CATATAN IPTEK
Gempa beruntun yang mengepung Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat pada tanggal 2 dan 5 Februari 2019 menjadi alarm yang mengingatkan kembali tentang ancaman bahaya dari zona patahan raksasa di kawasan ini. Upaya mitigasi besar-besaran dilakukan, namun kapan gempa itu akan terjadi masih menjadi misteri alam.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo dan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Dwikorita Karnawati, serta sejumlah pakar telah ke Padang dan Mentawai, untuk menyiapkan masyarakat dari kemungkinan terburuk. Salah satu pakar gempa yang turut serta adalah Danny Hilman Natawidjaja dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
KOMPAS/AHMAD ARIF–Aktivitas kegempaan di segmen megathrust Mentawai dikhawatirkan mendekati siklus gempa besar yang berpotensi tsunami. Kondisi Kota Padang, Rabu (6/2), hampir dua pertiga atau sekitar 618.000 warga kota ini tinggal di kawasan pesisir yang rentan terdampak tsunami. Kompas/Ahmad Arif
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Danny telah meneliti siklus gempa bumi di barat Sumatera sejak belasan tahun lalu dan meyakini segmen megathrust (patahan raksasa) Mentawai telah berada di ujung siklus. Bahkan, setahun sebelum tsunami Aceh 2004, dia telah menyampaikan tentang ancaman gempa bumi besar dari segmen Mentawai ini (Kompas, 2 Oktober 2003).
Keberulangan gempa bumi dan tsunami di kawasan ini, menurut Danny, terjadi setiap 200 – 300 tahun. Perulangan gempa ini diketahui berdasarkan jejak pada koral atol genus porites mikroatol yang banyak tumbuh di perairan Mentawai, Simeulue, Nias, dan pulau-pulau lain di barat Sumatera.
Koral ini akan tumbuh hingga mendekati permukaan laut. Apabila pantai terangkat karena gempa, tubuh mikroatol yang tersembul ke atas air akan mati. Namun, bagian koral yang masih berada dalam air akan tetap hidup. Sebaliknya, apabila muka pantai turun setelah periode gempa, koral akan tenggelam dan bagian atasnya akan bertambah tinggi hingga mendekati permukaan. Dari siklus hidup dan matinya mikroatol ini, Danny menemukan, proses naik dan turunnya pulau-pulau di pantai barat Sumatera akibat gempa telah berulangkali terjadi.
Sedangkan untuk mengetahui potensi energi yang tersimpan diketahui dari pergeseran puluhan alat Global Positioning System (GPS) menerus yang dipasang di kawasan ini. Laju pergeseran lempeng di zona subduksi ini yang mencapai 5 sentimeter per tahun dikalikan dengan rentang kejadian gempa besar terakhir.
Di segmen ini sebenarnya pernah terjadi gempa berkekuatan M 7,9 pada tahun 2007 dan M 7,8 pada 2010. Namun demikian, masih ada dua pertiga bagian yang belum runtuh sehingga potensi gempanya masih bisa mencapai M 8,8 jika dihitung dari energi yang tersimpan selama 222 tahun sejak gempa besar terakhir pada 1797.
Catatan kolonial menunjukkan, gempa 10 Februari 1797 itu terjadi pada 22.00 malam dan diikuti tsunami. Sekalipun memiliki pengetahuan lokal tentang gempa, namun orang Mentawai tak merekam tsunami. Catatan kolonial juga tak menyebut dampak tsunami di Mentawai. Hal ini karena hingga tahun-tahun itu, masyarakat di kepulauan ini masih tinggal di pedalaman yang aman dari sapuan tsunami.
Kehancuran akibat tsunami hanya terekam di pesisir Padang. Disebutkan, gelombang tsunami menghancurkan permukiman di Air Manis (Padang Selatan) dan menewaskan 300 orang. Satu kapal terbawa hingga 5,5 kilometer ke daratan (Soloviev dan Go, 1974).
Hingga tahun 1797 itu, pesisir Padang masih sepi penduduk karena orang Minang aslinya tinggal di pedalaman Bukit Barisan. Peta kuno Belanda tahun 1781 menunjukkan, permukiman masyarakat lokal hanya ada di sisi selatan Batang Arau, di kaki Gunung Padang (Apenberg) sekitar 2 kilometer dari pantai.
Namun, seiring waktu, Padang tumbuh menjadi kota pesisir. Sekitar 830.000 jiwa penduduknya kini tinggal di tepi pantai barat Sumatera yang rentan terdampak tsunami. Jadi, dibandingkan 222 tahun lalu, risiko gempa dan tsunami di Kota Padang saat ini jelas berlipat.
Pertumbuhan penduduk
Siklus gempa bumi dan tsunami di masa lalu tidak menjadi ancaman karena masyarakatnya tinggal di pedalaman. Peradaban besar di Sumatera hampir semuanya tumbuh di sepanjang pantai timur yang aman dari bencana, mulai dari Kerajaan Sriwijaya, Melayu-Riau, hingga Samudera Pasai. Bahkan, akses utama ke Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau melalui sungai-sungai di pantai timur, dibandingkan pantai barat Sumatera.
Fenomena serupa terjadi di pesisir selatan Jawa yang menghadapi ancaman gempa dan tsunami. Pertumbuhan kawasan ini baru terjadi setelah Belanda membangun pelabuhan di Cilacap pada tahun 1840. Demikian juga masyarakat di Ambon dan Pulau Seram, yang sebelum kedatangan Belanda tinggal di perbukitan, sehingga ketika tsunami melanda pada 1674, jumlah penduduk lokal yang menjadi korban jiwa relatif kecil.
Selain faktor perdagangan dan kolonial, pertumbuhan penduduk ke zona rentan tsunami ini juga dipicu oleh siklus bencana yang panjang. Setelah letusan Gunung Krakatau diikuti tsunami pada tahun 1883 yang menewaskan lebih dari 36.000 jiwa, geologi Indonesia memasuki fase tenang. Pada periode inilah pertumbuhan penduduk melonjak dari 25 juta jiwa pada tahun 1885 menjadi 205 juta jiwa pada tahun 2000, sebagian besar di antaranya tinggal di pesisir (Reid, 2016).
Pertumbuhan penduduk ini meningkatkan kerentanan, seperti terlihat dalam 15 tahun terakhir, korban jiwa akibat gempa dan tsunami di negeri ini mencapai lebih dari 200.000 jiwa. Sebagian besar korban terjadi karena penduduk yang tinggal di zona bahaya tidak memiliki pengetahuan tentang risiko bencana di tempat tinggalnya sebagaimana terjadi di Lombok, Palu, dan Selat Sunda pada 2018.
Kini, penduduk di Mentawai dan Padang telah mendapatkan peringatan bahaya yang mengancam. Sekalipun demikian, gempa bumi tak bisa diprediksi dengan pasti kapan terjadinya dalam skala waktu manusia. Upaya membangun kesiapsiagaan ini harus berkelanjutan dan diwariskan.
Selain itu, kesiapsiagaan di Mentawai dan Padang, tidak boleh mengabaikan kerentanan daerah-daerah lain. Gempa besar berikut bisa terjadi kapan pun dan di mana pun di negeri ini, mulai dari Aceh hingga Papua….
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 13 Februari 2019