Satu Menit, Padamkan Api di Empat Ruang
Dalam kompetisi robot internasional di San Mateo, California, Amerika Serikat, 24-25 April lalu, pemadam api karya Rodi Hartono merebut emas. Kemarin robot tersebut dipamerkan di Kantor Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti), Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas).
NUNGKI KARTIKASARI, Jakarta
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
BEGITU sirene tanda kebakaran meraung, robot langsung on. ”Tombol start robot ini memang di-setting suara sirene,” kata Rodi Hartono, pencipta robot yang diberi nama DU-114 itu. Sensor nyala api yang dipasang di robot tersebut langsung mencari sumber panas.
Ketika sumber api ditemukan, robot akan menyemprotkan air dalam jarak 30 cm dari nyala api. ”Jika sirene masih berbunyi, robot akan melanjutkan pencariannya dan mengulangi sistem hingga airnya habis,” terang Rodi.
Robot berukuran sekitar 70 x 60 cm dan tinggi 50 cm tersebut mampu memadamkan api tidak lebih dari enam detik. ”Sebenarnya bisa dua detik,” kata Rodi. ”Ditambah kerja program software-nya jadi enam detik,” kata anak kedua dari empat bersaudara itu.
Pada kompetisi Robo Games yang digelar di San Mateo County Event Center itu, sebuah lilin menyala dipasang di empat ruang. DU 114 -singkatan diambil dari (Jalan) Dipati Ukur nomor 114-116 Bandung, lokasi kampus– mampu memburu panas di setiap kamar dan memadamkan lilin dalam waktu satu menit.
Untuk mempercepat kinerja robot, mahasiswa Unikom (Universitas Komputer Indonesia), Bandung, itu membuat program dengan kecepatan power full. ”Seluruh sensor mesti di-setting agar cocok dengan kecepatan yang sudah kami program,” paparnya.
Dalam kompetisi itu, Rodi membawa tiga robot, DU 114, DU 116, dan Next 115. Namun, hanya DU 114 yang meraih emas. Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro itu ditemani dosen pembimbingnya, Yusrila Y. Kerlooza, yang juga ketua Divisi Robotika Unikom. ”Pak Yusrila memberikan banyak masukan dan dukungan selama di AS,” kata pria 23 tahun itu.
Dia mengatakan, keberhasilannya merebut emas itu tak lepas dari kerja keras timnya di Divisi Robotika. Tak kurang dari sepuluh mahasiswa, sebagai tim bayangan, ikut menggarap robot itu. ”Sedangkan tim intinya dua orang, Wahyu Eko Prasetyo dan Cucuk Herlani,” katanya.
Pada tahap perencanaan sampai 80 persen, Rodi menggarapnya sendiri. Sisanya, dia meminta tim membantu menyempurnakannya. ”Ide dan modifikasi saya yang desain, teman-teman memberikan banyak pertimbangan,” paparnya.
Pria kelahiran Air Bini, Natuna, Riau, itu menjelaskan, beberapa hardware yang digunakan antara lain sensor suara, sensor jarak ultrasonik, dan sensor nyala api. Selebihnya, sama dengan robot pada umumnya. Ada servo motor, roda, body, driver motor, dan tempat baterai. Dia menghabiskan biaya sekitar Rp 10 juta untuk membuat robot itu.
Pelindung di bagian luar robot terbuat dari plastik agar hardware tidak rusak akibat terkena air. ”Sebab, kami banyak menggunakan alat dari bahan karet dan plastik juga di dalam,” kata alumnus SMKN 1 Cilegon itu.
Dengan kekuatan baterai A2 sebanyak 12 biji, robot tersebut bisa bekerja sekitar 24 jam. Untuk membuat software-nya Rodi dan tim butuh waktu satu minggu. Yang paling sulit, menyeting komponen agar robot bisa melaju dengan kecepatan tinggi tanpa salah sasaran. ”Kadang terlalu kencang. Akibatnya, robot selip di jalan,” katanya.
Untungnya, dalam kompetisi itu bukan kecepatan yang menjadi kunci keberhasilan. Tapi, ketepatan dalam manajemen pembuatan robot, memilih alat dan program yang tepat, lalu memadukannya dengan pertimbangan yang tepat. ”Banyak yang lebih cepat daripada robot kami. Tapi, yang pengaturan programnya sempurna tanpa kesalahan, hanya milik kami,” ujarnya.
Robot bikinan Rodi lebih mementingkan ketangguhan dan kekukuhan dibanding kecepatan. Jika robot kuat, dengan kecepatan berapa pun digerakkan, akan berjalan sesuai keinginan pembuatnya.
Kemenangan di negeri padat teknologi itu tentu saja sangat membanggakan Rodi. ”Saya memang kepingin bisa bikin robot yang tidak sekadar bisa jalan,” katanya.
Cita-cita yang tertanam sejak SMP itu membawanya ke SMK jurusan mesin, kemudian dilanjutkan ke Unikom. Kini, meski kuliahnya sudah di tingkat akhir, dia tak ingin berhenti berkreasi menciptakan robot-robot baru. ”Sulit melepas hal-hal yang sudah menjadi hobi,” ujarnya.
Begitu cintanya pada robotika, sampai-sampai Rodi memilih tinggal di laboratorium robotika di Unikom. Sebuah ruang berukuran sekitar 10 x 7 meter dijadikan basecamp para pencinta robotika di kampus itu. ”Bisa dibilang, saya ngekos di sana (laboratorium, Red),” katanya lantas tertawa.
Bahkan, saat libur pun, Rodi dan kawan-kawan lebih memilih berlama-lama di laboratorium daripada jalan-jalan. ”Keluar cuma beli makan, lalu asyik sama robot lagi,” kata pria berambut sepunggung itu.
Menjelang lomba di AS lalu, hampir sebulan penuh Rodi dan kawan-kawannya tinggal di laboratorium. Saking sibuknya, dia mengaku cukup tidur empat jam sehari. ”Kami membawa semua barang dan buku panduan buat bekal di laboratorium,” terangnya.
Robotnya itu, kata dia, bisa dikembangkan untuk dimanfaatkan sebagai teknologi tepat guna yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, dia mendapat penawaran kerja sama dari pihak asing untuk diaplikasikan dalam bentuk yang lebih besar. ”Tapi, butuh penelitian lagi jika digunakan dalam kapasitas api yang lebih besar,” katanya. (*/c2/cfu)
Sumber: Jawa Pos, 12 Mei 2010