Masyarakat Cenderung Berbagi Informasi Berlebihan
Maraknya penggunaan internet dan media sosial menjadikan Indonesia sebagai negara dengan potensi mahadata luar biasa. Namun, sikap masyarakat yang belum bijak dalam mengunggah informasi membuat banyak informasi “sampah” bertebaran di internet.
“Dari segi kesiapan masyarakat menggunakan teknologi, Indonesia sudah memasuki tahap siap. Apalagi, sekarang pemerintah akan membuka kuota internet broadband (pita lebar) hingga ke wilayah perbatasan,” tutur Direktur Sistem dan Teknologi Informasi Universitas Indonesia (UI) Betty Purwandari, di sela- sela diskusi Web Science and Big Data Analytics Conference on Information Transparency and Digital Democracy di Jakarta, Selasa (25/8).
Mahadata adalah semua data yang ada di dunia maya yang tidak bisa ditangani dengan cara ataupun sistem teknologi komputer konvensional. Jika mahadata itu dipilah, digolongkan, dan dianalisis, akan muncul data relevan bagi pembangunan segala aspek kehidupan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia tahun 2014, ada 88 juta pengguna internet. Itu berarti 34,9 persen masyarakat Indonesia memiliki koneksi daring.
Berlebihan
“Masalah dengan masyarakat Indonesia adalah kegemaran mengunggah semua informasi ke internet, mulai dari hal pribadi hingga ke komentar yang tidak relevan,” kata Betty. Contohnya, jika ada suatu isu yang tren, komentar daring umumnya berupa candaan. Akibatnya, konten mahadata tidak berbobot sehingga sulit menelaah pola dan menghasilkan analisis.
Direktur Eksekutif Institut Sains Web Universitas Southampton, Inggris, Wendy Hall menjabarkan, diperlukan keseimbangan dalam membagi dan menyimpan data. “Terlalu bebas berbagi membuat data tidak bermutu. Terlalu banyak batasan akan mematikan fungsi data itu sendiri,” katanya.
Data seperti keterangan pribadi hendaknya tidak bebas dibagi di internet, begitu juga data perusahaan ataupun pemerintahan yang sensitif. Namun, data terkait kepentingan publik hendaknya dikelola transparan. Pengelolaan itu yang mencerminkan kejujuran, kemauan pemerintah mendengar masukan publik, dan kemampuan menindaklanjuti permasalahan.
Dekan Fakultas Ilmu Komputer UI Mirna Adriani menjelaskan, apabila semua rakyat Indonesia memiliki akses, mereka yang tinggal di daerah terpencil juga bisa memberi informasi langsung kepada publik. Itu penting untuk menjaga keberlangsungan demokrasi digital.
Oleh sebab itu, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, serta publik harus proaktif untuk belajar etika berteknologi. Jangan sekadar mengandalkan sikap manusia yang lambat laun berkembang dalam beradaptasi dengan teknologi.
“Kalau etika berteknologi digital sudah dipahami masyarakat sebelum mereka menyentuh gawai, otomatis kualitas informasi yang mereka bagi lebih baik,” katanya. (DNE)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Agustus 2015, di halaman 11 dengan judul “”Sampah” di Dunia Maya”.