Keberadaan sampah plastik di laut bisa berpengaruh pada keseimbangan karbon yang terjadi secara alami biologi di laut. Bila sampah plastik yang akhirnya terfragmen menjadi mikroplastik ini tak ditanggulangi, fungsi laut sebagi penyimpan karbon secara biologi tersebut bisa berhenti.
Pakar Oseanografi Institut Pertanian Bogor, Alan F Koropitan, Rabu (20/3/2019) di Jakarta, menyebutkan penelitian menunjukkan pompa karbon biologi (biological carbon pump) sekitar 5-15 giga ton karbon per tahun yang diekspor dari permukaan ke lapisan dalam laut. Ini berasal dari plankton maupun detritus yang mati dan tenggelam di dasar laut.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Sebuah sampah plastik berupa kantong plastik transparan melayang-layang di kolom air di Perairan Pulau Tomia, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Minggu (27/1/2019). Sampah plastik ini rentan dimakan langsung oleh penyu maupun paus yang mengiranya sebagai ubur-ubur. Sampah plastik juga rentan terfragmentasi menjadi bagian kecil-kecil (mikroplastik) sehingga bisa dimakan/termakan ikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sumber lain yaitu dari kegiatan ikan yang bermigrasi vertikal baik harian maupun musiman di lapisan kedalaman tertentu. Ini menghasilkan material organik dari aktivitas pencernaan maupun pernafasan.
Mengutip riset dari Scripss Institution of Oceanography at University of California San Diego, Alan menyebut laju konsumsi (ingestion rate) sampah plastik oleh ikan mesopelagic di perairan gyre (pusaran laut) Pasifik 12.000 – 24.000 ton per tahun. Kondisi ini dapat terjadi di perairan pusaran laut lain.
Ia pun menyebutkan ikan lantera atau myctophids merupakan ikan yang paling banyak ditemui di semua samudera. Ikan jenis ini melakukan migrasi vertikal harian besar-besaran di lapisan kedalaman 50 – 1.000 meter.
“Stok ikan kita kalau pertimbangkan ikan ini (lantera) akan naik 10 kali lipat. Ikan ini ada di seluruh samudera jadi signifikan sekali keberadaannya,” ungkapnya seusai diskusi Pojok Perubahan Iklim bertema “Dampak Sampah Plastik pada Perubahan Iklim” di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta.
Berada di bawah kedalaman 1.000 meter di bawah permukaan laut, ikan ini hidup pada densitas tinggi. Di kedalaman ini, ketika bangkai individu ikan maupun bahan organik yang dihasilkan tubuhnya akan terus tersimpan di dasar laut karena berada di bawah termoklin.
Kalau ikan sepanjang sekitar 7 centimeter itu memakan mikroplastik (plastik berukuran kurang dari 0,5 centimeter), potensi karbon (berbentuk pakan) di saluran pencernaan jadi lebih sedikit. Namun ikan itu dikhawatirkan tidak bisa turun ke kedalaman.
Padahal di kedalaman itu, ketika ikan mati, organik karbon akan tersimpan di dasar laut dalam waktu lama. Selain ikan, riset lain yang dilakukan peneliti Inggris James Clark dan kawan-kawan (2016) menunjukkan zooplankton jenis copepod atau krustasea kecil berukuran 1-2 milimeter ditemukan nanoplastik dalam saluran pencernaannya (Kompas, 2 April 2017)
Ia mengakui secara kuantitas potensi dan dampak sampah plastik pada ikan ini belum bisa terukur. “Secara kualitatif hubungannya logikanya sangat sederhana,” kata dia.
Pemantauan sampah
Direktur Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pesisir KLHK Dida Migfar Ridha menyebutkan pemantauan sampah laut di 29 kabupaten/kota pesisir di Indonesia menunjukkaan komposisi sampah plastik berukuran meso (0,5-2,5 centimeter) didominasi kayu (35,06 persen) dan plastik (24,96 persen). Sedangkan komposisi sampah yang berukuran makro (lebih dari 2,5 meter) didominasi plastik (31,44 persen) dan kayu (29,75 persen).
Rerata timbulan sampah tahun 2017 sebesar 106,38 gram per meter kubik. Total sampah laut Indonesia diestimasi sebesar 1,2 juta ton yang 0,49 juta ton diantaranya berupa sampah plastik.
Sementara Direktur Eksekutif Divers Clean Action Swietenia Puspa Lestari menambahkan, dalam pendataan selama tiga tahun pada sampah di laut yang dilakukan organisainya, ditemukan 63 persen sampah sekali pakai (kantong keresek, sedotan, dan kemasan), 13 persen berupa botol kaca, 11 persen karet, enam persen tekstil, 4 persen sampah elektronik, 2 persen alat tangkap perikanan, dan 1 persen besi.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 21 Maret 2019