Sistem Pengumpulan Sampah Perlu Dibenahi
Timbunan sampah kian menjadi beban lingkungan bagi Indonesia. Berbagai sampah berbahaya, mulai sampah elektronik sampai sampah plastik susah terurai, menjejali daratan dan lautan. Tanpa perbaikan penanganan dan perubahan perilaku, hal itu mengancam kehidupan manusia.
“Sampah merupakan masalah serius sekali. Karena manusia satu-satunya makhluk hidup penghasil sampah, kita harus bertanggung jawab merawat Bumi,” kata Sarwono Kusumaatmadja, Jumat (21/4), Menteri Lingkungan Hidup 1993-1998 dan Menteri Kelautan dan Perikanan 1999-2001, di Jakarta. Hal itu dikatakan di tengah peringatan Hari Bumi setiap 22 April. Tumpukan sampah makin membebani lingkungan di Indonesia.
Di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memprediksi volume sampah berbagai jenis, baik dari rumah tangga maupun kawasan mencapai 67,1 juta ton pada 2019. Dari jumlah itu, 70 persen dibuang begitu saja di tempat pembuangan akhir dan hanya 7 persen dikelola atau didaur ulang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Masih masifnya pemberian beban kepada TPA mengakibatkan tragedi di Indonesia. Pada 21 Februari 2005, lebih dari 200 jiwa melayang karena terkubur tumpukan sampah di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat. Sejak saat itu, setiap 21 Februari diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.
Sarwono mengatakan, sampah, terutama nonorganik, bersifat lama terurai dan berpotensi mengandung racun berbahaya. Namun, penanganan sampah baru bisa dilakukan apabila dikerjakan menyeluruh dari hulu ke hilir.
Produsen bakal sampah seperti kemasan dan kantong plastik mempersiapkan rantai pengelolaan yang bisa memanfaatkan kembali sampah itu. “Jadi, ada semacam ekonomi sirkular yang berjalan,” ujarnya.
Hal itu juga menyangkut sampah atau limbah elektronik amat berbahaya saat lepas di lingkungan. Sampah itu bisa diolah kembali untuk mendapat kandungan logam emas, perak, dan platinum pada komponen elektronik. Langkah itu bisa menekan eksploitasi pertambangan mineral.
Dengan menimbulkan mekanisme ekonomi itu, masyarakat dan dunia usaha, dengan sendirinya “menghargai” sampah sebagai sumber daya yang bermanfaat. “Jadi, penelusuran kebijakan dari hulu ke hilir harus tuntas serta memengaruhi perilaku. Itu tak mudah. Perlu ada insentif dan disinsentif dalam penanganan sampah,” ujarnya.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Daur Ulang Plastik Indonesia Saut Marpaung mengatakan, sampah umumnya dapat didaur ulang. Namun, sebagian sampah tetap terlepas di alam karena perilaku pemilahan sampah tidak berjalan.
Tanpa dipilah
Praktik pengelolaan sampah umumnya masih berupa angkut dan buang tanpa dipilah serta ditumpuk di tempat pembuangan akhir. Itu tidak sejalan dengan konsep awal bahwa TPA hanya menjadi tempat akhir sampah residu yang tidak bisa diolah.
Sampah yang bisa didaur ulang seperti plastik berbiaya tinggi jika dalam kondisi kotor. Contohnya, sampah plastik yang bercampur dengan kotoran makanan membutuhkan waktu dan biaya untuk membersihkannya sebelum masuk proses daur ulang. “Sebagai pengusaha, kami memilih sampah yang masih bagus. Kami tak mau rugi kalau mengolah yang kotor,” ucapnya.
Masalah lain adalah ada jenis sampah plastik yang tidak bisa didaur ulang. Misalnya, kemasan minuman/makanan/kosmetika umumnya terdiri atas tiga lapisan jenis plastik (multilayer), seperti PEP, PV, dan plastik metal yang tidak saling bersenyawa.
Meski kemasan seperti itu bagus menjaga kondisi makanan/kosmetika, itu tak memungkinkan didaur ulang. Demikian pula plastik jenis oxodegradable yang hanya berusia dua tahun serta mengandung kalsium sebagai tambahan katalis pemercepat fragmentasi serta jenis sampah plastik sulit dan tidak ekonomis didaur ulang.
Terkait hal itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK Tuti Hendrawati Mintarsih mengatakan, pihaknya menyusun pedoman bagi bupati atau wali kota terkait pengumpulan sampah. “Nanti diatur jadwal dan sarana pengangkutnya di lokasi tertentu sampahnya diambil,” ujarnya.
Pedoman itu juga jadi acuan pemerintah daerah dalam mengarahkan setiap rumah tangga untuk memilah jenis sampah. Sampah plastik dan kertas dari rumah tangga bisa diangkut tiap sepekan atau dua pekan sekali, sedangkan sampah rumah tangga diangkut setiap hari. (ICH)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 April 2017, di halaman 14 dengan judul “Sampah Kian Membebani”.