Generasi muda yang sedang berada di bangku PAUD hingga SMA saat ini merupakan generasi Z dan generasi Alfa. Karakter mereka adalah mudah bosan sehingga guru didorong lebih kreatif membuat kelas menjadi atraktif.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Murid-murid kelas V menampilkan drama saat mengikuti pentas seni di SD Al Azhar 15 Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (20/11/2019). Selain drama ditampilkan juga pertunjukan tari, baca puisi, dan pantomim. Kegiatan yang dilakukan setiap tahun ini bertujuan menggali bakat dan minat siswa dalam berkesenian. Selain itu, juga memperkenalkan keragaman budaya Nusantara sejak dini kepada anak-anak.
Karakter siswa yang inovatif dan kritis dapat dibentuk melalui strategi pembelajaran yang tepat sesuai jenjang pendidikan. Pada jenjang pendidikan awal, idealnya siswa tidak dibebani aktivitas pembelajaran, melainkan dengan aktivitas bermain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kandidat PhD Jurusan Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Southwest University, China, Budy Sugandi, mengatakan, jenjang pembinaan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar (SD) menjadi saat yang tepat bagi siswa untuk membangun fondasi karakternya. Guru, seyogianya tidak membebani siswa PAUD dengan pelajaran menulis, membaca, dan menghitung.
”Secara psikologis, dengan mengajak siswa bermain dan bersenang-senang, mereka akan menyadari bahwa sekolah adalah tempat yang menyenangkan. Selanjutnya, mereka tidak akan merasa terpaksa datang ke sekolah,” ujarnya di Chongqing, China, saat dihubungi melalui telepon seluler dari Jakarta, Rabu (20/11/2019).
Memasuki jenjang pendidikan SD, Budy mengatakan, siswa tetap harus merasakan kebebasan. Di Finlandia, misalnya, siswa kelas I-IV SD tidak dibebani dengan pekerjaan rumah. Berbeda dengan Indonesia, siswa kelas I dan II SD justru sudah dipaksa untuk belajar membaca.
Menurut dia, pada jenjang 3-4 tahun pertama SD, siswa bisa diajari mengenal huruf, kata, atau kalimat yang sederhana secara bertahap. Selain itu, aktivitas belajar mengajar tetap dibuat rileks, misalnya, lewat permainan. Ibarat rumah, jenjang ini adalah fondasi pembangunan karakter siswa.
”Jika sudah memiliki fondasi yang kuat, ke depan siswa akan mampu berpikir rasional, inovatif, dan kritis,” kata anggota Komisi Pendidikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PII) Dunia 2018/2019 tersebut.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Kandidat PhD Jurusan Education Leadership and Management Southwest University, China, Budy Sugandi.
Setelah siswa mengenal mata pelajaran dasar, seperti struktur kalimat atau konsep perkalian, pada kelas V-VI SD siswa bisa diajari tentang rasionalitas dari mata pelajaran tersebut. Baru pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP) hingga sekolah menengah atas (SMA), siswa bisa dikenalkan tentang mata pelajaran eksakta.
Berdebat
Generasi muda yang sedang berada di bangku PAUD hingga SMA saat ini merupakan generasi Z dan generasi Alfa. Menurut Budy, karakter siswa pada dua generasi tersebut ialah mudah bosan sehingga guru didorong lebih kreatif untuk membuat kelas menjadi atraktif.
Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan mengajak siswa berdebat atau berdiskusi. Hal ini dapat melatih siswa membuat argumentasi yang rasional. Dalam kondisi ini, guru harus muncul sebagai penengah tanpa menyalahkan.
”Untuk anak SD, biarkan mereka saling berdebat dan berimajinasi dengan menyampaikan hal-hal yang tidak logis. Untuk anak SMP, perdebatannya dibuat semakin rasional,” ujarnya.
Budy menambahkan, dalam pembentukan mental dan moral siswa, guru dan orangtua harus berkomunikasi secara intensif. Keduanya bisa bekerja sama dalam hal pengaturan jam belajar atau pembatasan penggunaan gawai, misalnya.
Mental kerja keras
Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Ali Ghufron Mukti mengatakan, ada satu mental yang mesti ditanamkan kepada semua siswa, yakni bekerja keras. Karakter tersebut, menurut dia, amat mendasari pembangunan sumber daya manusia (SDM).
”Karakter yang harus dibangun, misalnya, karakter yang tidak mudah menyerah atau tidak merasa rendah diri,” katanya.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ali Ghufron Mukti
Ali menambahkan, karakter tersebut akan lebih mudah dicapai apabila guru mampu menerapkan pendidikan berbasis contoh dibandingkan teori. Sebab, tidak jarang materi yang diajarkan guru di bangku sekolah sulit diamalkan secara konsisten oleh para siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, penting bagi guru untuk menularkan karakter adaptif dan responsif kemajuan teknologi terhadap siswa. Salah satu responsnya adalah dengan mengembangkan inovasi dan kreativitas. Diharapkan, kreativitas yang dikembangkan guru tersebut bisa ditularkan kepada siswa.
Kehidupan sehari-hari
Direktur Highly Functioning Education Consulting Services (Hafecs) dan Global Islamic Boarding School Zulfikar Alimuddin mengatakan, salah satu cara menularkan kreativitas kepada siswa adalah memberi konteks pada materi pembelajaran. Artinya, materi pelajaran bisa dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.
Dia mencontohkan, saat memberikan materi tentang fungsi limit, untuk mempermudah pemahaman, siswa bisa diminta membayangkan sensor belakang mobil saat melakukan parkir. Contoh lainnya adalah materi tentang momentum. Siswa bisa berimajinasi tentang berfungsinya kantong udara (airbag) mobil.
”Dengan begitu, siswa mampu mengimajinasikan materi yang tengah dipelajari menjadi sesuatu yang bisa mereka buat,” kata Zulfikar.
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi mengatakan, dalam era Revolusi Industri 4.0, guru hendaknya mengembangkan membaca, menulis, menyimak, bertutur, dan menghitung demi literasi siswa. Hal itu penting agar budaya menulis siswa sekolah dasar hingga menengah mampu terbentuk.
Budaya menulis juga bisa dilakukan dengan cara mengajak anak menyimak penjelasan guru dan menuliskannya poin-poin penting. Poin-poin tersebut kemudian bisa disampaikan di depan umum untuk melatih siswa bertutur secara baik.
Oleh FAJAR RAMADHAN
Editor HAMZIRWAN HAM
Sumber: Kompas, 20 November 2019