“Kaik. kaik..” Teriakan nyaring lutung jawa (Trachypithecus auratus) itu menarik perhatian Gunawan. Ia segera mengambil teropong besarnya dan mengambil posisi sedikit membungkuk membidik sumber suara.
Mata kirinya menyipit membantu mata kanannya fokus mengintip gelap rimbun pohon rasamala (Altingia excelsa Noronha) yang berjarak 300 meter dari tempatnya berdiri. Beberapa lama diintip, si empunya suara tetap tak terlihat. Satwa endemik Jawa Barat itu terlalu pandai menyembunyikan tubuh hitamnya di antara dedaunan.
“Ia pasti sedang mengawasi kita,” kata Gunawan, Direktur Yayasan Konservasi Elang Indonesia (YKEI), di kawasan Blok Dano dalam kawasan Cagar Alam Papandayan (CAP), Kabupaten Garut, Jabar, Senin (28/3) siang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak mendapatkan yang dicari, Gunawan tiba-tiba disajikan kepakan sayap besar elang hitam (Ictinaetus malayensis) dewasa yang menukik dari angkasa menghilang di antara rasamala. Diduga kuat, elang hitam itu mengincar lutung yang sama. Namun, saat kembali mengudara, elang itu tidak membawa apa-apa di cakarnya.
“Kehadiran elang dan mendengar bunyi lutung itu sungguh melegakan di antara potensi kerusakan hutan Indonesia,” kata Gunawan.
Gunawan tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Ia memperlihatkan genangan air berdiameter sekitar 5 meter tepat di samping tempatnya berdiri. Limpasan air Situ Cibeureum, salah satu danau tua di CAP, itu penuh kecebong dan katak. Setidaknya ada empat spesies katak, katak bertanduk (Megophrys montana), katak pohon emas (Philautus aurifasciatus), konkang jangkrik (Hylarana nicobariensis), dan percil mulut sempit (Microhyla palmipes).
Menurut Gunawan, fenomena ini jarang terjadi. Biasanya hanya ditemukan 1-2 spesies dalam kawasan sekecil itu. Tidak hanya itu, katak juga tidak lazim ditemukan di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut. Khusus percil mulut sempit, ia menemukan empat corak warna per spesies atau dua kali lipat lebih banyak daripada jenis yang sama di daerah lain.
“Semuanya memunculkan banyak kemungkinan. Mulai dari minimnya pemangsa, seperti ular. Hal itu yang membuat pertumbuhan populasi katak, perubahan iklim, dan habitat bisa jadi memicu perubahan corak, hingga pilihan hidup di tempat lebih tinggi karena terdesak habitat yang semakin sempit akibat tata guna lahan. Apakah semuanya dipicu kerusakan lingkungan? Bisa jadi benar,” kata Gunawan.
Kerentanan kawasan itu juga yang mendorong Gunawan dan rekan-rekannya di YKEI menginventarisasi keanekaragaman flora-fauna di CAP pada 1-27 Desember 2015. Chevron Geothermal, yang beroperasi di sana, dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) ikut serta di dalamnya.
Selain pantauan di lapangan, tim yang terdiri atas 10 peneliti itu dibantu 19 kamera jebak di areal seluas 38 kilometer persegi atau sekitar setengah dari total kawasan CAP. Hasilnya, mereka mendata 112 jenis pohon dan tanaman lain.
Untuk burung, mereka mendapatkan 72 jenis, beberapa di antaranya elang ular bido (Spilornis cheela), elang hitam, dan elang brontok (Nisaetus cirrhatus). Empat macan tutul jawa (Panthera pardus melas) dan seekor ajak (Cuon alpinus) juga ikut terekam.
“Keberadaan satwa liar menjadi pengingat pentingnya perlindungan CAP, tidak hanya bagi mereka, tetapi juga manusia di sekitarnya,” kata Gunawan.
Tata kelola
Gunawan tidak asal bicara. CAP lebih dari sekadar melindungi satwa liar. CAP menjadi rumah bagi hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk tempat lebih dari 600.000 manusia bergantung hidup.
Data Pusat Pengelolaan Ekoregion Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menyebutkan, potensi air permukaan DAS Cimanuk mencapai 743.000 meter kubik per tahun. Air itu untuk mengairi 13 waduk berdaya tampung 2.633,40 juta meter kubik.
Salah satunya adalah Waduk Jatigede yang dibangun menghabiskan dana triliunan rupiah. Dengan daya tampung 979,5 juta meter kubik, Jatigede mengairi 90.000 hektar daerah irigasi dan 3.500 liter per detik untuk air baku. Bahkan, waduk ukuran terkecil, Waduk Garut, berdaya tampung 100.000 meter kubik, mampu menghasilkan listrik 30 GWh per tahun.
Direktur Eksekutif Walhi Jabar Dadan Ramdhan berharap pengelolaan DAS Cimanuk tidak mengulang buruknya tata kelola di DAS Citarum. Kerusakan daerah hulu memicu kekeringan saat kemarau, sedimentasi memprihatinkan, hingga mengusir ribuan warga meninggalkan rumah akibat banjir musim hujan.
Gunawan mengatakan, sejauh ini jika dibandingkan dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, sebaran vegetasi dan satwa CAP relatif lebih baik. Penduduk pun belum banyak menetap di kawasan terlarang. Namun, bukan tidak mungkin nasibnya serupa di lain hari.
Bagi manusia, persediaan air rentan dipicu meluasnya lahan pertanian berbatasan dengan CAP. Balai Data dan Informasi Sumber Daya Air Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Jabar menyebutkan, lahan kritis DAS Cimanuk di Garut mencapai 30.442 hektar. Sementara bagi satwa, kata Gunawan, ancaman terbesarnya adalah lalu lintas pemburu liar dalam kawasan.
Awal tahun lalu, Kepala Bidang Teknis Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jabar Munarto mengatakan, keterbatasan personel membuat pengawasan kawasan dilindungi belum maksimal. Saat ini, hanya ada personel sebanyak 145 polisi hutan yang menjaga areal seluas 82.000 hektar di Jabar. “Peran masyarakat ditunggu untuk mengurangi dampak buruk itu,” katanya.
Sekolah hijau
BKSDA tidak perlu lama berpangku tangan. Peran masyarakat setidaknya terlihat di SD Negeri Padawaas 2 dan 3 Garut. Hanya berjarak 4 kilometer dari CAP, mereka dilatih memahami prinsip sekolah hijau, November 2015-Januari 2016. Pembimbingnya Yayasan Kehati dan Pondok Pesantren berkonsep lingkungan, Ath Thaariq, Garut.
Pemimpin Pondok Pesantren Ath Thaariq Ibang Lukmanudin mengatakan, kedua sekolah kini fasih menerapkan banyak kegiatan berbasis lingkungan. Beberapa di antaranya menata lahan pertanian di rawan longsor, menanam bibit tanaman, pembuatan kompos, perbaikan sanitasi, dan pengelolaan sampah.
Hasilnya terasa. Kepala Sekolah SDN Padawaas 3 Asep Hidayat mengatakan, ratusan siswa dan guru mengolah sampah berserakan dan sebelumnya dibuang ke sungai menjadi kompos. Kamar mandi yang awalnya jorok, kini tertata rapi. Teknik permakultur ikut diterapkan memanfaatkan lahan.
“Kami berharap konsep ini bisa menjadi contoh bagi sekolah lain di sepanjang DAS Cimanuk. Semua itu untuk masa depan manusia dan lingkungan lebih baik,” kata Asep.–CORNELIUS HELMY H
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 April 2016, di halaman 1 dengan judul “Rumah Harapan untuk Hulu DAS Cimanuk”.