Ekspedisi kelautan di selatan Pulau Jawa dan barat Sumatera tidak dapat dilaksanakan karena terkendala siklon tropis yang muncul di kawasan itu. Akibat siklon tropis Dahlia, riset kapal Baruna Jaya 1 di perairan selatan Jawa ditunda hingga cuaca membaik. Sementara Sail Sabang pada hari penyelenggaraan, Sabtu (2/12), semua kapal sandar di pelabuhan karena cuaca buruk.
Kepala Program Revitalisasi Kapal Baruna Jaya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Agus Sudaryanto, kemarin, di Jakarta, menjelaskan, BJ-1 semula direncanakan meneliti jalur patahan di dasar laut selatan Pulau Jawa dari Kamis (30/11) hingga Minggu (3/12). Survei ini bertujuan untuk menguji coba peralatan baru Multi-Beam Echo Sounder (MBES), yakni sistem sensor berbasis gelombang suara untuk mendeteksi kedalaman dan obyek di dasar laut.
Sementara itu, Ketua Tim Nasional Percepatan Wisata Bahari Indroyono Susilo, Minggu (3/12), menuturkan, parade kapal tradisional dalam acara Sail Sabang dapat terlaksana Jumat (1/12). Namun, pada Sabtu (2/12), akibat hujan, beberapa atraksi tak bisa dilakukan antara lain terjun payung dan aerobatik tim Jupiter.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bergeser
Agus menjelaskan, survei batimetri di Selat Sunda hingga ke Samudra Hindia di selatan Jawa pada tahap pertama adalah 25 hingga 29 November. Akibat siklon Cempaka, kapal BJ-1 bergeser arah hingga ke barat Sumatera.
Pada awalnya pengukuran akan dilakukan pada kedalaman 6.000 meter di selatan Selat Sunda. Namun, karena kondisi gelombang cukup tinggi (3-4 meter) dari arah barat, maka akan berbahaya berlayar ke arah selatan (heading 180 derajat). Dengan mempertimbangkan keselamatan kapal, maka bersama kapten kapal Baruna Jaya 1, Kapten Tiur Maida, diputuskan berlayar dengan heading 270 derajat ke arah barat. Pada tes ini akan dilakukan uji coverage survey atau survei cakupan untuk kedalaman 2.000 meter.
Pengujian MBES di kapal riset tersebut direncanakan selama 9 hari, terbagi dalam 2 leg atau tahap. Leg pertama mulai 25 hingga 29 November 2017, bertujuan melaksanakan kalibrasi MBES dan uji pengukuran kedalaman hingga 11 kilometer dari permukaan laut. Pada 26 November 2017, kapal Baruna Jaya I berlayar menuju lokasi kalibrasi di sekitar Selat Sunda pada kedalaman 500 meter-1500 meter.
Dalam pelaksanaan kalibrasi, kondisi cuaca sangat tidak mendukung, dengan tinggi gelombang 2 meter-3,5 meter, sebagian besar personel survei mengalami mabuk laut. Karena itu, pelaksanaan kalibrasi hanya diikuti 2-3 orang. Selain itu, karena angin berasal dari arah barat dan kencang, kapal berbahaya jika berlayar dengan arah utara selatan atau sebaliknya. Kondisi itu tidak memungkinkan kapal bergerak ke arah kedalaman 6.000 meter sesuai yang direncanakan.
Solusi yang diambil adalah kapal berlayar ke arah barat (sebelah barat Sumatera). Tetapi, untuk mendapatkan kedalaman 6.000 meter butuh waktu 2-3 hari sehingga diputuskan verifikasi kedalaman dilaksanakan pada kedalaman 2.000 meter.
Setelah melaksanakan verifikasi pengukuran kedalaman pada kedalaman 2.000 meter di barat Sumatera, kapal diarahkan ke lokasi kapal tenggelam Bahuga Jaya. Lokasinya ada di sekitar Selat Sunda, sekitar 5°52’44.53?S, 105°51’11.60?E. (YUN)
SUmber: Kompas, 4 Desember 2017
—————-
Cuaca Ekstrem Masih Mengancam
Siklon tropis Dahlia melemah dan bergerak menjauhi wilayah Indonesia. Bibit siklon tropis 93W di barat laut Aceh menguat hingga Selasa (5/12) dan bergerak menjauhi wilayah Indonesia.
Meski demikian, kondisi ini masih berpotensi menimbulkan cuaca ekstrem, terutama di wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, hingga tiga hari ke depan. Keberadaan siklon tropis itu akan berdampak pada peningkatan tinggi gelombang air laut hingga 4 meter, angin kencang, hujan lebat, dan potensi kilat serta petir.
”Gelombang laut tinggi berpotensi terjadi di perairan utara Pulau Sabang, perairan barat Pulau Simeulue, Kepulauan Mentawai; Samudra Hindia barat Sumatera; serta Samudra Hindia selatan Jawa Tengah hingga Jawa Timur,” kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati di Kantor Pusat BMKG, Jakarta, Senin (4/12).
Gelombang laut tinggi berpotensi terjadi di perairan utara Pulau Sabang, perairan barat Pulau Simeulue, Kepulauan Mentawai; Samudra Hindia barat Sumatera; serta Samudra Hindia selatan Jawa Tengah hingga Jawa Timur
Adapun hujan lebat hingga sangat lebat berpotensi terjadi di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Jawa Timur hingga Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, dan Papua. Angin kencang dengan kecepatan lebih dari 20 knot atau sekitar 37 kilometer per jam bisa terjadi di Aceh dan Sumatera Utara.
Untuk itu, Dwikorita mengimbau masyarakat untuk tetap waspada akan dampak cuaca
ekstrem yang terjadi saat ini.
Ia memperkirakan kondisi ini akan berlangsung hingga Maret 2018.
Terkait siklon tropis, Deputi Bidang Meteorologi BMKG R Mulyono Rahadi Prabowo mengatakan, Indonesia sebenarnya bukan wilayah yang berpotensi timbul siklon. Namun, beberapa faktor yang terjadi saat ini memicu timbulnya siklon di wilayah Indonesia.
Pertama, posisi matahari kini di belahan bumi selatan sehingga tekanan udara di bagian selatan bumi, termasuk Indonesia, lebih rendah daripada daerah utara. Kedua, suhu permukaan laut di beberapa titik di perairan Indonesia berada pada tingkat depresi yang sangat rendah sehingga meningkatkan suhu uap air.
Di sebelah barat Sumatera dan sebelah selatan Jawa, saat ini wilayah perairannya dalam suhu hangat sehingga daerah tersebut berpotensi menjadi pusat sumber uap air
”Di sebelah barat Sumatera dan sebelah selatan Jawa, saat ini wilayah perairannya dalam suhu hangat sehingga daerah tersebut berpotensi menjadi pusat sumber uap air,” kata Prabowo.
Jika ada daerah dengan suhu muka laut yang lebih hangat dari daerah di sekitarnya, itu dapat memicu aliran udara ke wilayah tersebut dan menimbulkan pusaran angin.
Kuatnya pusaran akan bertambah jika wilayah tersebut menjauhi garis ekuator bumi dan memiliki suhu permukaan laut yang lebih hangat dari permukaan sekitarnya. ”Dari pemantauan, Indonesia saat ini terlihat banyak wilayah perairan yang bertekanan rendah,” ujar Prabowo.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal menambahkan, cuaca ekstrem yang terjadi saat ini bisa dikaitkan dengan dampak perubahan iklim. Perubahan iklim memicu timbulnya gangguan-gangguan alam, salah satunya siklon tropis. ”Jadi, perubahan iklim bukan sekadar isu, melainkan sudah terjadi dan sudah kita hadapi bersama.” (DD04)
Sumber: Kompas, 5 Desember 2017