Para analis forensik yang bertugas memeriksa bercak-bercak darah, sisa sperma, atau usapan vagina yang tertinggal setelah suatu peristiwa kriminal seringkali mengeluh karena bukti yang berupa bekas-bekas ini sudah hampir tak mungkin lagi dianalisis. Tetesan darah atau cairan sperma yang tertinggal pada kain atau permukaan lain kadang-kadang telah berumur beberapa hari atau bahkan beberapa minggu sehingga hasil analisis itu sendiri diragukan kebenarannya.
Pada kasus-kasus pemerkosaan memang dapat diambil cairan vagina dari si wanita malang yang mungkin mengandung sisa sperma atau akar rambut untuk dianalisis, sehingga dapat diungkapkan siapa pemilik sperma tersebut dan dengan demikian diketahui siapa pelaku pemerkosaan tersebut. Namun demikian, analisis semen atau cairan sperma yang kini banyak dilakukan masih memiliki banyak kelemahan, antara lain pencemaran oleh getah vagina sendiri atau oleh aktivitas kelompok darah. Di samping itu, semen mengandung enzim proteolitik dan aktivitas bakteri turut berperan dalam mengacaukan hasil yang diperoleh.
Dunia terus berputar, ilmu pengetahuan terus berkembang, dan teknik baru kini bermunculan. Dalam membantu analisis forensik kini bagian kepolisian maupun kedokteran forensik berpaling ke arah analisis sidik DNA (desoxyribonucleic acid) yang ketepatan hasil analisisnya dapat lebih dipertanggungjawabkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setiap manusia memiliki sidik DNA sendiri-sendiri karena DNA yang dimiliki setiap individu adalah spesifik, sesuai dengan sifat-sifat yang dimilikinya. Sidik DNA ini dapat dibuat dari sampel darah, semen, maupun akar rambut –barang-barang bukti yang paling sering ”ditinggalkan” setelah suatu peristiwa kriminal.
Selain memiliki ketepatan yang amat tinggi, sistem sidik DNA ini telah terbukti mampu mengungkap misteri dari barang bukti yang telah berusia bertahun-tahun, di antaranya dari bercak darah yang telah berumur empat tahun dan bekas sperma berumur lima tahun. Dengan sistem lama hasil yang baik hanya dapat diperoleh dari sampel yang masih segar.
Kasus-kasus lain yang dapat diungkapkan dengan sidik DNA adalah kasus bayi yang tertukar dirumah sakit dan kasus seorang suami yang tidak mau mengakui anak yang dilahirkan istrinya. Pada kasus pertama harus dibuktikan bahwa bayi itu memang benar tertukar, sedangkan pada kasus kedua harus dibuktikan kebenaran tuduhan si suami terhadap istrinya.
Sistem yang banyak dipakai untuk membuktikan kedua masalah tersebut dewasa ini adalah sistem golongan darah ABO dan Rhesus. Sedikit darah si bayi dan kedua orangtuanya diambil dan dianaliasis apakah termasuk golongan darah A, B, AB, atau O, dan apakah termasuk golongan Rhesus positif atau negatif. Namun demikian, baik secara ilmiah maupun secara hukum, sistem ini masih dianggap lemah.
Sistem yang juga banyak dipergunakan untuk menguatkan sistem golongan darah adalah sistem dermatoglifi, yaitu dengan mempelajari ukiran atau gambaran pada kulit sidik jari tangan dan kaki. Garis-garis yang membentuk gambaran pada sidik jari dihitung dan dijumlahkan kemudian saling dibandingkan.
Hasil perbandingan ini dinyatakan dalam bentuk koefisien korelasi yang berkisar antara nol sampai satu. Semakin dekat hubungan antara dua individu semakin tinggi koefisien korelasinya. Misalnya antara sepasang anak kembar koefisien korelasi berada sekitar 0,95, sedangkan antara anak dan orangtuanya koefisien korelasi berada sekitar 0,48.
Kedua sistem ini memang dapat memberi jawaban apakah benar si bayi pada kasus pertama telah tertukar di rumah sakit dan orangtuanya yang sekarang bukan orang tua asli dan pada kasus kedua dapat dijawab apakah benar si anak bukan bukan hasil benih suami tersebut. Tetapi dengan teknik sidik DNA dapat dikatakan secara positif milik siapa anak tersebut sebenarnya. Sidik DNA memang memberikan sibakan baru pada dunia forensik! (Herlina Yasmin, alumnus Biologi UI yang kini bekerja di almamatemya)
Sumber: Kompas, 15 Maret 1987