Pembangunan PLTA Batang Toru agar seiring dengan penyelamatan dan pelestarian orangutan tapanuli yang sangat endemik dan menghuni ruang yang sempit.
Pembangunan pusat energi dan pengelolaan hutan di habitat orangutan diharapkan bisa sejalan dengan upaya konservasi primata tersebut, termasuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air di Batang Toru, Sumatera Utara. Ini bertujuan agar populasi orangutan tetap lestari dan kedaulatan energi berbasis pengelolaan berkelanjutan dapat tercapai.
Ketua Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata Indonesia (Perhappi), Didik Prasetyo mengatakan, dalam diskusi daring, Senin (13/7/2020), meyampaikan, spesies orangutan di Sumatera dan Kalimantan terus mengalami tekanan dan ancaman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hilangnya habitat ini akan menyebabkan spesies orangutan Kalimantan terancam hilang atau mengalami kematian. Dari 38.000 ekor lebih populasi spesies orangutan Kalimantan yang masih ada saat ini, diprediksi ribuan ekor akan mati selama 10 tahun mendatang.
Meski ancamannya tidak sebesar di Kalimantan, spesies orangutan di Sumatera juga diprediksi akan kehilangan habitat. Ini termasuk spesies orangutan tapanuli yang baru resmi teridentifikasi pada 2017 lalu.
Dalam kurun waktu satu dekade ke depan, sejumlah 10-20 ekor orangutan tapanuli yang diprediksi akan mengalami kematian. Namun, Didik menegaskan bahwa upaya konservasi tetap perlu menjadi prioritas mengingat populasi orangutan tapanuli saat ini yang diperkirakan hanya terdapat 760 ekor.
Ancaman hilangnya habitat hingga menyebabkan kepunahan orangutan tidak terlepas dari pengelolaan maupun pembangunan hutan yang tidak mengedepankan aspek lingkungan dan prinsip kehati-hatian. Oleh karena itu, menurut Didik, korporasi harus memiliki komitmen untuk melindungi orangutan dan melakukan kajian analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) maupun segala perizinan yang berlaku.
Direktur Pusat Studi Energi Berkelanjutan dan Manajemen Sumber Daya Alam (CSERM) Universitas Nasional Jito Sugardjito menyampaikan, dari penelitiaannya terhadap orangutan selama 45 tahun, pada dasarnya kebutuhan primata ini sama dengan satwa lainnya. Kebutuhan itu antara lain rasa aman dari aktivitas manusia, tersedianya pakan di habitatnya, dan kemampuan untuk kawin atau reproduksi.
Selama penelitiannya itu, Jito juga melihat bahwa orangutan kerap dijumpai di luar kawasan konservasi. Namun, ia menilai upaya memperluas kawasan konservasi tidak akan menjamin daerah jelajah orangutan tetap terlindungi. Sebab, pengelolaan kawasan konservasi eksisting saat ini juga dianggap belum maksimal.
“Yang terpenting bukan perluasan kawasan konservasi tetapi pengelolaannya dikuatkan. Selama ini dalam pengelolaannya itu hanya melihatnya satu pihak,” katanya.
Berangkat dari kondisi tersebut, Jito menegaskan, kebijakan konservasi habitat orangutan harus memadukan dengan tujuan pembangunan ke dalam model pengelolaan yang baru atau berkelanjutan. “Pembangunan harus mempunyai best practice management di areanya agar memperhatikan satwa termasuk orangutan yang dilindungi,” ujarnya.
Selain itu, diperlukan juga pendanaan yang besar dan terkoordinasi melalui program konservasi. Pada akhirnya upaya konservasi memerlukan kerjasama dengan swasta untuk melaksanakan pengelolaan hutan bernilai konservasi tinggi di habitat orangutan yang tumpang tindih dengan kegiatan pembangunan.
“Ahli-ahli orangutan dari Indonesia juga perlu diberdayakan agar menguasai tantangan pengelolaan dan konservasi orangutan sehingga kita tidak digiring opini atau kemauan orang luar,” tambahnya.
Pembangunan PLTA
Sebelumnya, sejumlah masyarakat sipil dan aktivis lingkungan mendorong penguatan perlindungan ekosistem Hutan Batang Toru yang terbentang di tiga kabupaten di Sumatera Utara yakni Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan. Hutan Batang Toru menjadi habitat dari orangutan tapanuli.
Pakar orangutan dari Liverpool John Moores University, Serge Wich menyatakan bahwa pembangunan Pembangit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru dapat berdampak pada ekosistem orangutan tapanuli. Sebab, PLTA tersebut dibangun di lokasi dengan kepadatan orangutan paling tinggi dan menjadi konektivitas kera besar ini.
Guna melindungi orangutan tapanuli, Serge berharap agar pembangunan PLTA Batang Toru yang dikerjakan oleh PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) dapat dihentikan. Proyek tersebut juga diharapkan dapat dievaluasi dan mulai memperbaiki konektivitas untuk orangutan lewat sungai Batang Toru.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) periode 1996-2002, Emmy Hafild menyatakan, berdasarkan peta tutupan lahan, sebagian besar ekosistem Batang Toru merupakan area hutan lindung dan kurang dari 10 persen yang masuk area penggunaan lain (APL). APL ini kerap menjadi konflik berkepanjangan sejumlah pihak karena kawasan tersebut bertujuan untuk kegiatan ekonomi.
“Yang harus dilakukan dengan segera adalah menyelamatkan kawasan APL ini bukan dengan mengubah status, tetapi dengan sustainable management. Kalau bisa kita rebut sustainable management di wilayah APL itu jauh akan membantu orangutan untuk survive,” ujarnya.
Penasihat senior lingkungan PT NSHE Agus Djoko Ismanto mengatakan, dokumen revisi amdal telah selesai dan saat ini masih dalam proses lanjutan di pemerintah daerah Sumatera Utara. Penyusunan amdal ini melibatkan konsultan dengan ahli yang sudah berpengalaman termasuk ahli primata.
Dalam revisi amdal tersebut juga disebutkan secara rinci terkait orangutan tapanuli dan habitatnya yang terdampak oleh pembangunan PLTA. Adapun pada amdal sebelumnya identifikasi habitat orangutan masih menggunakan penjelasan yang bersifat makro.
“Jika ditemukan orang utan berada sangat dekat dengan aktivitas proyek, maka aktivitas proyek di tempat tersebut dihentikan sementara. Hal ini untuk menghindari stress dan memberi kesempatan orang utan bergeser ke tempat yang lebih nyaman,” ujarnya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor:ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 14 Juli 2020