Sejumlah hal yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dinilai terlalu mengomersialisasikan perguruan tinggi.
Sejumlah hal yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dinilai terlalu mengomersialisasikan perguruan tinggi. Padahal, tujuan pendidikan tinggi tidak semata-mata untuk menghasilkan tenaga kerja, tetapi juga menjaga kedaulatan rakyat termasuk pilar kebebasan akademik.
Berdasarkan kajian dari Dewan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (DGB-IPB), RUU Cipta Kerja akan mengubah dan menghapus sejumlah pasal dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Hariadi Kartodihardjo menyampaikan, salah satu permasalahan utama dalam RUU Cipta Kerja yaitu terkait status organisasi perguruan tinggi. Dalam RUU Cipta Kerja disebutkan badan hukum pendidikan dapat berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
Aturan tersebut merupakan Pasal 53 UU Nomor 20 Tahun 2003 yang telah diubah. Pada Pasal 53 disebutkan dengan jelas bahwa badan hukum pendidikan berprinsip nirlaba. Sedangkan pada RUU Cipta Kerja disisipi kata “dapat”. Ini membuat prinsip nirlaba dalam perguruan tinggi tidak menjadi sebuah kewajiban.
“Kami berpendapat bahwa seluruh pendidikan tinggi negeri seharusnya berprinsip nirlaba. Sebab, masyarakat masih memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan tinggi sehingga tidak bisa semena-mena menjadi komersial,” ujar Hariadi saat konferensi pers secara daring, Senin (29/6/2020).
Perubahan Pasal 65 juga menyebabkan lembaga pendidikan asing tidak lagi punya kewajiban bekerjasama dengan lembaga pendidikan Indonesia. Dalam pasal itu juga menghapus aturan akreditasi sebagai syarat lembaga pendidikan asing yang beroperasi di Indonesia.
“Dikhawatirkan dengan fokus seperti ini seolah-olah perguruan tinggi menjadi pabrik kaitannya dengan pengembangan ekonomi. Padahal persoalan ketidakadilan maupun kemanusiaan sangat penting untuk dilihat dan dikritisi oleh pendidikan tinggi,” katanya.
Selain itu, sumber norma kebudayaan bangsa sebagai dasar pelaksanaan pendidikan dalam Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 12 Tahun 2012 juga dihapus dalam RUU Cipta Kerja. Penghapusan pasal tersebut dan perubahan Pasal 63 membuat penyelenggaraan pendidikan lebih mengikuti mekanisme pasar.
Hilangnya norma kebudayaan ini tidak sesuai dengan Pasal 28C ayat 1 dan Pasal 31 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 tentang hak mendapatkan pendidikan dan kebudayaan. Hal ini membuat kebudayaan bangsa bukan merupakan penghambat peningkatan daya saing global dan adaptasi dengan pendidikan tinggi luar negeri.
RUU Cipta Kerja Terlalu Mengomersialisasikan Pendidikan Tinggi
“Persoalan kebudayaan bangsa tidak bisa semata-mata dihilangkan. Karena negara lain seperti Jepang dan Malaysia tetap mempertahankan kebudayaan bangsa mereka untuk menyeimbangkan pendidikan tinggi,” katanya.
Hariadi menegaskan bahwa kajian yang dilakukan ini tidak bertujuan untuk menyalahkan persoalan swasta. Dalam hal riset dan penelitian, pihak swasta sangat diperbolehkan turut bekerjasama dengan perguruan tinggi negeri sekalipun. Namun, kaidah pendidikan dalam UUD serta norma yang etis bagi masyarakat harus tetap dipegang.
“Harapannya kaidah pendidikan ini tetap ada dalam standar nasional pendidikan tinggi. Tetapi dalam RUU Cipta Kerja hal ini justru dihapus. Inilah yang menjadi fokus kami,” ujarnya.
Kekhawatiran pemerintah
Ketua Asosiasi Profesor Indonesia (API) Ari Purbayanto memandang bahwa pengubahan dan penghapusan sejumlah aturan terkait pendidikan tinggi ini disebabkan karena pemerintah khawatir perguruan tinggi asing enggan berinvestasi di Indonesia.
Dari kekhawatiran tersebut, dibuatlah aturan untuk memudahkan investasi di sektor perguruan tinggi dengan meniadakan akreditasi yang tertuang dalam RUU Cipta Kerja. Padahal, pada praktiknya di negara lain sejumlah perguruan tinggi asing tetap banyak yang masuk meski di negara tersebut menerapkan aturan yang ketat.
“Contohnya di Malaysia perguruan tinggi tetap mengikuti akreditasi dan dilokalisir di kota-kota besar. Hasilnya banyak perguruan tinggi di Malaysia yang berkembang dan banyak peminatnya,” ungkapnya.
Ari menambahkan, dokumen hasil kajian terhadap RUU Cipta Kerja di bidang pendidikan tinggi ini sudah disampaikan langsung ke pemerintah dan DPR pada Jumat (26/6) lalu. Dokumen tersebut juga langsung menjadi agenda pembahasan oleh panitia kerja.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: PRADIPTA PANDU
Sumber: Kompas, 30 Juni 2020