Kecerdasan buatan atau artificial intelligence adalah fitur yang dipamerkan Asus sewaktu memperkenalkan ponsel terbaru mereka, yakni Zenfone 5, dan varian lebih premium lagi, Zenfone 5z. Tidak lagi ponsel pintar, tetapi ponsel yang bisa berpikir untuk membantu penggunanya
Manajer Pemasaran Asus Galip Fu mengatakan, kecerdasan buatan yang dimiliki ponsel itu di antaranya akan bisa mendeteksi pandangan pengguna untuk memastikan layar tetap menyala, begitu pula urusan pengisian daya dengan mempelajari kebiasaan pengguna agar mengurangi daur isi ulang dan bisa memperpanjang usia pakai baterai.
Terdapat pula fitur dorongan pada performa untuk meningkatkan kemampuan komputasi ponsel. Salah satu indikator yang dipakai untuk menunjukkan dampaknya adalah melalui aplikasi pembanding (benchmark), seperti AnTuTu, dengan skor pengujian terpaut cukup signifikan antara sebelum dan sesudah diaktivasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Kecerdasan buatan yang paling utama ada di kamera karena bisa mengetahui apa obyek yang sedang disorot dan menggunakan pengaturan terbaik agar mendapatkan gambar yang berkesan,” kata Galip. Terdapat dua varian seri Zenfone, yakni Zenfone 5 yang dijual Rp 4,3 juta dan Zenfone 5z dengan spesifikasi yang lebih baik pada kapasitas RAM dan penyimpanan seharga Rp 7,5 juta.
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO–Pengujian atas kemampuan kecerdasan buatan diperlihatkan untuk ponsel pintar yang menggunakan sistem dalam cip (SOC) Kirin 970 pada pertengahan Oktober 2017. Dengan fitur kecerdasan buatan, ponsel pintar bisa mengelola informasi lebih baik untuk menghasilkan rekomendasi lebih relevan bagi pengguna yang dilakukan secara luring.
Berdasarkan pengalaman Kompas mengoperasikan ponsel pintar ini selama beberapa hari, Zenfone 5 menjadi ”lompatan” dari seri-seri sebelumnya. Memulai seri Zenfone sejak tahun 2014, Zenfone 5 adalah seri pertama yang mengikuti tren layar masa kini, yakni rasio 19:9, artinya layar dengan bentang 6,2 inci memenuhi 90 persen dari bagian muka ponsel, menyisakan bezel tipis di sisi atas untuk kamera depan.
Pengalaman menggunakan kamera terbilang unik. Tampilan antarmuka minim dari pilihan untuk mengatur moda pengambilan gambar, tetapi mereka mengandalkan obyek yang disorot. Misalkan lensa menghadap bunga dalam jarak dekat, sebuah ikon bunga langsung muncul, menandakan kita sedang mengambil gambar makro.
Begitu pula saat lensa diarahkan ke sepiring makanan, ikon makanan juga muncul dan gambar akhirnya pun memiliki saturasi yang sedikit berlebih untuk memunculkan warna dan menimbulkan selera makan bagi yang melihatnya.
Hanya saja, tidak ada lagi yang menarik selebihnya. Kecerdasan buatan kamera Zenfone 5 terasa seperti moda otomatis dengan sedikit pembaruan. Pada kondisi tertentu, fitur AI membantu pengguna mengambil gambar terbaik sesuai kondisi.
Kesimpulan ini belum bisa dikenakan untuk Zenfone 5z yang menggunakan chipset lebih baik dan RAM yang lebih besar.
Fitur lain yang memanfaatkan fitur AI, seperti Zenimoji, juga belum terasa matang dan siap dihadirkan kepada pengguna. Dengan memanfaatkan kamera depan, layanan ini menangkap mimik muka pengguna dan diterjemahkan menjadi gerakan karakter virtual yang disediakan tersendiri.
Fitur ini belum bisa menandingi Animoji pada iPhone X, ataupun AR Emoji dari Samsung Galaxy S9. Selain respons lambat dalam menganalisis wajah pengguna, reproduksi mimik wajah dalam Zenimoji juga belum sepenuhnya sama 100 persen.
Namun, dari sisi harga, Zenfone 5, atau bahkan Zenfone 5z, adalah ponsel yang sangat menggoda. Dengan harga Rp 7,5 juta tetapi mendapatkan ponsel dengan sistem dalam cip (system on chip/SOC) Snapdragon 845 terbaru menjadi peluang yang berharga.
Luring
Kehadiran ponsel pintar yang membanggakan kecerdasan buatan makin marak ditemui sejak tahun 2018. LG, misalnya, meluncurkan LG G7 ThinQ untuk Indonesia dengan juga menghadirkan kamera yang bisa mendeteksi obyek foto dan melakukan pengaturan terbaik.
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO–Asus meluncurkan generasi kelima dari seri ponsel Zenfone mereka yakni Zenfone 5 di Jakarta, Kamis (17/5/2018). Hadir setelah generasi pertama seri Zenfone empat tahun silam, Asus memperkenalkan fitur kecerdasan buatan untuk ponsel terbaru mereka.
Apabila Zenfone 5 dan G7 ThinQ yang memakai chipset Snapdragon, Huawei sebetulnya sudah melakukannya sejak akhir tahun lalu dengan seri Mate 10 Pro. Menggunakan chipset Kirin 970, mereka membanggakan diri bahwa kamera ponsel mereka sudah bisa mengenali obyek.
Sebetulnya kerja SOC-lah yang memungkinkan sebuah ponsel pintar bisa menawarkan kecerdasan buatan. Hal itu tidak jauh dari layanan AI yang sudah kita nikmati selama ini.
Mau bukti? Unggahlah foto bersama teman-teman ke Facebook dan begitu rampung, sebagian muka sudah ditandai secara otomatis oleh nama-nama akun yang diduga kuat sebagai pemilik wajah.
Atau masuk ke Instagram Stories dan memanfaatkan fitur sticker yang bergerak sesuai gerakan wajah. Itu semua tidak lepas dari kerja AI dalam memetakan wajah dan mengimbuhi konten virtual di atasnya. Hanya saja, semua itu dilakukan secara daring sehingga pengguna harus terhubung ke internet agar bisa menikmati layanan.
Sebaliknya, ponsel-ponsel dengan kecerdasan buatan berusaha memakai AI tanpa jaringan. Mereka melakukan semuanya secara luring tanpa bergantung pada server penyedia layanan. Alasannya sederhana, keamanan dan personalisasi.
Dengan proses AI dilakukan secara luring, berarti tidak ada data pribadi yang harus dikirim ke server untuk diolah, misalnya wajah. Semua bisa diakses tanpa harus tersambung ke internet. Ini adalah gambaran asisten virtual yang paripurna.
Kerja paling besar dilakukan SOC yang memungkinkan pembuat ponsel memperkenalkan AI. Misalkan, Huawei yang memperkenalkan neural processing unit (NPU), satu blok yang disediakan di dalam kompleks chipset Kirin 970 yang digunakan seri Mate 10 Pro. Bagian ini khusus memproses informasi dan bekerja sama dengan bagian lain di dalam SOC agar tak mengorbankan performa secara rata-rata.
Pada Oktober 2017, Eric Chou yang menjabat Product Marketing Director Huawei mengatakan soal keunggulan fitur kecerdasan buatan dari chipset Kirin 970 kepada wartawan di Indonesia. Belakangan diketahui, Mate 10 Pro tidak diedarkan secara resmi di Tanah Air.
NPU bekerja sama dengan CPU selaku unit pemrosesan utama yang mengatur pembagian tugas, unit pemrosesan grafis (GPU) untuk menangani produksi grafis, serta image signal processor (ISP) yang bertanggung jawab untuk kamera, serta digital signal processor (DSP) untuk pemrosesan paralel. ”NPU memiliki performa 25 kali dari CPU, tetapi konsumsi daya 50 kali lebih irit,” ujar Chou saat itu.
Perlombaan kecerdasan buatan juga dilakukan para produsen chipset lainnya. Mediatek, misalnya, menghadirkan unit pemrosesan kecerdasan buatan (APU) khusus dalam SOC Helio P60 mereka. Pun sama dengan Qualcomm, produsen lainnya.
Bedanya, mereka tidak membebankan itu ke blok khusus, tetapi diserahkan pada DSP. Bagian dari chipset itu berguna untuk memproses perintah dengan konsumsi daya rendah, misalkan perintah ”OK Google” saat layar mati hanya bisa diwujudkan melalui peran DSP.
DSP generasi ketiga, yakni Hexagon 685 yang ada di dalam kompleks chipset Snapdragon seri 800, yakni 820, 835, dan 845, memiliki kemampuan tinggi untuk kecerdasan buatan, salah satunya pengenalan obyek.
”Dengan ekosistem untuk pengambilan gambar, video, audio, pengenalan wicara, serta sensor, peluang untuk pengembangan kecerdasan buatan pada ponsel pintar terbuka lebar,” kata Dominikus Susanto, Senior Manager Marketing Qualcomm Indonesia.–DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
Sumber: Kompas, 17 Juli 2018