Banteng jawa (Bos javanicus javanicus) seperti dipaksa menghitung hari. Terdesak dan terancam mati di Pulau Jawa, rumah dan habitatnya sendiri. Padahal, mempertahankan keberadaan banteng-banteng jawa tetap lestari berpotensi memandirikan manusia Indonesia.
Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Bekol Balai Taman Nasional Baluran Supriyanto semringah. Ia memperlihatkan enam penghuni kandang semialami 0,8 hektar di dalam kawasan TN Baluran, Jawa Timur.
Nina dan Gerhana, dua anak banteng jawa, enggan lepas dari ibunya, Tina. Doni, ayah Nina dan Gerhana, pun terlihat di antara mereka. Tubuh besar Doni berkulit hitam, berpantat putih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di kandang lain, ada Tekad, anak banteng hasil perkawinan Doni dan Usi, betina lain. Tekad tidak pernah jauh dari pengawasan ibunya.
Doni, Tina, dan Usi adalah tiga banteng dewasa yang didatangkan dari Taman Safari II Prigen, Pasuruan. Adapun Nina, Gerhana, dan Tekad merupakan generasi pertama yang lahir di kandang semialami itu.
”Mereka akan dilepasliarkan untuk bergabung bersama 26 banteng jawa lain di TN Baluran seluas 25.000 hektar ini. Idealnya, dalam satu kawanan terdiri dari 4 individu dewasa, 1 jantan, dan 3 betina,” kata Supriyanto pada diskusi Forum Konservasi Satwa Liar Indonesia di Taman Safari II Prigen, Jawa Timur, pekan pertama Februari lalu.
Kegembiraan Supriyanto tak berhenti di sana. Kandang semialami itu sukses mengundang rasa ingin tahu kawanan banteng jawa penghuni asli Baluran.
Setidaknya, ada satu kawanan terdiri atas seekor jantan, dua betina, dan dua anaknya mendekat. Sebelumnya, dua ekor banteng jantan dewasa juga datang ke tempat yang sama. Banteng-banteng jawa setempat itu jarang sekali terlihat.
Buah kegembiraan Supriyanto tersebut merupakan hasil positif yang didapat dari program pembiakan semialami kerja sama TN Baluran bersama Taman Safari II Prigen sejak tahun 2012. Tujuan pembuatan kandang guna mendukung populasi banteng jawa di Baluran—hingga menambah stok indukan bagi pengembangbiakan banteng jawa di tempat lain—sejauh ini menemukan hasil baik.
Satu dari tiga keluarga besar banteng jawa di dunia itu bagai berada di ujung maut. Bersama Bos javanicus lowi yang hidup di Kalimantan dan Bos javanicus birmanicus, jumlah mereka diperkirakan 5.000–8.000 ekor.
Terancam punah
Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam (IUCN), lembaga konservasi satwa internasional, menetapkan banteng jawa dalam status terancam punah. Populasinya semakin menurun dari tahun ke tahun.
Dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng Jawa 2010-2020 disebutkan, terdapat 150-200 banteng jawa di TN Baluran pada tahun 1970. Sekitar 30 tahun kemudian, menyusut menjadi 70-100 ekor. Pada tahun 2012, hanya tersisa 26 ekor.
Meski tidak signifikan, populasi banteng jawa di Baluran lebih baik daripada di Jawa Barat. Di Cagar Alam Leuweung Sancang, Kabupaten Garut, tercatat 200 banteng jawa pada tahun 1988. Banteng sancang dinyatakan punah tahun 2013.
Kondisi tak jauh beda juga terjadi di Cagar Alam Pananjung Pangandaran. Tahun 1974, populasi banteng jawa 130 ekor. Namun, memasuki 2013, tersisa seekor banteng jawa jantan tua.
”Kehadiran darah segar punya pengaruh baik ketika populasi banteng jawa di Baluran dan kawasan lain kian sedikit. Selain alih fungsi lahan, kemunculan tanaman invasif hingga serangan pemangsa, perkawinan sedarah yang dipicu minimnya keragaman genetik, rentan mengundang kepunahan datang lebih cepat,” tutur Supriyanto.
Direktur Utama Taman Safari Indonesia Tony Sumampau mengatakan, menjaga keragaman genetik dan populasi bukan hanya penting bagi banteng banteng jawa. Punya pertalian darah erat dengan sapi bali, banteng jawa bisa menjadi tumpuan dan harapan memecahkan masalah keterbatasan kebutuhan daging di negeri ini.
Masa depan pangan
Harapan itu dimulai sejak kehadiran Silir, banteng jantan dewasa di TSI II Prigen. Hampir mati di tangan manusia saat mengamuk di Desa Kesilir, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Silir merintis jalan mengembalikan keunggulan genetika sapi Bali lewat program perkawinan dengan sapi betina unggulan.
Hasilnya, Silir kini punya 11 keturunan di Taman Safari II Prigen. Khalayak mengenalnya dengan nama sapi jawa bali banteng (sapi jaliteng). Untuk mendapat keturunan lebih baik, setelah cukup umur, anak-anak Silir akan dikawinkan lagi dengan banteng jawa lain.
Kurator sekaligus dokter hewan di Taman Safari II Prigen, Ivan Chandra, mengatakan, perkawinan itu tak akan merusak genetika banteng jawa. Sejatinya, sapi bali adalah banteng jawa yang melewati proses domestifikasi.
”Apabila sudah dinyatakan siap berdasarkan kajian Balai Besar Inseminasi Buatan di Singosari, Malang, cucu Silir bisa diserahkan kepada peternak menjadi bibit sapi bali unggulan,” katanya.
Ivan mengatakan, cucu Silir bisa menjadi kekuatan baru bagi genetika sapi bali yang mulai tergerus keunggulannya. Setelah banyak menjalani perkawinan yang kerap tak diketahui asal-usul induknya, banyak sapi bali berbobot kecil sehingga rentan sakit. Kondisi yang jelas tak menguntungkan bagi pemenuhan daging nasional.
Berada dalam satu garis keturunan, bobot sapi bali sangat tak sebanding dibandingkan dengan banteng jawa. Bobot seekor sapi bali dewasa biasanya sekitar 350 kilogram, jauh lebih kecil ketimbang bobot banteng jawa dewasa yang 800 kilogram.
Pada akhirnya, sikap pemerintah adalah kunci. Mendukung penuh pelestarian satwa langka yang berpotensi memandirikan dan meningkatkan produktivitas daging nasional atau cuek terus bergantung pada produksi daging dari negeri seberang.
Oleh: Cornelius Helmi
Sumber: Kompas, 16 Februari 2015
Posted from WordPress for Android