Guru Terbebani Padatnya Materi Pelajaran
Kecenderungan siswa mengikuti bimbingan belajar di luar kelas mencerminkan adanya benang kusut dalam pendidikan tingkat SMA. Pola pembelajaran di kelas berorientasi tekstual karena guru terpaku pada buku ajar. Sebaliknya, lembaga bimbingan belajar lebih kreatif mengasah kecakapan siswa menjawab soal-soal seleksi masuk perguruan tinggi negeri.
Demikian pandangan dari pakar pendidikan Itje Chodidjah, Jumat (26/2), di Jakarta, seputar tren minat siswa SMA mengikuti bimbingan belajar kendati ujian nasional tidak lagi menjadi syarat utama kelulusan.
Itje yang juga anggota Dewan Pendidikan DKI menerangkan, guru sangat terpaku pada materi di dalam buku pelajaran. Apabila satu bab sudah selesai, mereka melanjutkan ke bab lain berdasarkan target waktu yang ditentukan di dalam buku teks.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ini yang membuat siswa berbondong-bondong ikut les. Materi di buku sangat banyak dan padat. Siswa belum sepenuhnya paham, sudah disodori lagi berbagai soal untuk pekerjaan rumah. Terang saja, mereka yang kebingungan mencari pertolongan lewat les,” ujarnya.
Ia memaparkan, lembaga penyedia jasa les memiliki tujuan yang jelas. Misalnya, membantu siswa agar lulus ujian masuk jurusan tertentu di perguruan tinggi (PT) favorit. Dari tujuan tersebut, jelas standar kemampuan yang harus dipenuhi oleh siswa sehingga guru les bisa menyesuaikan materi ajar dan latihan sesuai dengan kebutuhan siswa. Pembelajaran pun fokus, menyenangkan, dan tidak memberatkan siswa.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Kegiatan belajar-mengajar sedang berlangsung di lembaga pendidikan Primagama di Meruya, Jakarta, Jumat (26/2). Selain untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian nasional dan ujian masuk perguruan tinggi negeri, banyak siswa mengikuti bimbingan belajar untuk mempelajari kembali materi di kelas dan mengerjakan tugas dari sekolah.
Itje menambahkan, pemicu kecenderungan ini adalah karena tidak adanya skema pencapaian yang jelas dalam pembelajaran. Semestinya setiap tingkat pencapaian siswa memiliki indikator. Misalnya, tujuan pencapaian siswa kelas VI dalam pelajaran Bahasa Indonesia sudah bisa membaca dengan lancar, lugas, mengenal bentuk-bentuk kata, dan bisa menyampaikan informasi tersebut secara tepat kepada orang lain. “Kalau tujuan jelas, guru bisa memecahnya menjadi indikator pencapaian,” ucap Itje.
Pandangan Itje selaras dengan pengakuan guru SMA di Jakarta. Wakil Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri 78 Sumarno mengatakan, karakteristik siswa SMA yang heterogen membuat sebagian siswa butuh pendampingan dalam mengulang kembali materi pembelajaran yang didapat di kelas.
Beban guru
Sebagai sekolah yang dalam proses pembelajaran menggunakan sistem kredit semester (SKS), guru terbebani padatnya materi pelajaran yang harus diajarkan. Hal ini membuat guru kesulitan untuk menyampaikan materi secara mendalam.
Wakil Kepala SMA Negeri 24, Jakarta Pusat, Dwiyani Ganewati mengatakan, bimbel menjadi alternatif tempat belajar setelah ujian nasional. Sebab, sekolah tidak menyediakan program belajar khusus bagi siswa yang ingin menempuh pendidikan lanjutan. Tanggung jawab sekolah sebatas pengarahan dan sosialisasi seputar perguruan tinggi.
Ia mengatakan, materi ujian sekolah dan ujian nasional berbeda dengan ujian tulis masuk perguruan tinggi-seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) atau ujian mandiri. Siswa perlu mendalami setiap mata pelajaran karena tingkat kesulitan soal akan berbeda. Rata-rata ujian tulis masuk perguruan tinggi lebih menekankan pada kemampuan analisis teori.
“Bimbel memang dirancang untuk memenuhi kebutuhan siswa yang tidak bisa diakomodasi oleh sekolah. Pada dasarnya, peraturan ujian dan mata pelajaran tiap-tiap tes itu berbeda,” katanya. (C05/C06/DNE)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Februari 2016, di halaman 11 dengan judul “Sekolah Permisif pada Bimbel”.
—————-
Les Jadi PelengkapPengajaran Kelas
Siswa Tempuh Alternatif agar Tembus PTN Idaman
Meski ujian nasional tidak lagi menjadi penentu utama kelulusan, sejumlah siswa SMA tetap mengikuti program bimbingan belajar. Hal itu ditempuh karena pengajaran di ruang kelas dianggap tak memadai. Ada juga yang termotivasi untuk masuk perguruan tinggi favorit.
Rizki (16), siswa kelas X-IPA SMA Negeri 3 Bandung, Jawa Barat, mengikuti les privat dengan memanggil guru ke rumah sejak kelas VIII SMP. Ia meminta orangtuanya mencari jasa guru les privat karena saat duduk di bangku SMP dirinya merasa materi yang disampaikan guru di sekolah kurang memadai.
Karena lulus ujian nasional SMP dengan nilai memuaskan, ia melanjutkan proses pembelajaran menggunakan les privat. Selain itu, Rizki juga merasa masih membutuhkan adaptasi dengan ritme belajar di SMA sehingga kehadiran guru yang membimbingnya secara privat sangat membantu ia belajar.
“Saya berharap dapat nilai baik pada semester ini. Saya belum terbiasa dengan metode belajar di SMA. Di kelas, guru sedikit memberi materi, tetapi memberikan soal ulangan yang kompleks,” kata Rizki, Kamis (25/2).
Sementara Idam (17), siswa kelas XII-IPA SMA Negeri 78 Jakarta, mulai ikut bimbingan belajar sejak kelas XI SMA. Ia mengambil mata pelajaran Matematika wajib dan peminatan, Kimia, Fisika, serta Biologi. Ia mematok target lulus Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) tertulis Departemen Arsitektur Universitas Indonesia. “Guru di bimbel banyak memberikan rumus praktis dalam mengerjakan soal, terutama untuk eksakta,” ujarnya.
Tsanny (17), siswa Kelas XI IPA SMAN 1 Baleendah, Bandung, mengatakan, bimbel menjadi tempat belajar alternatif selain sekolah. Alasannya, penjelasan dari guru tak selalu dipahami secara utuh oleh siswa.
“Pemaparan guru di sekolah sering terbatas oleh waktu. Misalnya, jam pelajaran Matematika hanya 90-135 menit per hari. Sementara itu, materi dan latihan soal yang perlu disampaikan cukup banyak,” kata Tsanny.
Ia menuturkan, bimbel membantunya untuk meningkatkan prestasi akademis di sekolah. Sejak duduk di kelas X, ia berusaha memperoleh nilai yang baik agar lolos ke PTN tanpa tes, yakni hanya mengacu pada nilai rapor. Secara umum, jalur ini Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Selain itu, menurut Tsanny, bimbel juga memberikan berbagai masukan dan informasi seputar perguruan tinggi. Ketika ada tugas atau ujian, dia selalu mengajukan tutorial di luar jadwal bimbel. Alhasil, nilai ujiannya pun selalu memuaskan, yakni rata-rata 90 per mata pelajaran.
Menurut Kharisma (18), siswa kelas XII IPA SMA Pasundan 1, Bandung, bimbel memiliki metode ajar tertentu yang disesuaikan dengan pola belajar siswa. Misalnya, mengubah materi menjadi permainan yang menarik. “Guru-guru di tempat les lebih kreatif dan humoris,” ujarnya.
Kepala Bagian Sumber Daya Manusia Bimbel Prosus Inten Jakornat Sinaga, di Jakarta, mengamati, selama ini sekolah hanya menyiapkan siswa untuk lulus SMA. Adapun bimbel menyiapkan siswa agar bisa diterima di perguruan tinggi idaman.
Ia menjabarkan, kini UN bukan akhir perjuangan siswa SMA. Perhatian siswa saat ini umumnya tertuju pada SBMPTN dan ujian mandiri PTN.
Mendalami materi
Direktur Utama PT Prima Edu Pendamping Belajar, perusahaan pemilik bimbel Primagama, Azhar Risyad Sunaryo, mengatakan, mayoritas siswa yang jadi kliennya berpendapat, pengajaran di sekolah kurang memuaskan.
“Jumlah siswa di dalam satu kelas 30-40 orang. Guru tak bisa intens secara individual sehingga pada akhir jam sekolah, siswa tersebut belum sepenuhnya memahami pelajaran,” ujarnya.
Adapun di bimbel, diterapkan pola kelas yang kecil, yakni hanya berisi 15 siswa, disertai metode belajar yang santai sehingga siswa tak sungkan bertanya.(C05/C06/DNE)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Februari 2016, di halaman 11 dengan judul “Les Jadi PelengkapPengajaran Kelas”.
———
Pemahaman Konsep Terabaikan di Kelas
Siswa Korbankan Hobi dan Interaksi Sosial
Kecenderungan siswa SMA ikut program bimbingan belajar dengan orientasi lulus masuk pada perguruan tinggi favorit mencerminkan sistem pendidikan hanya mengejar nilai bagus. Pemahaman akan konsep setiap materi ajar terabaikan. Capaian pembelajaran pun tak jelas.
Demikian pandangan konsultan metode mengajar dan kurikulum Weilin Han, di Jakarta, Sabtu (27/2).
Weilin menilai orientasi belajar untuk lulus ujian juga menjadikan siswa hanya ingin mempelajari materi yang akan keluar ketika ujian, seperti Ujian Nasional (UN) dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).
“Dalam hal ini, lembaga bimbel mengajarkan siswa jalan pintas untuk menyelesaikan soal. Seandainya di sekolah jalan pintas juga diajarkan, tentu akan menghemat energi siswa,” kata Weilin.
Agar bisa bertahan di dalam peringkat yang baik, kata Weilin, siswa beramai-ramai mengikuti bimbingan belajar. Hal ini justru membuat proses belajar menjadi beban dan menghilangkan pembelajaran yang bertujuan menekankan pemahaman serta pengembangan ilmu pengetahuan.
“Belajar tidak lagi demi mencintai ilmu pengetahuan. Setiap siswa di mata sekolah dan orangtua dinilai di dalam bentuk angka,” ujarnya.
Menurut Weilin, penekanan pada mengembangkan kreativitas di dalam mata pelajaran merupakan hal yang langka dilakukan di zaman sekarang.
“Orangtua ataupun guru menghendaki ketika siswa mengikuti bimbel maka nilai pelajaran mereka bagus. Tidak ada kesadaran untuk membuat siswa menyenangi mata pelajaran tersebut,” kata Weilin.
Ia menjabarkan, semua rumpun mata pelajaran, yaitu eksakta, ilmu sosial, dan bahasa, dipelajari dengan cara menghafal. Jarang dipraktikkan pemahaman mengenai konsep dan pentingnya belajar ilmu tersebut untuk kehidupan sehari-hari.
Akibatnya, siswa berpendapat bahwa berbagai materi dari dalam buku pelajaran yang harus mereka hafalkan tersebut tidak relevan di dalam menghadapi dunia sekolah, kuliah, ataupun untuk bekerja di masa mendatang.
Padahal, menurut Weilin, ini yang menjadikan orang Indonesia tidak pandai melakukan analisis mendalam dan mencari jalan keluar untuk berbagai persoalan di masyarakat.
Jalan pintas
Pendapat Weilin dibenarkan oleh Karina Apriliana (21), mahasiswi angkatan 2012 Jurusan Kehumasan Universitas Padjadjaran, yang dihubungi di Bandung, Minggu (28/2). Ia menjelaskan, persyaratan untuk masuk program studi idamannya itu sulit, kuotanya juga kecil sehingga persaingan ketat.
“Waktu ikut SBMPTN, selain menjawab soal dengan benar juga harus cepat. Karena itu, penting sekali belajar rumus jalan pintas untuk mata ujian hitungan seperti matematika,” tuturnya.
Karina memaparkan, sejak kelas X dirinya sudah mengikuti les privat tiga kali seminggu. Tujuannya agar ia bisa mengerjakan soal-soal pekerjaan rumah dengan baik dan mendapat nilai bagus. Nilai bagus sangat penting di SMA karena membuka kesempatan masuk PTN tanpa perlu mengikuti ujian.
Pada semester kedua di kelas XII, ia mengikuti bimbel setiap hari. Hobi dan kehidupan sosial rela dikorbankan sementara demi lulus SBMPTN.
Ahmad Zaki Risadi (19), mahasiswa Teknik Sipil Universitas Indonesia (UI), juga memiliki pengalaman yang mirip. Di bimbel, materi yang dipakai adalah soal-soal UN dan SBMPTN dari tahun sebelumnya.
“Jadi, saya bisa mengenal pola soal yang bakalan diuji. Apalagi, level soal SBMPTN lebih sulit dari soal UN ataupun yang diajar di sekolah” ujarnya.
Di kelas XII, demi mengejar target masuk UI, ia intensif mengikuti bimbel. Praktis, kegiatan kegemarannya seperti bermain bola basket, wushu, dan OSIS dihentikan.
Zaki menuturkan, masa terberat ialah di antara UN dan SBMPTN karena setiap hari harus belajar selama 12 jam. Pukul 08.00-15.00 mengikuti bimbel. Setelah itu, waktu empat jam berikutnya digunakan untuk belajar sendiri di rumah.
Mengenang hal tersebut, Zaki mengakui sempat merasa kesal karena tantangan yang dihadapi berat. Terlebih beberapa teman yang memilih tidak masuk PTN sudah bisa bersantai-santai.
“Akan tetapi, saya optimistis ini semua demi mencapai cita-cita. Jadi, bersakit-sakit dulu selama satu tahun tidak apa-apa. Pikir saya, hobi dan sosialisasi bisa dilakukan ketika saya sudah lulus SBMPTN,” kenang Zaki.
Adapun Varyeza Nurrafy (17), siswa kelas XII IPS, sebuah SMA swasta di Jakarta Timur, berencana kuliah jurusan akuntansi di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung. Dia telah mempersiapkan diri dengan mengikuti pendalaman materi di sekolah dan bimbel intensif di dua tempat berbeda.
Setiap hari Varyeza bersekolah pukul 07.00-15.30, sementara pendalaman materi yang dilakukan adalah pada Jumat pukul 13.00-15.00 dan Sabtu pukul 08.00-13.00. Pendalaman materi ditujukan guna mempersiapkan siswa menghadapi ujian sekolah dan ujian nasional. Adapun mata pelajaran yang didalami ialah Geografi, Sosiologi, Ekonomi, Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris.
Tidak cukup di sekolah, Varyeza menambah waktu belajar di tempat bimbel dan les privat. Saat pulang sekolah pada Senin, Rabu, dan Jumat, ia mengikuti bimbel pukul 16.30-18.00.
(C05/DNE)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Februari 2016, di halaman 12 dengan judul “Pemahaman Konsep Terabaikan di Kelas”.