SEKOLAH sebagai media pembelajaran bagi siswa menjadi ruang efektif bagi persemaian ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekolah menjadi ruang “bebas” yang terkontrol untuk proses akomodasi produk teknologi kontemporer. Sekolah melalui skema kurikulum yang dibebankan untuk diajarkan, bisa
menjadikan produk kemajuan material teknologi sebagai materi wajib ilmu yang harus dikuasai siswa dan insan akademik lain.
Bagi kepentingan industri dan pemasaran produk teknologi, sekolah menjadi area bisnis yang menjanjikan laba progresif. Produk kemajuan teknologi bisa dipasarkan melalui lembaga pendidikan formal dan informal, termasuk sekolah. Secara terencana atau tidak diwajibkan, sekolah menjadi “lalu lintas” kepemilikan produk teknologi. Teknologi komunikasi semacam telepon seluler atau teknologi jaringan cyber melalui kepemilikan komputer jinjing (laptop/notebook) menjadi bagian kebutuhan siswa dan insan akademik untuk komunikasi lintas personal dan mengunduh materi termutakhir ilmu pengetahuan.
Dipaksakan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di berbagai sekolah yang melabeli diri sebagai sekolah unggulan, penguasaan teknologi komunikasi dan dunia maya beserta konsekuensi logisnya, yakni hak kepemilikan, telah menjadi lazim. Tidak ada anak usia sekolah sejak jenjang sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA) yang tidak mengenal, menggunakan, dan memiliki teknologi komunikasi atau komputer jinjing.
Sekolah merespons kemajuan produk teknologi dengan menyediakan fasilitas penunjang semacam hot spot area, jaringan komputer internet. Adaptasi dan akomodasi produk teknologi di sekolah selinier dengan peningkatan biaya pendidikan sebagai implikasi komersialisasi pendidikan. Fasilitas teknologi informasi dan komunikasi memang dipaksakan menjadi “penanda” kemajuan ilmu pengetahuan di lembaga pendidikan.
Upaya menjadikan sekolah pasar produk (komoditas) teknologi informasi dilakukan berbagai perusahaan IT dengan berbagai iming-iming menjanjikan. Dari rabat harga untuk pembelian kolektif, garansi mutu dan pemeliharaan, serta keaslian produk. Yang menyedihkan, di belakang hak konsesi perusahaan IT dan perusahaan pemasaran produk teknologi kontemporer ada kepentingan ekonomis (bisnis) antara pemangku kepentingan (kebijakan) birokrasi, shareholder pendidikan, dan penguasa birokasi sekolah. Mereka satu kesepahaman untuk memperoleh keuntungan dari pemasaran teknologi informasi melalui jalur sekolah.
Kepentingan Bisnis
Beberapa waktu lalu ada politisasi kepentingan bisnis di balik pemasaran produk teknologi komunikasi melalui jalur sekolah. Dengan membingkai nafsu pemasaran produk teknologi komunikasi berlabel “pembelajaran ilmu pengetahuan berbasis hp internet”, para siswa dimobilisasi menjadi komunitas pembeli dan pengguna. Hp yang secara kualitas bisa dibeli murah di pasaran, jadi mahal karena dipasarkan melalui birokrasi sekolah. Padahal, tanpa menggunakan hp, netbook, notebook, para siswa dan guru bisa mengunduh materi ilmu pengetahuan melalui situs di jejaring internet yang tersedia di berbagai fasilitas pelayanan publik.
Teknologi akhirnya jadi alat mencari rente birokrasi pendidikan. Teknologi untuk edukasi menjadi mahal demi kepentingan proyek pribadi, korporasi dan birokrasi. Itu jelas pengingkaran prinsip dasar teknologi edukasi. Teknologi bagi pendidikan seharusnya tidak mendatangkan biaya besar, namun bisa terakses semua siswa dan insan pendidikan.
Saat ini perlu reformulasi teknologi edukasi yang murah dan ramah. Teknologi edukasi yang memerantikan produk material teknologi informasi dan teknologi komunikasi sebagai alat pembelajaran yang bisa diakses semua siswa, anak didik, guru tanpa harus membeli (membayar) mahal, yang akhirnya menyedot pos belanja keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar. Teknologi edukasi yang murah dan ramah bisa diwujudkan bila ada goodwill dari pemangku kebijakan pendidikan dan pemegang otoritas anggaran pendidikan untuk mengalokasikan dana publik di sektor pendidikan guna menyediakan fasilitas teknologi informasi dan teknologi komunikasi bagi siswa dan insan pendidikan. Itu tak boleh dilandasi syahwat ekonomi dalam bingkai proyek.
Karena itu ada beberapa hal yang harus diimplementasikan. Pertama, upaya memfasilitasi teknologi edukasi di seluruh sekolah harus dikontrol oleh publik dan pemangku kepentingan di sekolah. Perencanaan kebutuhan harus benar-benar objektif sesuai dengaqn kebutuhan pengembangkan pendidikan.
Kedua, pengembangan teknologi edukasi di sekolah tak boleh didesakkan oleh kepentingan bisnis korporasi yang jauh dari nilai keadilan sosial yang selaras dengan filosofi pendidikan untuk semua. Pengarusutamaan kepentingan pengabdian ilmu dan kebutuhan siswa menjadi prioritas.
Ketiga, sekolah harus menjadi zona terlarang bagi praktik komodifikasi produk teknologi. Sekolah harus menjadi ruang untuk menjadikan produk teknologi berfungsi sosial, yang bisa diakses, digunakan, dikelola semua insan akademik sekolah. (51)
Ari Kristianawati, guru SMA Negeri 1 Sragen
Sumber: Suara Merdeka, 25 mei 2011