Pemanfaatan rumpon sejak lama memudahkan nelayan dalam menangkap ikan. Rumpon portabel yang dikembangkan IPB University ini lebih mudah digunakan dan murah.
Penggunaan rumpon atau alat bantu penangkapan ikan nelayan secara tradisional memiliki kekurangan, seperti bahan pembuatan yang mahal, kerap hilang terbawa arus, dan menyebabkan limbah yang memengaruhi ekosistem pesisir. Hal ini mendasari peneliti dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University untuk mengembangkan rumpon portabel yang ringkas, mudah dioperasikan, ekonomis, dan ramah lingkungan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021, rumpon merupakan alat bantu penangkapan ikan menggunakan berbagai bentuk dan jenis pengikat dari benda padat yang terhubung dengan kapal. Setiap nelayan tradisional sangat bergantung pada rumpon agar tangkapan ikan bisa lebih efektif dan efisien.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rumpon mulai banyak digunakan di Indonesia sejak diperkenalkan oleh nelayan dari Jepang dan Filipina pada 1980-an saat mereka melakukan ekspansi penangkapan tuna. Sejak saat itu, banyak penelitian dan pengakuan nelayan akan penggunaan rumpon yang terbukti dapat meningkatkan ataupun mempercepat proses penangkapan ikan.
Meski demikian, mayoritas rumpon yang digunakan nelayan skala besar dan kecil di Indonesia menggunakan bahan tidak ramah lingkungan. Mayoritas rumpon yang ada saat ini menggunakan atraktor dedaunan dan kerap meninggalkan limbah ekologis setelah pengoperasian. Proses pembuatan rumpon ini juga memerlukan waktu yang lama dan mengeluarkan biaya mahal mencapai Rp 50 juta-Rp 150 juta per unit.
Selain itu, mayoritas rumpon yang digunakan nelayan merupakan rumpon menetap yang diletakkan di perairan dengan rata-rata kedalaman mencapai 200 meter. Keberadaan rumpon menetap ini cukup mengganggu jalur pelayaran karena peletakan yang tidak sesuai zonasi. Di sisi lain, tidak sedikit nelayan yang mengalami kerugian karena rumpon tersebut kerap dipotong dan dicuri nelayan lain atau hilang terbawa arus laut.
Berangkat dari kondisi tersebut, pengajar serta peneliti di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University, Roza Yusfiandayani, menginisiasi pengembangan inovasi rumpon portabel bernama electronic fish aggregating devices (eFAD). Roza mengembangkan rumpon ini bersama Guru Besar FPIK IPB University Indra Jaya dan Mulyono S Baskoro.
Rumpon portabel dikembangkan Roza dan timnya dalam jangka waktu cukup panjang. Selama 2013-2017 dilakukan riset dasar, pengembangan, dan terapan. Setelah itu, pada 2018, ia mengikuti pendanaan Calon Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (CPPBT) dan menghasilkan perusahaan rintisan (star tup) PT Sahabat Nelayan Indonesia.
”Pada 2019, barulah rumpon portabel ini mendapat pesanan tujuh unit dari Serang dan nelayan skala besar. Sekarang sudah mendapat kerja sama dengan pihak organisasi non-pemerintah yang akan memesan 20 unit. Ini menjadi pencapaian karena tidak mudah melakukan komersialisasi dan hilirisasi,” ujarnya, Sabtu (21/8/2021).
Komponen dan spesifikasi
Rumpon portabel terdiri atas sejumlah komponen, yakni teknologi frekuensi suara berupa speaker dan amplifier, rumbai tali sepanjang 10 meter untuk atraktor ikan, baterai litium berkapasitas delapan jam, dan pemberat. Semua komponen tersebut dimasukkan dalam wadah berbentuk koper berukuran 53 sentimeter (cm) x 30 cm x17 cm yang dapat mengapung sehingga ringkas dan mudah dioperasikan.
Pengoperasian rumpon portabel tidak dilakukan secara menetap, tetapi dapat berpindah lokasi sesuai dengan daerah penangkapan yang diinginkan. Sesuai namanya, rumpon portabel juga dapat dipindahkan ke daerah tangkapan ikan lain atau disimpan di tempat yang aman ketika tidak digunakan. Baterai rumpon ini dapat diisi ulang kembali dan mudah dalam proses perawatan.
Dengan seluruh komponen dan spesifikasi tersebut, rumpon portabel sangat menguntungkan nelayan karena dapat dioperasikan di mana saja. Nelayan juga dapat menghemat bahan bakar minyak karena tidak melakukan pengejaran kelompok ikan.
Rumpon portabel memiliki harga yang jauh lebih murah dibandingkan rumpon tradisional. Harga satu unit rumpon portabel dipatok Rp 15 juta. Rumpon ini tetap awet digunakan hingga empat tahun dengan pemakaian dan perawatan yang baik.
”Dalam pengembangan dan penelitian tahun lalu, rumpon sudah mendapat sentuhan teknologi 4.0 melalui pemasangan Wi-Fi echosounder yang terhubung ponsel pintar. Dengan teknologi tersebut, data ikan yang terkumpul dan ukurannya secara otomatis akan tersimpan di ponsel pintar pengguna rumpon portabel,” kata Roza.
Rumpon portabel telah diuji coba serta digunakan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk nelayan skala kecil ataupun besar di delapan provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Banten, Bangka Belitung, Aceh, serta Gorontalo. Berdasarkan evaluasi dan analisis perbandingan tangkapan di sejumlah wilayah, nelayan mengalami kenaikan keuntungan setelah menggunakan rumpon portabel.
Hasil analisis menunjukkan, nelayan di perairan Aceh Utara tercatat mengalami kenaikan tangkapan sebesar 45,88 persen dan menghemat anggaran hingga 43,35 persen. Sementara pendapatan nelayan di Teluk Banten naik sebesar 21,37 persen dan memberikan efektivitas penangkapan ikan mencapai 54 persen.
Raih penghargaan
Rumpon portabel terpilih sebagai salah satu inovasi yang diperkenalkan dan ditampilkan dalam dialog pada puncak peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, 10 Agustus lalu, yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Sebelumnya, rumpon portabel juga telah mendapat sejumlah penghargaan, di antaranya pemenang ketiga kategori inovasi bidang agrikultur dari Universiti Malaysia Perlis tahun 2016.
Pada tahun 2018, rumpon portabel masuk dalam sepuluh inovasi terbaik oleh kementerian riset yang saat itu masih bernama Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Selain itu, rumpon portabel juga terpilih mengikuti kompetisi India ASEAN Innotech Summit di Filipina pada 2019 dan menjadi finalis Hitachi Foundation Award tahun 2020.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam mendorong perguruan tinggi untuk menghasilkan riset yang bisa dihilirisasi oleh dunia usaha dan industri. Namun, ia menekankan pentingnya perubahan orientasi agar riset yang dihasilkan bisa diterima dan dimanfaatkan pihak industri.
Menurut Nizam, kerja sama antara perguruan tinggi dan dunia industri perlu diperdalam tidak hanya sebatas kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Kolaborasi dibutuhkan untuk menyiapkan talenta sumber daya manusia yang selaras dengan kebutuhan dunia kerja serta menciptakan riset dan pengembangan untuk inovasi yang lebih baik.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 23 Agustus 2021