Kita tentu berharap pandemi Covid-19 akan segera berlalu. Namun, virus korona baru yang mematikan ini kemungkinan masih akan bersirkulasi dalam waktu lama, dan itu menuntut kita menyiapkan stamina dan strategi tepat.
Kita memang terlambat mengantisipasi pandemi Covid-19 karena penyangkalan risiko selama bulan Januari hingga Februari 2020. Namun, kita tidak harus menyerah kalah dalam perang melawan Covid-19 ini.
Fakta menunjukkan, cara terbaik menghadapi penyakit menular adalah bertindak lebih awal dan cepat, saat episenter wabah masih kecil. Hal inilah yang menjadi kunci sukses Vietnam menghadapi Covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekalipun berbatasan langsung dengan China, Vietnam hanya memiliki 312 kasus positif dan tidak ada korban jiwa. Negara ini mencatat dua kasus pertamanya pada 28 Januari dan segera menangguhkan semua penerbangan dari China kurang dalam seminggu.
Vietnam juga merupakan negara pertama di luar China yang menutup sebuah kota, yaitu Son Loi Commune. Kota ini terletak di dekat bandara internasional Hanoi dan memiliki lebih dari 10.000 jiwa. Dengan mengarantina sumber penularan, Vietnam berhasil mempersempit medan pertarungan.
Mereka kemudian mengerahkan seluruh sumber daya untuk menemukan pihak yang dicurigai. Ketika seseorang dinyatakan positif (disebut F0), daftar dibuat dari semua orang yang telah berhubungan dengannya.
Orang-orang dengan riwayat kontak (disebut F1) segera dihubungi dan di karantina selama 14 hari di tempat tertutup, berupa barak, hotel, atau di rumah mereka sendiri. Demikian juga, orang ketiga (F2), juga diwajibkan menjaga jarak sosial.
Berbeda dengan Taiwan, Korea Selatan, atau China yang mengandalkan surveilans melalui telepon genggam, Vietnam mengandalkan cara manual dan tenaga kesehatan masyarakat untuk melacak langsung. Namun, karena berhasil menjaga infeksi dalam lingkaran kecil, mereka bisa menekan jumlah pasien tanpa memenuhi rumah sakit dan tidak perlu pemeriksaan besar-besaran.
Dengan strategi yang sistematis tersebut, Vietnam menikmati hasil. Sejak akhir April lalu, mereka mulai melonggarkan karantina wilayah, dan masyarakat perlahan mulai beraktivitas, sekalipun masih dengan menerapkan pembatasan sosial.
Seperti Vietnam, Taiwan, Korea Selatan, hingga Selandia Baru telah menikmati landainya kurva penularan seperti ditunjukkan dalam coronavirus.org. dalam laman yang diinisiasi ilmuwan Yaneer Bar-Yam, Indonesia masih digolongkan sebagai negara yang butuh intervensi ketat, ditunjukkan dengan grafik kasus yang menanjak.
Namun, seperti kita ketahui, Pemerintah Indonesia kini mulai melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Alasannya, tekanan ekonomi menghebat. Kamar Dagang Indonesia meyebutkan, jumlah pengangguran akibat pandemi ini mencapai lebih dari 10 juta jiwa.
Pekan lalu beredar kajian awal skema pemulihan ekonomi yang disiapkan Kementerian Koordinator Perekonomian di media sosial. Dalam skema itu ada pelonggaran PSBB mulai awal Juni 2020. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, skenario itu masih dalam kajian (Kompas.id, 13 Mei 2020).
Pemberian izin untuk bekerja di luar rumah bagi pekerja berusia di bawah 45 tahun pun mulai diwacanakan, bahkan transportasi udara telah dibuka kembali dengan sejumlah syarat atau protokol ketat. Hasilnya, jalan-jalan di Jakarta mulai kembali macet, dan terjadi antrean penumpang di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, pada Kamis (14/5/2020).
Masalahnya, pelonggaran PSBB di Indonesia tidak didukung data-data epidemilogi yang memadai. Asumsi telah melandainya kasus di Indonesia juga diragukan sejumlah ahli.
Bahkan, epidemiolog Iqbal Elyazar mengatakan, Indonesia tidak memiliki kurva epidemi yang baik, sehingga tidak bisa mengukur keberhasilan intervensi PSBB. Rendahnya dan lambatnya tes Covid-19 jadi penyebab utama penampilan data kurva epidemi di Indonesia tidak representatif terhadap kondisi aktual.
Butuh strategi tepat
Indonesia jelas tidak bisa meniru Vietnam, karena kita gagal mengarantina pusat infeksi sejak dini sehingga menyebar di hampir seluruh penjuru Indonesia. Kegamangan memprioritaskan kesehatan di awal wabah, membuat penyakit ini menjalar ke mana-mana.
Namun kita tidak bisa mengabaikan semakin merosotnya ekonomi masyarakat saat ini. Apalagi pemerintah juga enggan menerapkan karantina wilayah dengan ketat, yang seharusnya diikuti dengan memberi jaminan ekonomi bagi masyarakat di wilayah karantina itu. Akibatnya, banyak orang yang terpaksa mengabaikan risiko dengan tetap bekerja di luar.
Kini kita dihadapkan pada simalakama dengan hampir tidak ada jalan tengah. Konsep herd immunity atau kekebalan kelompok, yang mencuat dalam pertemuan gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 dengan kabinet minggu lalu demi menggerakkan ekonomi (Kompas, 10 Mei 2020) jelas membahayakan keselamatan masyarakat.
Mike Ryan, Direktur Eksekutif Program Darurat Kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, herd immunity tanpa vaksin merupakan berbahaya. “Manusia bukanlah kawanan ternak,” tuturnya.
Virus korona baru ini, jelas sangat menular dan tingkat penyebarannya eksponensial. Membiarkan virus menyebar secara alami akan menjadi tidak manusiawi, karena tingkat fatalitas infeksi sekitar satu persen saja, akan menewaskan jutaan orang.
Data sejarah juga menunjukkan, pandemi bisa kembali datang bergelombang karena kekebalan orang telah terinfeksi masih menjadi tanda tanya. Bahkan, beberapa negara yang melonggarkan karantina, seperti China juga menghadapi gelombang baru. Wabah kedua yang tidak terkontrol bisa lebih mematikan, seperti ditulis dalam editorial Nature Biomedical Engineering (13/5/2020).
Namun, vaksin yang efektif dipastikan belum akan ditemukan hingga akhir tahun ini. Bahkan, jika nanti telah ditemukan vaksin, tetap dibutuhkan upaya besar-besaran untuk mengimplementasikannya. Saat ini lebih dari 100 kandidat vaksin sedang dikembangkan, sebagian telah memasuki tahap uji klinis.
Ryan mencontohkan, penyakit menular seperti campak juga telah ditemukan vaksinnya. Namun, sampai saat ini penyakit ini belum bisa dieliminasi dari muka Bumi.
“Saya pikir penting bagi kita untuk realistis dan tidak berpikir bahwa penyakit ini akan hilang dalam waktu cepat,” tambahnya. Bahkan, virus tersebut mungkin akan menjadi endemik lain di komunitas kita, dan virus ini mungkin tidak akan pernah hilang.
Epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman, mengatakan, dengan situasi ini, Pemerintah Indonesia seharusnya memiliki strategi nasional jangka pendek, menengah, dan panjang dalam menghadapi pandemi ini, termasuk juga menyiapkan logistik.
Srategi tersebut harus terus dievaluasi dengan indikator yang tranparan dan terukur. Misalnya, jika data menunjukkan adanya penurunan angka angka reproduksi kasus (Ro), maka intervensi bisa dilonggarkan untuk menjalankan aktivitas ekonomi. Namun, begitu ada peningkatan kasus, harus segera diketatkan kembali.
Untuk bisa melakukan hal ini, yang paling penting, pemerintah perlu memperkuat tes dan penelusuran kontak dengan pasien positif, serta karantina minimal dua minggu bagi yang berisiko. Tanpa tes dan menelusuri riwayat kontak dengan cepat, kita akan selalu tertinggal di belakang virus korona baru.
Selain itu, masyarakat harus mulai terbiasa dengan situasi baru (new normal) dengan menjaga jarak fisik di luar rumah. Jika pun PSBB mulai dilonggarkan, prinsip cara hidup baru ini harus tetap dijalankan, sampai vaksin benar-benar efektif diterapkan, dan itu artinya bisa bertahun-tahun.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 16 Mei 2020