Penelitian terbaru menunjukkan hingga 31 persen ”sampah plastik” yang diimpor dari Eropa tidak masuk ke industri daur ulang. Plastik-plastik itu akhirnya menjadi sampah yang membebani lingkungan, termasuk laut.
Negara-negara Eropa saat ini telah menjadi percontohan bagi pengembangan limbah. Namun, sebagian sampah plastik dari Eropa yang diekspor ke berbagai negara Asia Tenggara—termasuk ke Indonesia dengan label impor limbah nonbahan beracun dan berbahaya—untuk didaur ulang ternyata berakhir di lautan.
Temuan ini dipublikasikan para peneliti dari Nation University of Ireland Galway dan Universitas Limerick di jurnal Environment International pada 30 Juni 2020. Kajian menghitung volume plastik dari negara-negara Eropa, meliputi Uni Eropa, Inggris, Swiss, dan Norwegia yang diekspor pada tahun 2017.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hasilnya ditemukan 32.115-180.558 ton atau 1-7 persen dari semua polietilen Eropa yang diekspor berakhir di lautan. Polietilen adalah salah satu jenis plastik yang paling umum di Eropa, dan hasilnya menunjukkan bahwa negara-negara seperti Inggris, Slovenia, dan Italia mengekspor sebagian besar limbah plastik mereka ke luar Eropa, dan sebagian besar kemudian menjadi sampah yang mencemari lautan.
”Kajian ini menunjukkan jalur penting pembuangan sampah plastik ke lautan yang sebelumnya belum terdokumentasikan. Ini akan memiliki dampak lingkungan dan sosial yang cukup besar pada ekosistem laut dan masyarakat pesisir,” kata George Bishop, penulis utama studi ini.
Dengan menggunakan data perdagangan internasional terperinci dan data tentang pengelolaan limbah di negara-negara tujuan, studi ini memodelkan semua polietilen yang diekspor dari Eropa untuk didaur ulang. Mereka merinci jumlah ”sampah plastik” impor tersebut yang berhasil didaur ulang menjadi resin, atau berakhir di tempat pembuangan sampah, pembakaran, hingga menjadi sampah lautan.
David Styles, anggota tim yang juga dosen di Universitas Limerick, menjelaskan, ”Penelitian kami menemukan hingga 31 persen dari plastik yang diekspor tidak benar-benar didaur ulang.”
Piet Lens, profesor lingkungan dari Universitas Nasional Irlandia, Galway, mengatakan, ”Agar ekonomi sirkular berhasil, kota-kota di Eropa dan perusahaan pengelolaan limbah harus dimintai pertanggungjawaban atas nasib akhir limbah ’daur ulang’. Studi kami menyoroti kurangnya audit yang diperluas dari perdagangan limbah plastik.”
Sementara negara-negara Eropa telah mengembangkan infrastruktur pengelolaan limbah terkemuka di dunia, 46 persen limbah plastik mereka diekspor ke luar negeri. Sebagian besar plastik ini diangkut ribuan kilometer ke negara-negara dengan praktik pengelolaan limbah yang buruk, sebagian besar berlokasi di Asia Tenggara.
Sebagai tambahan informasi—di luar penelitian ini—Indonesia pun menjadi tujuan ekspor ”sampah plastik” dari Eropa dan Amerika Serikat dengan label perdagangan ”impor limbah nonbahan berbahaya dan beracun”. Perkembangan terbaru, Pemerintah Indonesia kini hanya memberi toleransi pengotor atau impuritas pada impor material bahan baku industri tersebut sebesar maksimal 2 persen, termasuk impor ”sampah” plastik.
Mengacu pada penelitian Jenna Jambeck dan tim (Georgia University, 2015), Indonesia berada di peringkat kedua dunia penghasil sampah plastik ke laut yang mencapai sebesar 187,2 juta ton setelah Cina yang mencapai 262,9 juta ton. Berada di urutan ketiga adalah Filipina yang menghasilkan sampah plastik ke laut mencapai 83,4 juta ton, diikuti Vietnam yang mencapai 55,9 juta ton, dan Sri Lanka yang mencapai 14,6 juta ton per tahun.
Berdasarkan perhitungan Jambcek dan perkiraan dari penelitian terbaru Bishop dan tim ini, sampah plastik dari daur ulang limbah Eropa menyumbang 0,3-3,8 persen dari total puing yang masuk ke laut di kawasan perairan Asia Tenggara.
Sumber: Kompas, 2 Juli 2020