Wabah ini diperkirakan bakal berlangsung di Indonesia berbulan-bulan ke depan sampai ditemukannya vaksin. Karena itu, pembatasan sosial berskala besar mesti diikuti pemeriksaan secara massal dan penelusuran kontak.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI–Suasana sepi di Mal Central Park, Jakarta Barat, Minggu (12/4/2020). Pengelola mal dan pusat perbelanjaan di Jakarta menghentikan operasional mal sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Sejumlah mal berhenti beroperasi sementara selama penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau selama dua pekan mendatang.
Pembatasan sosial berskala besar tidak akan bisa menghentikan pandemi Covid-19 dalam waktu cepat. Wabah ini diperkirakan bakal berlangsung di Indonesia hingga berbulan-bulan ke depan sampai ditemukannya vaksin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain menekan penularan dengan pemeriksaan secara massal dan penelusuran kontak, perlu penguatan logistik. Layanan rumah sakit juga harus ditingkatkan untuk mengurangi jumlah korban jiwa.
“Kita harus bersiap pada perang dengan wabah dalam jangka waktu panjang, sampai seluruh dunia bisa mengatasinya. Jadi dukungan logistik menjadi sangat penting,” kata epidemiolog Indonesia dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, Minggu (12/4/2020).
Dunia saat ini berharap pada penemuan vaksin. Namun, hal itu kemungkinan masih sangat lama. “Sekarang harapannya pada obatan-obatan yang tengah diuji WHO (Organisasi Kesehatan Dunia),” katanya.
Secara teori, uji coba obat-obatan ini akan efektif dalam empat bulan ke depan. Setelahnya akan perlu waktu untuk administrasi dan distribusi. ” Jadi paling cepat enam bulan baru ada obat yang efektif. Untuk vaksin bisa lebih lama lagi,” kata Dicky.
Data yang dikompilasi dari worldometer.info, Covid-19 telah menginfeksi 1,79 juta penduduk di 210 negara. Sebanyak 109.933 orang meninggal dunia dan 411.819 orang sembuh. Di Indonesia, jumlah kasus 4.241 orang atau bertambah 399 kasus dibanding Sabtu (11/5). Adapun korban meninggal dunia bertambah 46 orang dalam sehari sehingga jadi 373 orang, dan yang sembuh 359 orang.
Kasus infeksi di Indonesia diperkirakan jauh lebih besar dari data ini mengingat minimnya pemeriksaan. Menurut Dicky, sebaran Covid-19 memiliki karakteristik seperti pandemi flu Spanyol yang terjadi tahun 1918-1919. “Saat itu wabah berlangsung sampai setahun dan berhenti setelah minimal 60 persen populasi terinfeksi dengan jumlah korban sangat besar,” ucapnya.
Kajian Siddharth Chandra dari Michigan State University di jurnal Population Studies (2013) menyebutkan, kematian akibat flu Spanyol di Jawa dan Madura pada saat itu sebanyak 4,26 juta-4,37 juta jiwa. Sementara sumber-sumber kolonial menunjukkan, rata-rata jumlah korban jiwa di pulau-pulau lain di Indoensia mencapai 10 persen dari populasi.
Dalam seminar daring, Siddharth menyebut, tingginya kematian di Jawa dan Madura saat itu terutama disebabkan buruknya mutu nutrisi dan layanan medis, serta tingginya tingkat kepadatan penduduk. Fenomena ini serupa dengan di India yang saat itu jumlah total korban lebih dari 15 juta jiwa.
“Perbedaannya saat ini sudah ada kemajuan perawatan kesehatan, termasuk obat-obatan, jadi seharusnya korban tidak sebesar dulu. Namun kepadatan dan mobilitas penduduk saat ini jauh lebih tinggi,” kata Dicky.
Untuk meminimalkan jumlah korban, kita harus mengerem laju penyebaran melalui deteksi kasus secara cepat dan dini. Itu diharapkan mencegah penularan sekaligus menekan angka kematian dan kasus kritis yang bakal membebani rumah sakit. Selain itu, pelacakan kasus, perawatan, dan isolasi kontak, amat penting.Semua strategi ini harus dilengkapi dengan pembatasan sosial dan fisik.
Jutaan korban
Nuning Nuraini, peneliti matematika epidemiologi Institut Teknologi Bandung mengatakan, berdasakan kajian yang dilakukannya bersama Tim SimcovID memperkirakan adanya 32.000 kasus infeksi yang belum terdeteksi di Jakarta. Sementara di Jawa Barat mencapai 8.090 kasus.
Menurut Nuning, nilai Ro atau angka reproduksi di Indonesia mencapai 3,3, yang artinya satu orang bisa menginfeksi lebih dari 3 orang sehat lainnya. “Kita harus mengejar agar Ro ini kurang dari 1 sehingga bisa bebas dari infeksi,” ujarnya.
Berdasarkan pemodelan timnya, langkah PSBB yang dilakukan pemerintah saat ini baru pada tingkat dalam upaya menghentikan laju infeksi. “Saat ini pembatasan pergerakan orang sudah terlambat karena mudik sudah memicu sebaran kasus di daerah,” kata Nuning.
Dengan skenario moderat ini, menurut perhitungan Nuning dan tim, wabah Covid-19 ini akan melanda di Indonesia selama 10-13 bulan sejak intervensi dan puncaknya diperkirakan terjadi pada awal Juli 2019 dengan jumlah kasus infeksi bisa mencapai 5,5 juta orang. Sebanyak 600.000 orang butuh perawatan intensif dan korban jiwa bisa mencapai 1,2 juta orang.
Jika langkah yang diambil lebih progresif, menurut Nuning, jumlah kematian bisa ditekan menjadi 120.000 orang dengan durasi wabah selama 6-7 bulan. Sebanyak 1,6 juta orang berisiko terinfeksi dengan puncak kasus pada akhir April sampai awal Mei. Pada saat itu 180.000 akan membutuhkan perawatan intensif.
Cegah mudik
Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB University Sofyan Sjaf dalam diskusi yang diadakan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan mengkhawatirkan, desa yang menjadi penopang pangan bakal terdampak serius dari Covid-19.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI–Pengendara sepeda motor melintas di Jalan S Parman, Jakarta, Minggu (12/4/2020). Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta yang telah memasuki hari ketiga diharapkan dapat diikuti secara disiplin oleh warga sebagai upaya pencegahan penyebaran virus korona baru penyebab Covid-19. PSBB akan diberlakukan hingga 14 hari.
“Jika kebijakan politik yang dilakukan pemerintah tidak segera melarang mudik, maka yang menjadi korban berikutnya adalah desa. Ada 134 juta warga yang berpotensi terinfeksi. Ini akan berdampak besar pada sektor pertanian dan ketersediaan pangan,” kata Sofyan.
Survei yang dilakukan Panel Sosial untuk Kebencanaan yang terdiri daripara peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Universitas Indonesia, Universias Gadjah Mada dan sejumlah lembaga lain menemukan, di tengah situasi pandemi, masih banyak warga yang merencanakan mudik pada libur. Dari 3.853 responden, sebanyak 69,06 persennya berencana mudik saat Idul Fitri mendatang.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 13 April 2020