Tanaman kelor (Moringa oleifera) dan serangga, berpotensi menjadi bahan pangan alternatif untuk mencapai ketahanan pangan dan pemenuhan kebutuhan gizi. Keduanya dinilai lebih terjangkau, ramah lingkungan, dan bernilai gizi tinggi.
Kelor berpotensi untuk mengatasi masalah malnutrisi di Indonesia. Sebanyak 100 gram daun kelor kering memiliki kandungan protein dua kali lebih tinggi dari yoghurt, kalium tiga kali lebih tinggi dari pisang, dan kalsium empat kali lebih tinggi dari susu.
Selain itu, tanaman kelor juga kaya serat, vitamin A, B dan C, serta mineral, asam amino, senyawa pati, beta karoten, yodium, dan sebagainya. Kelor juga kaya akan senyawa antioksidan yang dapat menghambat pertumbuhan sel-sel kanker.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kelor adalah tanaman yang cocok untuk daerah kering dan miskin. Kelor tidak butuh banyak air dan cara menanamnya relatif mudah,” kata FG Winarno, penulis buku “Tanaman Kelor, Serangga Layak Santap, dan Mikrobioma Usus: Peran Probiotik, Prebiotik, dan Parabiotik”, Kamis (6/9/2018) dalam acara bedah buku di Jakarta.
SEKAR GANDHAWANGI–Beberapa serangga, seperti belalang, disajikan dalam bentuk kering, Kamis (6/9/2018). Serangga tersebut memiliki cita rasa yang gurih, juga asin. Serangga bergizi tinggi, karena kaya protein, mineral, serat, dan vitamin.
Hadir pula dalam acara ini, dua Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk yakni Franciscus Welirang dan Suaimi Suriady, Ketua Tim Pakar Indofood Riset Nugraha (IRN) Purwiyatno Hariyadi, Anggota Tim Pakar IRN Widjaya Lukito, dan Menteri Pertanian periode 2000-2004 Bungaran Saragih.
Pohon kelor dapat hidup hingga pada ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, dan dapat tumbuh hingga 6-7 meter dalam satu tahun. Biaya perawatannya pun relatif murah. Minimnya penggunaan pupuk, dan kecenderungan pohon kelor tidak terkena hama, menjadi alasannya. Selain itu, hampir seluruh bagian dari kelor dapat dimanfaatkan, seperti daun, akar, dan kulit batang.
SEKAR GANDHAWANGI–FG Winarno, Kamis (6/9/2018).
Konsumsi daun kelor telah direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Daun kelor dapat diolah dengan dimasak, dikeringkan, bahkan dapat pula dikonsumsi secara mentah. Daun kelor juga baik dikonsumsi oleh masyarakat dari segala usia, termasuk ibu hamil dan menyusui, serta anak usia enam bulan ke atas.
Emisi karbon rendah
Selain kelor, bahan pangan lain yang dapat menjadi alternatif untuk mencapai ketahanan pangan adalah serangga. Ada sekitar 1.900 spesies serangga yang ditetapkan sebagai serangga layak santap oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Di antaranya jangkrik, belalang, ulat sagu, ulat sutra, tonggeret, kelabang, dan kalajengking.
Nilai gizi yang dikandung serangga berbeda-beda, tergantung jenisnya. Namun, secara umum serangga kaya akan protein, asam amino, mikronutrien, mineral, vitamin, serat, dan sebagainya. Selain bernilai gizi tinggi, serangga dinilai sebagai bahan pangan yang ramah lingkungan.
Sektor peternakan menghasilkan 14 persen dari emisi karbon dunia. Bila dibandingakan dengan hewan ternak seperti unggas dan sapi, serangga lebih irit air, lahan, pakan, dan menghasilkan emisi karbon yang sangat rendah.
Bila dibandingkan, konsumsi air dari ternak mencapai 2,99 galon air, sedangkan serangga membutuhkan satu galon. Ternak mengonsumsi 11,35 kilogram pakan, sedangkan serangga membutuhkan 0,9 kilogram pakan. Selain itu, kebutuhan lahan peternakan serangga juga jauh lebih kecil daripada ternak.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA–Aktivitas pekerja di peternakan sapi, Koperasi Unit Desa Wahyu Agung, Desa Sumogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Jumat (4/5/2018).
Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Pertanian periode 2010-2011 Bayu Krisnamurthi mengatakan, rasio lahan per orang di Indonesia adalah 0,2 hektar. Artinya, masing-masing orang harus dapat memenuhi kebutuhan pangannya, baik dengan berkebun maupun beternak, dengan lahan seluas 0,2 hektar.
“Pada 2090, seluruh hutan harus dibabat habis untuk memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia. Itu akan terjadi jika kita tidak berbuat sesuatu,” kata Bayu.
Kendala
Walaupun bernilai gizi tinggi dan ramah lingkungan, kelor dan serangga belum dipertimbangkan secara serius sebagai bahan pangan potensial. Selera masyarakat sebagai konsumen, juga menjadi salah satu hambatan.
Menurut Winarno, ada tiga cara untuk membuat keduanya menjadi bahan pangan alternatif, khususnya serangga. Pertama, harus ada produk yang dihasilkan. Kedua, harus ada teknologi yang memadai untuk produksi. Ketiga, harus ada perencanaan bisnis jangka panjang.
“Kami harap bahan pangan itu bisa dijadikan produk inovatif. BPOM akan menyiapkan diri untuk berdiskusi, dan mungkin saja kami beri izin edarnya,” kata Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas obat dan Makanan (BPOM), Tetty Helfery Sihombing. (SEKAR GANDHAWANGI)–ADI PRINANTYO
Sumber: Kompas, 7 September 2018