Saat Siklon Tropis Menguat

- Editor

Rabu, 12 Oktober 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kemunculan siklon tropis Matthew dan Chaba hanya berselang dua hari. Matthew terbentuk 28 September 2016 di Laut Karibia lalu tumbuh di Kawasan Samudra Atlantik. Bergerak ke barat daya dengan kecepatan 200 km per jam menerjang Haiti, Rabu (5/10). Hari yang sama, Chaba dengan kecepatan 180 km per jam menyapu pantai Busan, Korea Selatan.

Matthew dikabarkan menewaskan sekitar 400 orang di Haiti (versi pemerintah). Namun, media ada yang menyebutkan 900-an orang meninggal. Di Amerika Serikat, sekitar 20 orang dilaporkan tewas.

Chaba muncul di Samudra Pasifik, timur Filipina, 30 September 2016. Pembentukan dan dua pertiga jalur pergerakannya terendus citra satelit meteorologi Himawari yang diterima Tropical Cyclone Warning Center di Jakarta. Chaba muncul 1.600 kilometer (km) dari utara Pulau Biak, Papua, bergerak ke barat hingga barat laut. Chaba dilaporkan meluruh di perairan Jepang, Jumat (7/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Berbeda dengan Chaba, Matthew hingga Minggu (9/10) masih bertahan. Posisinya 200 km dari pantai Virginia, AS, dengan kecepatan 117 km per jam. Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS-NOAA-memperkirakan, Matthew meluruh Rabu ini.

Pembentukan badai di dua kawasan itu pada September-Oktober adalah normal. Tahun ini, Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Konferensi Perubahan Iklim (UNFCCC) memprediksi, pembentukan badai di Laut Karibia di kawasan Samudra Atlantik meningkat. “Frekuensi dan intensitasnya,” kata Edvin Aldrian, pakar meteorologi pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang juga Wakil Ketua IPCC. Di Pasifik, peningkatan hanya terjadi pada intensitas atau kekuatannya.

Penelitian Edvin menunjukkan, “Meningkatnya pembentukan badai dan intensitasnya dipicu pemanasan global”. Pemanasan suhu di permukaan bumi itu menyebabkan suhu laut menghangat. Kondisi itu menambah energi bagi pembentukan dan penguatan badai. Suhu muka laut hangat jadi bahan bakar pertumbuhan badai.

“Pembentukan badai diawali munculnya pusat tekanan rendah,” kata Rifda Novitarani, prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Pusat tekanan rendah ditunjukkan kumpulan awan melebar dengan bentuk tak beraturan. Bila telah muncul bentuk pusaran, terjadilah depresi tropis yang kecepatannya masih di bawah 60 knot atau 108 km per jam. Di atas itu, masuk kategori siklon tropis.

Data historis sejak 1977, siklon tropis di utara wilayah Indonesia mulai muncul Juli. Puncaknya Agustus, sebanyak lima siklon. “Tahun ini, Agustus hanya terbentuk dua,” jelas Rifda.

Pada September muncul lima siklon, yaitu Meranti, Rai, Malakas, Megi, dan Chaba. Selanjutnya, Oktober-Desember terbentuk 2-4 badai. Badai yang muncul di utara itu, dalam pergerakannya, berisiko menerjang kepulauan di Filipina, Korea Selatan, dan Jepang.

Daerah potensial tumbuh badai di sekitar wilayah Indonesia adalah Laut Tiongkok Selatan. Namun, itu jarang terjadi.

Pengaruh badai
Badai terbentuk karena perbedaan tekanan udara yang menimbulkan pusaran angin dan suhu muka laut hangat. Pergerakannya mengikuti pola tekanan rendah dan sirkulasi udara.

Oleh karena efek koriolis bumi, badai akan berbelok atau menjauhi katulistiwa. Badai dari Filipina akan berbelok ke barat laut lalu ke utara mendekati Jepang hingga menghilang. Namun, karena intensitas putarannya tinggi, badai dapat melenceng dari pola jalurnya hingga menerjang wilayah daratan.

Selain Korsel, daerah lain di Asia yang diterjang siklon tropis belum lama ini adalah Taiwan dan Tiongkok. Kasus masuknya badai ke daratan pernah terjadi di AS beberapa tahun lalu. Ketika itu Katrina-siklon kategori 5 yang tergolong ekstrem-menerjang daratan AS. Kondisi ekstrem dipengaruhi daratan.

Saat badai meningkat intensitas atau kecepatannya, massa udara yang tertarik dalam pusaran pun membesar. Faktor itu dapat berefek negatif bagi Indonesia yang ada di katulistiwa. Saat badai di utara, wilayah Indonesia yang relatif dekat jalur badai akan berkurang curah hujannya. “Seperti di utara Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua,” urai Kukuh Ribudianto, Kepala Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca BMKG.

Meski demikian, fenomena itu tak terlalu berdampak bagi Indonesia. Saat ini, wilayah selatan Indonesia relatif banyak hujan karena muncul fenomena Dipole Mode negatif di perairan barat Sumatera yang memberi banyak pasokan massa udara atau awan hujan.

Selain itu, tingginya curah hujan di Indonesia, kata Kukuh, juga disebabkan menghangatnya suhu muka laut di wilayah Indonesia. Bahkan, di beberapa wilayah, penghangatan suhu laut hingga di atas tiga derajat dibanding normalnya. Anomali suhu muka laut itu terpantau di Laut Karimata, Laut Jawa, Samudra Hindia sebelah selatan Pulau Jawa, hingga NTB.

Menghangatnya laut di wilayah itu diduga karena Arlindo (Arus Lintas Indonesia), yakni alur arus laut dari Pasifik masuk wilayah perairan timur Indonesia, kemudian ke tengah hingga sampai di Samudra Hindia.

Penghangatan suhu laut di Arlindo terjadi di bagian bawah laut. Adapun penghangatan suhu laut akibat La Nina terjadi di permukaan dan di tengah laut. Massa air hangat di permukaan laut itu dari kolam hangat di Samudra Pasifik dekat Papua.

“La Nina saat ini baru mulai muncul. Kondisinya masih lemah, ditunjukkan kenaikan suhu yang masih di bawah satu derajat celsius,” ujar Kukuh. Akhir hingga awal 2017, La Nina diperkirakan melemah hingga mengarah normal.

Menurut Kukuh, La Nina tak terlalu dominan pengaruhnya bagi Indonesia. Yang dominan justru suhu muka laut yang hangat. “Hampir sepanjang tahun suhu laut di Indonesia hangat,” lanjutnya. Penghangatan dominan di barat, tengah, dan selatan katulistiwa Indonesia.

Kenaikan suhu laut itu dapat memengaruhi pembentukan badai di selatan Indonesia saat musim hujan. Musim hujan tahun lalu, di selatan Indonesia, hampir tidak ada. Hanya dua kali di selatan Papua Niugini dan Teluk Karpentaria, tetapi juga berlangsung singkat. Itu disebabkan suhu perairan Indonesia sendiri menghangat sehingga tidak dapat memicu tekanan rendah di selatan.–YUNI IKAWATI
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Oktober 2016, di halaman 14 dengan judul “Saat Siklon Tropis Menguat”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB