Sebagian warga meragukan cara kerja kalung aromaterapi yang diklaim dapat membunuh virus penyebab Covid-19. Mereka lebih menganggap kalung ini sebagai aksesori, bukan sebagai obat atau jamu.
KOMPAS/-Bentuk produk olahan minyak Eucalyptus yang dikembangkan Balitbangtan Kementerian Pertanian.
Sebagian warga meragukan kalung aromaterapi dapat membunuh virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Kalung berbahan eukaliptus itu belum meyakinkan untuk mencegah paparan Covid-19. Kalung ini menjadi sorotan warga setelah Kementerian Pertanian atau Kementan mengklaim keampuhannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementan Fadjry Djufry mengumumkan lewat video resmi pada Senin (6/7/2020) bahwa kalung itu berpotensi membunuh virus korona. ”Kalung ini bisa menekan perkembangan virus. Itu masih perlu dibuktikan, tetapi secara hasil beberapa literatur ilmiah kami dan riset in vitro atau kontak secara langsung dengan sel virus korona, dia bisa mematikan virus,” kata Fadjry.
Meski demikian, Teguh (28), warga Jakarta Barat, sulit percaya dengan khasiat kalung eukaliptus tersebut. Dia meragukan mekanisme antivirus bekerja dengan cara dihirup. ”Apa seampuh itukah? Kalau memang Indonesia menemukan obat semacam itu, apa tidak sebaiknya diterapkan kepada pasien yang parah dulu,” ujarnya.
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI—Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Fadjry Djufry memperagakan penggunakan kalung Eucalyptus dalam sebuah konferensi pers virtual yang digelar pada Senin (6/7/2020).
Mamat (47), warga Jakarta Timur, juga skeptis karena kalung eukaliptus malah terlihat seperti jimat. Dia justru mempertanyakan orang-orang yang mengidap pneumonia akut karena Covid-19 itu apa bisa disembuhkan dengan kalung tersebut.
”Saya sejauh ini lebih percaya obat-obatan. Seperti deksametason yang sempat ramai kemarin, saya masih percaya. Kalau sekarang ini, kok, malah jadi seperti jimat,” ungkap pekerja konfeksi di kawasan Tambora, Jakarta Barat.
Selain Mamat dan Teguh, ada juga Anam (28) yang skeptis. Dia menganggap kalung itu sebagai aksesori atau obat ringan seperti inhaler. ”Mungkin dia (kalung) bukan obat yang langsung bikin pasien sembuh begitu, ya, tapi lebih ke aroma penenang saja,” tutur Anam.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO—Pengemasan hasil pengolahan minyak Eucalyptus menjadi sediaan serbuk berteknologi nano dari laboratorium nanoteknologi Balai Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pertanian, Bogor, menjadi prototipe kalung aromaterapi bernama antivirus korona Eucalyptus, Senin (6/7/2020).
Terkait itu, akademisi dan praktisi klinis dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, tidak setuju apabila kalung eukaliptus itu disebut sebagai kalung antivirus. Sebab, sejauh ini riset tersebut baru di tahap in vitro atau di tingkat sel. Belum ada pernyataan dari Balitbang Kementerian Pertanian yang mengujikan langsung kalung ini ke virus SARS-CoV-2.
”Saat ini harapan masyarakat dan pemerintah mungkin begitu besar terhadap penanganan virus Covid-19 sehingga penelitian baru di tingkat sel saja langsung diklaim sebagai antivirus. Bagaimana dengan produk eukaliptus hirup model lainnya yang sebagian sudah disetujui BPOM? Saya pikir itu tetap bukan sebagai antivirus korona,” ujar Ari lewat pesan tertulis.
Masih butuh uji lanjutan
Kepala Balitbangtan Fadjry Djufry mengakui, kalung aroma eukaliptus ini masih membutuhkan sejumlah tahapan uji klinis dengan virus SARS-CoV-2. Menurut dia, tidak apa-apa juga kalau nantinya kalung ini tidak terbukti berkhasiat sebagai antivirus korona. Kalung eukaliptus ini tetap bermanfaat secara kesehatan.
”Kalaupun (kalung) ini tidak ada khasiat antivirus corona, ya enggak apa-apa. Kan, paling tidak, obat ini melegakan pernapasan, mengurangi sesak napas. Tapi secara ilmiah, kami sudah uji laboratorium untuk in vitro tadi,” kata Djufry.
Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia Berry Juliandi menyarankan, produk tersebut sebaiknya tetap dikomunikasikan melalui tahapan yang benar. Misalnya, khasiat kalung eukaliptus dipublikasikan di jurnal ilmiah hingga melalui tahapan uji klinis, bukan melalui klaim langsung di media massa.
”Kami mengapresiasi dan menyambut baik semua penelitian dan inovasi, termasuk hadirnya obat-obatan untuk mengatasi Covid-19 ini. Namun, semua harus dilakukan sesuai prosedur ilmiah agar tidak menjadi kontradiktif,” ujar Berry, Minggu (5/7/2020) kemarin.
Untuk dapat mengakses konten ini, silakan berlangganan paketKompas Digital Premiumatauloginjika sudah berlangganan. Bagi pengguna baru,daftardan dapatkan akses bebas ke semua berita bebas akses.
Oleh ADITYA DIVERANTA
Editor ANDY RIZA HIDAYAT
Sumber: Kompas, 6 Juli 2020