Impian manusia mendarat di Mars tahun 2030-an, mendekati nyata. Sebuah roket berkekuatan jauh lebih besar dibandingkan roket yang mendaratkan manusia di Bulan tahun 1969, disiapkan. Tak hanya lebih jauh, roket yang rancangan akhirnya memiliki tinggi hampir menyamai Tugu Monas di Jakarta itu juga bisa membawa muatan lebih besar.
Roket milik Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional (NASA) Amerika Serikat itu dinamai Sistem Peluncur Antariksa atau Space Launch System (SLS). Berat roket yang diklaim terbesar di dunia itu hampir delapan kali pesawat Boeing 747 dalam kondisi penuh, punya daya dorong setara 13.400 lokomotif, dan mampu mengangkut 12 gajah dewasa ke antariksa.
”SLS akan jadi roket unik dan fleksibel. Mampu membawa manusia kembali ke Bulan, bahkan lebih jauh, termasuk asteroid dan Mars,” kata perekayasa SLS, Dawn Stanley, di Pusat Penerbangan Antariksa Marshall, Alabama, AS, kepada BBC, Selasa (10/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepala Pusat Teknologi Roket Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Sutrisno, Jumat (20/3), mengatakan, untuk penjelajahan antariksa, roket harus berdaya dorong besar untuk melawan gravitasi Bumi. Jika tidak, roket akan jatuh lagi ke Bumi. Daya dorong roket juga diperlukan untuk menempatkan muatan roket pada tempat tertentu di antariksa.
Struktur
Meski SLS memiliki desain baru yang dirancang dengan teknik berbeda, sejumlah teknologi merupakan daur ulang teknologi roket NASA sebelumnya. Teknologi roket NASA yang diadopsi SLS itu adalah roket Pesawat Ulang Alik (Space Shuttle) maupun roket Saturnus (Saturn) V yang pernah mendaratkan manusia di Bulan.
”Untuk kembali ke Bumi masih dibutuhkan roket sehingga teknologi dari Pesawat Ulang Alik dan Saturnus V tetap dibutuhkan,” kata Dawn.
Desain awal SLS mirip roket Saturnus V, termasuk bagian pembawa muatan di ujung atas roket. Bedanya, SLS memiliki dua roket pendorong (booster) di samping roket utamanya. Roket pendorong itu diadopsi dari roket Pesawat Ulang Alik.
Diameter roket utama SLS sama dengan diameter roket utama Pesawat Ulang Alik. Ada lima mesin atau motor penggerak RS-25D/E pada bagian bawahnya. Roket utama merupakan roket cair yang bahan bakarnya berupa hidrogen cair dan oksigen cair sebagai oksidator.
Roket pendorong SLS lebih panjang dibandingkan milik Pesawat Ulang Alik. Roket pendorong itu berupa roket padat berbahan bakar campuran komposit aluminium perklorat mengandung oksigen. ”Tanpa oksigen, pembakaran bahan bakar tak mungkin terjadi,” kata Sutrisno. Oleh karena antariksa tak ada oksigen, bahan bakar roket sudah harus dicampur oksigen.
Rabu (11/3), roket pendorong SLS menjalani uji statik di Promontory, Utah, AS. Roket pendorong itu menggunakan motor penggerak Qualification Motor-1. ”Uji ini untuk melihat kelayakan roket pendorong yang akan digunakan pada penerbangan pertama SLS,” kata Manajer SLS NASA, Alex Priskos, seperti dikutip space.com.
Sementara itu, untuk tahap awal, modul pembawa muatan roket SLS dibuat mirip yang ada pada Saturnus V. Modul muatan berkapasitas empat orang antariksawan itu berukuran lebih besar dibandingkan yang digunakan misi Apollo NASA untuk pergi ke Bulan. Ke depan, bagian pembawa muatan itu dimodifikasi hingga punya sebuah motor penggerak tunggal J-2X.
Misi
Tahap awal, roket SLS rencananya akan digunakan mengirim wahana tak berawak Orion hingga melampaui orbit rendah Bumi pada 2018. Misi pertama SLS yang disebut Exploration Mission-1 atau EM-1 itu untuk menguji kinerja sistem roket yang bekerja secara terintegrasi.
Meski tak berawak, misi itu akan membawa Orion hingga jarak 450.000 kilometer (km) dari Bumi. Jarak itu memecahkan rekor jarak terjauh yang pernah dijelajahi manusia dalam misi Apollo 13 sejauh 400.000 km. Adapun misi Apollo 11 yang mendaratkan manusia di Bulan mencapai jarak 383.000 km.
Selain penerbangan ke Bulan, hingga kini penjelajahan manusia masih berkutat sekitar Orbit Rendah Bumi (LEO). Di lapisan 160-2.000 km dari permukaan Bumi itulah Stasiun Antariksa Internasional (ISS) berada.
Dengan kemampuan roket yang jauh lebih besar, SLS menawarkan kesempatan manusia menjelajahi antariksa dan mengenali lebih dalam tetangga Bumi. Lebih dari itu, SLS juga membuka peluang menambang aneka mineral bermutu tinggi di asteroid atau mencari tempat hidup baru, setidaknya di Mars.( M Zaid Wahyudi)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Maret 2015, di halaman 9 dengan judul “Melawan Gravitasi, Menjelajahi Antariksa”.