Gempa tektonik berkekuatan M 2,6 terjadi 8 kilometer barat daya Kota Salatiga, Jawa Tengah, Minggu (15/1), pukul 09.59. Gempa ini relatif kecil dan tidak terasa, tetapi menandai aktifnya zona sesar di kawasan itu.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, pusat gempa berada pada koordinat 7,35 Lintang Selatan dan 110,43 Bujur Timur. Kedalamannya 2 kilometer atau tergolong sangat dangkal.
Kepala Subbidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Wilayah Barat Badan Geologi Sri Hidayati mengatakan, gempa di Salatiga itu mengejutkan karena sejauh ini data kegempaan di wilayah itu sangat sedikit. “Kali ini sangat penting. Meski gempa magnitudonya kecil dan tak merusak, bisa jadi menandakan adanya sesar aktif,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ahli gempa bumi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman, mengatakan, di Salatiga dan Semarang terdapat zona sesar aktif. Namun, zona sesar di kawasan itu belum terpetakan baik.
Selama ini kawasan di utara Jawa dianggap aman dari gempa. Meski demikian, menurut Sri, berdasarkan katalog gempa yang dimiliki Badan Geologi, beberapa kali gempa merusak pernah terjadi di kawasan utara. Misalnya, gempa di Salatiga pada 10 Oktober 1872. Kemudian pada 19 Januari 1856 terjadi gempa merusak di Kota Semarang dan pada 22 April 1866 gempa merusak di Ambarawa. Gempa merusak juga pernah terjadi di Kudus, 22 Februari 1877.
“Data gempa di utara Jawa Tengah ini sangat terbatas dan yang ada hanya intensitasnya, untuk skala gempa belum diketahui. Diperlukan penelitian paleoseismik,” katanya.
Pengingat
Rahma Hanifa, peneliti gempa dari Institut Teknologi Bandung dan Pusat Gempa Nasional (Pusgen), mengatakan, gempa di Salatiga ini menjadi pengingat bahwa masih banyak sumber gempa. “Utamanya sesar darat, yang belum terpetakan,” ucapnya.
Kondisi itu, menurut Rahma, mengingatkan pada gempa Pidie Jaya pada 7 Desember 2016, yang juga terjadi di zona yang belum dipetakan sebelumnya.
“Gempa di darat dengan magnitudo M 6 bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, contoh yang baru-baru saja, ya, gempa Pidie Jaya atau di Yogyakarta pada tahun 2006,” katanya.
Rahma menambahkan, tidak semua gempa di darat bisa terpetakan secara visual karena memang patahannya tak sampai ke permukaan. Sementara itu, katalog sejarah gempa yang dimiliki sangat sedikit dibanding periode perulangan gempa. “Di Pulau Jawa, bahkan gempa tahun 2011 di sesar Lembang dengan M 3,3 pun bisa merusak,” katanya.
Penelitian untuk mengidentifikasi sumber-sumber gempa di darat, menurut dia, sangat diperlukan mengingat dampaknya yang bisa sangat merusak. Untuk itu diperlukan penambahan jaringan seismometer yang lebih rapat yang merekam gempa- gempa sangat kecil (M 0-5).
“Ditambah dengan perapatan jaringan GPS untuk memahami pergerakan yang sifatnya sangat lokal,” kata Rahma. (AIK)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Januari 2017, di halaman 14 dengan judul “Sesar Utara Jawa Tengah Mulai Aktif”.