Tanah subur dan curah hujan yang relatif tinggi menjadikan Indonesia surga bagi beragam flora. Namun, eksploitasi dan konversi hutan telah mengakibatkan 487 pohon terancam punah. Upaya penyelamatannya dilakukan dengan menyusun Strategi dan Rencana Aksi 2018-2028. Fokusnya pada 12 jenis pohon langka di wilayah Nusantara.
Keragaman hayati Indonesia disebut-sebut kedua terbesar di dunia setelah Brasil. Untuk jenis flora saja diperkirakan ada sekitar 40.000 jenis, atau sekitar 15 persen jenis tumbuhan di dunia. Dari jumlah ini yang masuk daftar merah (red list) menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN)-kini bernama World Conservation Union (WCU)- tercatat 1.252 jenis. Identifikasi flora yang dilakukan WCU sejak 1998 menemukan 55 jenis tumbuhan di antaranya merupakan pohon besar.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Enny Sudarmonowati menyatakan, kemungkinan jumlah yang masuk daftar merah itu meningkat bila tidak dilakukan pengkinian. Hal ini yang mendasari perlunya survei dan eksplorasi flora di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Identifikasi dan pembaruan data tentang plasma nutfah atau keragaman hayati Indonesia itu menjadi tugas LIPI,” ucap Enny di sela acara Bioresources Science Week Fair di Cibinong Science Center Botanical Garden, yang berakhir Sabtu (9/9).
LIPI bekerja sama dengan Fauna & Flora International-Indonesia Programme mengidentifikasi ada 12 jenis tumbuhan kayu di Indonesia yang kini tergolong langka atau terancam punah. Tumbuhan itu adalah palahlar (Dipterocarpus littoralis), keruing (Dipterocarpus cinereus), kokoleceran (Vatica bantamensis), resak bribes (Vatica javanica),meranti putih (Shorea javanica),kamper (Dryobalanops aromatica), ulin (Eusideroxylon zwageri), mersawa (Anisoptera costata),tengkawang rambai (Shorea pinanga),durian sukang (Durio oxyleyanus),durian burung (Durio graveolens), dan Berangan saninten (Castanopsis argentea).
Strategi-rencana aksi
Konversi lahan dan perubahan iklim global memang terus menyusutkan kawasan hutan di Indonesia yang seluas 126 juta hektar lebih. Kondisi ini harus diatasi dengan melakukan upaya pelestarian yang berimbang dengan pemanfaatannya.
“Ini sesuai dengan kerangka Sustainable Development Goals,” ujar Pelaksana Tugas Kepala LIPI, Bambang Subiyanto, terkait dengan penyusunan buku Strategi dan Rencana Aksi Konservasi 12 Jenis Pohon Langka Indonesia 2018-2028.
KOMPAS/LUKAS ADI PRASETYA–Pohon ulin setinggi 20 meter dan berdiameter 2,47 meter ini merupakan ulin terbesar di Indonesia, juga di dunia. Pohon berumur 1.000 tahun ini menjadi ikon bagi Wisata Alam Sangkima, bagian terluar dari Taman Nasional Kutai, hutan hujan tropis dataran rendah di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Buku ini disusun LIPI bersama Fauna & Flora International-Indonesia Programme, Forum Pohon Langka Indonesia, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pohon langka yang menjadi target aksi konservasi tersebut sebagian belum dikenal masyarakat karena hanya berada di satu tempat terbatas. Kokoleceran, misalnya, ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon dan Plahlar di Pulau Nusakambangan. Bahkan, keruing atau lagan bras yang sudah dianggap punah berhasil ditemukan kembali di Pulau Mursala, Tapanuli Tengah. Kelangkaan juga terjadi pada kayu ulin dan tengkawang yang tereksploitasi.
Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) yang telah disusun untuk ke-12 jenis pohon ini, menurut Bambang, secara tidak langsung akan memopulerkan jenis-jenis pohon langka ini kepada masyarakat. Diharapkan, kelak masyarakat dapat memanfaatkannya secara lestari dan berkelanjutan demi kehidupan yang selaras dan sinambung antara manusia dan alam.
Menjadi pedoman
Penyusunan SRAK pohon langka ini sangat penting karena dapat dijadikan pedoman bagi pengelolaan hutan dan sumber daya hayati Indonesia lainnya. “Dokumen SRAK 12 jenis pohon langka diharapkan juga dapat bermanfaat bagi pembangunan daerah dan masyarakat,” kata Bambang.
SRAK juga mencakup detail pelaksana yang terlibat dalam aksi tersebut dan waktu pelaksanaannya.
Yulita Kusumadewi dari Puslit Bioteknologi LIPI, salah satu penyusun buku SRAK, menjelaskan, SRAK antara lain mencakup upaya konservasi in situ (dalam habitat) dan eks situ (di luar habitat). Untuk Dipterocarpus littoralis,misalnya, akan dilakukan perlindungan habitat melalui status kawasan Cagar Alam Nusakambangan Barat. Pendataan keragaman hayati akan dilakukan oleh Balai KSDA Cilacap dan para mitra, baik perguruan tinggi, swasta, maupun lembaga swadaya masyarakat.
Adapun konservasi eks situ berupa koleksi hidup di Kebon Raya Bogor. Selain itu juga dilakukan reklamasi lahan pasca tambang oleh PT Holcim Nusakambangan Timur. Upaya sosialisasi kepada masyarakat dilakukan oleh Save Our Nusakambangan Island. Upaya ini juga diikuti dengan penguatan dan penegakan hukum.
SRAK 12 jenis pohon langka merupakan rencana aksi kedua bagi jenis flora. SRAK pertama untuk Amorphophallus dan raflesia. Amorphophallus adalah nama marga tumbuhan dari suku talas-talasan (Araceae). Bunga dan tumbuhan vegetatifnya (daun) tumbuh bergantian. Bunganya pada waktu-waktu tertentu mengeluarkan bau bangkai yang sengit sehingga umum dinamai sebagai bunga bangkai.
SRAK yang diterbitkan Pemerintah Indonesia yaitu oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerja sama dengan LIPI, khususnya Pusat Penelitian Biologi LIPI juga telah dikeluarkan untuk fauna, yaitu untuk harimau, badak, dan orangutan.
Untuk melaksanakan aksi tersebut disusun Prekursor Buku Daftar Merah Indonesia 1, 50 Jenis Pohon Kayu Komersil yang disusun peneliti LIPI, yaitu Yulita Kusumadewi, Tukirin Partomihardjo, dan Wita Wardani.
Buku ini disusun oleh Tim LIPI bekerja sama dengan Fauna & Flora International-Indonesia Programme, Forum Pohon Langka Indonesia, dan didukung oleh Global Treen Campaign (GTC), Yayasan Kehati (Keragaman Hayati Indonesia), World Wildlife Fund (WWF), dan Yayasan Belantara.–YUNI IKAWATI
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 September 2017, di halaman 5 dengan judul “Selamatkan Flora Nusantara”.