Gaya hidup tak sehat memicu berbagai penyakit degeneratif, antara lain stroke, jantung, hipertensi (darah tinggi), diabetes melitus (kencing manis), dan alzheimer. Kelompok penyakit tak menular itu jadi pembunuh utama.
Kementerian Kesehatan menyebut stroke menjadi penyakit pembunuh pertama meski pada 1990-2000 di posisi keempat di Indonesia. Penyakit jantung dan pembuluh darah ada di urutan kedua meski sebelumnya tak masuk 10 besar pembunuh utama.
Pasien penyakit degeneratif rata-rata memiliki tingkat harapan hidup amat rendah. Namun, tiga periode terakhir, dunia kesehatan di Indonesia dan internasional berlomba mengembangkan riset terapi sel punca. Terapi itu diyakini sebagai jalan keluar untuk mengobati berbagai penyakit degeneratif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sel punca adalah sel induk atau asal dari segala jenis sel dalam tubuh manusia. Sel punca berkemampuan ”ajaib”, yakni mampu membelah diri secara asimetris sehingga menjadi sel berbeda. Sel itu juga mampu memperbarui diri. Bahkan, sel punca diyakini mampu membuat ”organ” baru yang sebelumnya rusak. Sel punca setidaknya bisa melahirkan 200 calon sel baru.
Inilah ”mukjizat” yang didalami akademisi kesehatan. Tujuannya, menyelamatkan nyawa manusia yang nyaris kehilangan harapan hidup akibat terkena penyakit degeneratif.
Namun, pengembangan sel punca perlu meniti jalan panjang. Pengembangannya menghadapi kendala, antara lain belum ada standar layanan medis penyakit degeneratif. Secara spesifik, Kementerian Kesehatan belum mengeluarkan panduan berapa banyak sel punca bisa dimasukkan dalam tubuh manusia untuk penanganan penyakit berbeda.
Ketua Pusat Kedokteran Regeneratif dan Sel Punca Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo, Ferdiansyah, Jumat (26/1), di Surabaya, mengatakan, sel punca dikembangkan untuk mengobati penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan. Para peneliti mencari inovasi untuk menemukan obat penyakit degeneratif yang jadi momok menakutkan bagi pasien.
Pengobatan yang lazim dijalankan pasien penyakit degeneratif adalah mengonsumsi obat- obatan. Jika ada kerusakan sel atau organ tubuh, obat yang dikonsumsi tak berkemampuan memperbaiki. Obat sekadar mengurangi gejala. ”Sel punca mampu memerbaiki sel rusak seperti sedia kala,” ujarnya.
Bahkan, sel punca bisa meregenerasi organ. Dalam penelitian yang terus dikembangkan, sel punca bisa membuat sel yang rusak memperbaiki diri atau berubah jadi sel sesuai tempatnya diletakkan. Namun, patut diingat, hingga kini, pengembangan sel punca masih dalam tahap riset dan belum ada standar umum.
Adapun setiap organ tubuh memiliki sel punca. Akan tetapi, tak semua organ memiliki jumlah sel punca banyak dan bisa diambil dengan mudah.
Otak, misalnya, mempunyai sel punca. Namun, jika mengambil sel punca dari otak melalui pembedahan, itu akan menimbulkan kerusakan. ”Untuk itu sel punca biasanya diambil dari sumsum tulang belakang yang letaknya di panggul, sel lemak, dan darah tali pusar,” kata Ferdiansyah.
Dari tipe pemakaian, sel punca dibedakan jadi dua jenis, yakni sel punca dari tubuh pasien sendiri (autologous) dan sel punca dari orang lain (allogenic). ”Mengambil sel punca dari organ diri sendiri kadang lebih cocok dibandingkan dari orang lain. Namun, jika pasien lanjut usia dan menderita penyakit berat, sebaiknya sel punca tak diambil dari diri sendiri karena organ kemungkinan tak optimal,” ujarnya.
Dua cara
Terapi sel punca diberikan melalui dua cara. Pertama, melalui injeksi atau penyuntikan sehingga sel punca akan ”mencari” lokasi sel atau organ rusak dan memperbaikinya. Kedua, melalui kateterisasi ataupun pembedahan, yakni sel punca diletakkan di organ yang perlu diperbaiki.
Adapun Unair dan RSUD Dr Soetomo memulai riset sel punca pada 1990. Penelitian awal dilakukan dengan mengembangkan sel dari pusat biomaterial dan bank jaringan. Sel dicangkokkan ke tulang atau urat pasien sebagai salah satu metode terapi. Waktu itu, pencangkokan sel hasil pengembangan belum dinyatakan sebagai sel punca.
Pada 1998, para peneliti melaksanakan isolasi dan kultur sel pertama kali di laboratorium sel punca Lembaga Penyakit Tropis (LPT) Unair. Sedasawarsa kemudian, mereka mulai membiakkan sel punca.
Pada 2011, sel punca hasil riset pertama kali digunakan sebagai metode terapi ke pasien. Tahun itu dibentuk Pusat Kedokteran Regeneratif dan Sel Punca Surabaya, kolaborasi tiga institusi, yakni RSUD Dr Soetomo, Intitute of Tropical Disease Unair, dan Fakultas Kedokteran Unair.
Sampai kini, izin pelaksanaan terapi sel punca masih terbatas. Sebab, terapi sel punca masih dalam tahap penelitian dan pengembangan. Sejak 2014, ada 11 rumah sakit pendidikan mengantongi izin penyelenggaraan pelayanan sel punca. Selain itu ada tiga laboratorium sel punca, dua di antaranya di Jakarta dan satu di Solo.
Ketua Asosiasi Sel Punca Indonesia Ismail Hadisoebroto Dilogo menyatakan, 11 RS itu ialah RS Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS Umum Daerah Dr Soetomo Surabaya, RSUP Dr M Djamil (Padang), RSUP Dr Hasan Sadikin (Bandung), RSUP Dr Kariadi (Semarang), RSUP Dr Sardjito (Yogyakarta), dan RSUP Sanglah (Denpasar). Beberapa RS lain di Jakarta, yakni RS Jantung Harapan Kita, RS Kanker Dharmais, RSUP Persahabatan, dan RSUP Fatmawati (Kompas, 13 Oktober 2017).
Hingga Januari 2018, menurut Sekretaris Pusat Kedokteran Regeneratif dan Sel Punca Purwati, ada 400 pasien menjalani terapi sel punca di RSUD Dr Soetomo. Catatan dari para peneliti, terapi mampu memberi perbaikan 30-100 persen untuk diabetes melitus, nyeri sendi pada lutut, stroke, dan jantung. Para pasien yang menjalani terapi sel punca di Surabaya sebelumnya menempuh metode sama di luar negeri.
Ferdiansyah mengingatkan, jumlah 400 pasien itu terlalu sedikit untuk mengambil kesimpulan tingkat keberhasilan terapi sel punca. Untuk satu jenis penyakit saja ada beberapa tingkat fatalitas. Untuk itu, amat diperlukan para pasien yang bersedia menjalani terapi sel punca meski masih tahap riset.
”Tingkat keberhasilan tiap pasien beragam karena perbedaan jenis penyakit dan kategorinya. Terapi sel punca ini belum ada standar bakunya sehingga belum masuk skema asuransi,” ujarnya.
Adapun cara kerjanya dibedakan jadi tiga macam. Pertama, sel punca itu mampu memperbaiki diri di tempat di mana dia diletakkan. Sebab, protein yang dihasilkan sel punca, seperti scrotum, tropic factors, dan metabolic bisa memicu pertumbuhan sel rusak. ”Prosesnya berkisar 1-7 hari,” kata Ferdiansyah.
Kedua, sel punca yang diletakkan di suatu organ akan berubah sesuai tempat diletakkan. Contohnya, pada pasien jantung atau tulang yang butuh sel punca untuk penyembuhan. Proses ini butuh waktu 1 bulan. Ketiga, sel punca digunakan untuk menurunkan imunitas tubuh, seperti pada pasien reumatik dan pencangkokan organ.
Pada intinya, sel punca memiliki sifat homing dan plasticity yang berarti saat sel punca dimasukkan dalam tubuh, dia akan mencari daerah cedera dan akan berpoliferasi dan berdiferensiasi menjadi jaringan sesuai lingkungan tempat dia tumbuh. Melalui sifat sel punca ini, bisa dilakukan penyembuhan pada kerusakan organ dan jaringan berbentuk regenerasi atau perbaikan. ”Sel punca bisa untuk peremajaan kulit,” ujarnya.
Regenerasi merupakan tujuan utama terapi sel punca. Perbaikan akan menghasilkan jaringan ikat yang mengisi atau menggantikan bagian organ atau jaringan yang rusak. Itu terjadi karena sel dan jaringan terbentuk untuk mengisi bagian organ atau jaringan rusak sama seperti sel atau jaringan aslinya.
Standar terapi sel punca 3–5 kali suntik dengan sela satu bulan. Jika hasil evaluasi bagus, selanjutnya pasien cukup setahun sekali suntik. Pada pasien kehilangan tulang, misalnya, saat operasi pencangkokan tulang yang diambil dari bank jaringan, tulang donor itu diberikan sekitar 60 juta sel punca.
Adapun alur layanan terapi sel punca di RS Dr Soetomo, berawal dari dokter spesialis mengajukan kepada Pusat Kedokteran Regeneratif dan Stem Cell untuk terapi sel punca kepada pasiennya. Pasien juga bisa datang langsung ke Pusat Kedokteran Regeneratif dan Stem Cell lalu akan dirujuk ke dokter spesialis sesuai bidang ilmunya.
Setelah dievaluasi dokter spesialis terkait, Pusat Kedokteran Regeneratif dan Sel Punca akan membentuk tim terkait untuk mengkaji prosedur pemberian terapi sel punca. Pasien lalu akan menjalani layanan terapi sel punca. Terakhir, evaluasi dan pemantauan akan dilakukan dokter spesialis serta Pusat Kedokteran Regeneratif dan Sel Punca untuk melihat penyembuhan pasien.
Gerbang pengobatan penyakit degeneratif telah terbuka. Jalan terbentang di depan. Namun, perjalanan masih di awal atau di tengah. Harapan kesembuhan mendekat jika penelitian sel punca terus berjalan meski ada banyak kendala.–IQBAL BASYARI DAN AMBROSIUS HARTO
Sumber: Kompas, 5 Februari 2018