Pro dan kontra pemanfaatan OpenBTS dan Google Loon hingga hari ini masih didengungkan. Beberapa praktisi internet bahkan sempat mengkritik keras saat Google Loon diizinkan uji coba di Indonesia.
Sebagian besar berpendapat bahwa pemerintah berperilaku tidak adil terhadap kehadiran OpenBTS yang sebenarnya mampu dilakukan oleh masyarakat lokal. OpenBTS yang diajukan atas inisiatif lokal cenderung tidak mendapat dukungan pemerintah. Sebaliknya, Project Loon dari korporasi global raksasa Google mendapat sambutan istimewa dan bisa menggunakan frekuensi 900 MHz.
Pengamat telekomunikasi seluler M Ridwan Effendi yang dihubungi Kompas menyampaikan, hingga kini belum ada regulasi khusus yang mengatur operasional pemancar terbuka (open base transceiver station) di Indonesia. Apalagi proyek uji coba Google Loon dan operator telekomunikasi seluler menurut rencana dilakukan 2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
OpenBTS merupakan ukuran mini (downsizing) dari BTS reguler. Perangkat keras yang digunakan berupa universal software radio peripheral (USRP) untuk memancarkan sinyal jaringan standar seluler (GSM). Selain itu, ada perangkat lunak Asterisk untuk menghubungkan atau interkoneksi dengan jaringan telepon lainnya, seperti public switched telephone network (PSTN) dan layanan telepon berbasis internet (voice over IP).
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi adalah perusahaan berbadan hukum yang berdiri di Indonesia, antara lain BUMN dan BUMS. Penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi wajib menyediakan kegiatan pelayanan sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi, seperti interkoneksi.
Peraturan teknis mengenai bisnis perusahaan telekomunikasi seluler itu tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2003 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
“Cara kerja OpenBTS ataupun proyek uji coba Google Loon selayaknya BTS atau menara pemancar pada umumnya. Agar bisa menyelenggarakan kegiatan interkoneksi, maka perangkat OpenBTS dan Google Loon tetap harus terhubung dengan infrastruktur jaringan milik operator. Model teknis kerja seperti itu tidak terangkum dalam ketiga ketentuan legal di Indonesia,” ungkap Ridwan.
Menurut Director Yayasan Air Putih Agung Riyadi, kegiatan penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi di daerah terpencil, terluar, dan perbatasan sebenarnya dapat dilakukan oleh penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi khusus.
“Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000, kami menilai, penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi khusus seperti komunitas dan masyarakat. Akan tetapi, jika akan dikomersialkan, OpenBTS dan sejenisnya, seperti Google Loon tetap harus bekerja sama dengan operator. Hingga sekarang regulasi spesifik yang mengatur itulah harus didorong,” paparnya.
Keberadaan open BTS, ungkap Agung, memang seolah mampu menjawab kebergantungan penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi terhadap vendor raksasa. Anggapan yang sering muncul adalah pengembangan OpenBTS itu murah dan bisa dilakukan komunitas.
Padahal, banyak hal yang perlu disiapkan, antara lain regulasi, investasi, kesiapan pengelolaan sumber daya manusia, infrastruktur, standardisasi, dan sertifikasi alat. Belum lagi soal kesiapan perangkat komunikasi yang dipunyai masyarakat.
“Komponen dasar sistem OpenBTS memang sederhana sehingga dapat digunakan di daerah-daerah terpencil dan minim listrik. Meski begitu, perlu ada komponen yang berstandar teknologi jika ingin dikomersialkan,” kata Agung.
Menanggapi seruan dari praktisi internet tersebut, komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), I Ketut Prihadi, mengungkapkan, pihaknya masih menunggu permohonan izin uji coba proyek Google Loon dari tiga operator, yakni PT XL Axiata Tbk, PT Telekomunikasi Selular, dan PT Indosat Tbk.
“Google sendiri sebenarnya telah mempresentasikan proyek Google Loon kepada kami dan Kementerian Komunikasi dan Informatika sebelum proses tanda tangan uji coba dilakukan. Sikap BRTI jelas. Teknis kerja Google Loon menggunakan frekuensi milik operator, jadi para perusahaan telekomunikasi itulah yang harus mengurus izin uji coba,” ujar Ketut kepada Kompas, Senin (2/11), di Jakarta.
Dari segi peruntukannya, dia mengatakan, Google Loon akan melakukan uji coba melayani layanan jasa telekomunikasi, seperti internet, di daerah-daerah terpencil di mana belum tersambung BTS.
“Baik OpenBTS milik lokal maupun Google Loon, saya rasa, mereka harus memiliki konsep bisnis yang jelas jika ingin dikomersialkan. Mereka harus menyusun model bisnis bersama operator telekomunikasi seluler dan jaringan. Jika dulu OpenBTS milik lokal gagal dikembangbiakkan, saya pikir itu disebabkan mereka belum menyepakati model bisnis bersama operator,” tutur Ketut.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara yang ditemui Kompas, seusai pengumuman pabrikasi Lenovo di Indonesia, Rabu (4/11) malam, menegaskan, pemerintah terbuka kepada semua perkembangan teknologi pemancar, baik yang dikembangkan lokal maupun perusahaan global. Tidak ada perlakuan tidak adil seperti yang dituduhkan sejumlah praktisi internet.
Dia menjelaskan, pemerintah tidak akan menerbitkan regulasi terkait hal itu. “Silakan saja Ericsson, Google, dan Facebook mengembangkan teknologi pemancar. Begitu pula dengan komunitas lokal. Kami tidak memberikan izin mereka sebagai penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi. Mereka harus bekerja sama dengan operator telekomunikasi seluler dan jaringan,” tegas Rudiantara.
Oleh karena itu, senada dengan BRTI, para penyedia teknologi BTS wajib menjalin bisnis dengan operator jika ingin terjun ke komersial.
MEDIANA
Sumber: Kompas Siang | 7 November 2015