sekali. ”Kalau menunggu seminggu, nyamuk keburu terbang,” kata Lukman.
Peneliti di Loka Litbang P2B2 Ciamis Endang Puji Astuti menjelaskan, tak semua nyamuk mengalami siklus lebih pendek. Sebab, nyamuk di satu tempat punya karakteristik masing-masing. Selain perubahan iklim, pola penyakit vektor nyamuk dipengaruhi pembangunan daerah.
Makin padat satu daerah, populasi nyamuk kian tinggi. Contohnya, semula Pangandaran endemik malaria. Beberapa tahun terakhir, kasus malaria di daerah itu jauh berkurang seiring kian banyak permukiman. (ADH)
Sumber: Kompas, 17 Desember 2014