Pandemi Covid-19 menunjukkan tantangan dunia dan kemanusiaan pada masa akan datang makin rumit, menantang, dan tidak bisa diselesaikan sendiri. Sinergi peneliti, perekayasa, dan lembaga terkait adalah kunci masa depan.
Pandemi Covid-19 menunjukkan tantangan dunia dan kemanusiaan pada masa yang akan datang makin rumit, menantang, dan tidak bisa diselesaikan sendiri. Karena itu, sinergi dan kerja sama di antara peneliti, perekayasa, dan lembaga terkait adalah kunci bagi pengembangan riset dan inovasi masa depan.
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro dalam perayaan Hari Ulang Tahun Ke-42 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Jakarta, Senin (24/8/2020), mengatakan, kerja sama semua pihak mutlak diperlukan dalam penanganan pandemi akibat tidak dikenali dan ganasnya virus penyebab Covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Tidak boleh lagi ada ego individu, institusi, dan bidang ilmu,” ujarnya. Semua ego itu harus dibuang karena tidak akan ada satu invidu, lembaga, dan bidang ilmu yang sanggup mengatasi Covid-19 sendiri.
Kerja sama itu juga tidak perlu dilakukan dengan mengumpulkan peneliti dan perekayasa berbagai bidang dalam satu tempat tertentu, seperti gambaran riset yang ada selama ini. Meski terpencar berjauhan, para peneliti dan perekayasa itu tetap dapat berkomunikasi dan bersinergi mengembangkan riset dan inovasi dengan memanfaatkan teknologi digital.
Pola itu pula yang digunakan Task Force Riset dan Inovasi Teknologi untuk Penanganan Covid-19 (TFRIC-19) yang dikoordinasikan oleh BPPT. Tim ini beranggotakan sejumlah lembaga penelitian, mulai dari nonkementerian, perguruan tinggi, rumah sakit, organisasi profesi, hingga usaha rintisan. Hasilnya, kurang dari tiga bulan sejak kasus pertama Covid-19 terkonfirmasi di Indonesia, tim telah menghasilkan lebih dari 50 produk inovasi terkait penanganan Covid-19.
Produk inovasi terkait penanganan Covid-19 yang diluncurkan pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2020 itu, antara lain, berupa alat uji cepat (rapid detection test/RDT), alat uji reaksi rantai polimerasi (PCR), sistem kecerdasan artifisial untuk mendeteksi Covid-19, laboratorium bergerak dengan standar keamanan biologis tingkat 2 (bio safety level-2/BSL-2), dan ventilator untuk merawat pasien Covid-19.
Untuk menghasilkan berbagai inovasi dalam waktu singkat tidaklah mudah, terutama untuk mencari mitra industri yang mau memproduksi temuan tersebut. Dalam situasi normal, pencarian mitra industri itu bisa memakan waktu bulanan hingga tahunan. Hal itu, dinilai Bambang, sebagai tantangan tersendiri bagi peneliti dan perekayasa hingga temuan mereka bisa dihilirisasi.
Mencari mitra industri tidaklah mudah. Banyak perusahaan Indonesia belum memercayai produk inovasi anak bangsa. Bayang-bayang citra negatif sering kali menghantui, baik terkait dengan masalah kualitas produk, berbagai perizinan, penerimaan pasar, hingga pascapenjualan.
Tak hanya itu, produksi inovasi terkait Covid-19 juga menjadi pengalaman pertama bagi banyak industri. Karena itu, proses coba-coba dan salah (trial error) selama proses hilirisasi produk tersebut adalah proses yang wajar. Selain itu, mitra industri yang digandeng juga harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan produk tersebut dengan kapasitas produksi yang sesuai harapan.
”Ini pembelajaran bagi BPPT, tidak semuanya langsung smooth (berjalan halus),” katanya. Bambang berharap pengembangan produk inovasi Indonesia itu mampu menjadi substitusi produk impor.
Di awal pandemi, hampir semua peralatan yang digunakan untuk uji atau merawat penderita Covid-19 merupakan produk impor. Kini, ketergantungan akan produk impor tersebut sudah bisa dikurangi.
BPPT juga didorong untuk terus mengembangkan produk inovasinya. Upaya itu salah satunya dilakukan dengan mengembangkan laboratorium bergerak BSL-2 generasi berikutnya. Peningkatan kualitas produk inovasi Indonesia itu diharapkan bisa memperbaiki citra buruk produk substitusi impor yang selama ini ada, terutama di kalangan ekonom dan industri.
Pemerintah pun siap mendorong produk substitusi impor guna mengurangi defisit, mengangkat kemampuan teknologi bangsa sendiri, serta lebih menyejahterakan rakyat. ”Produk substitusi impor harus dikedepankan, tetapi bukan dengan proteksi atau subsidi yang berlebihan,” ucap Bambang. Protesi dan subsidi itu hanya diperlukan pada fase awal produksi saja, selanjutnya kualitas produk inovasi itu yang akan menggerakkan produksinya.
Upaya ini diharapkan bisa mendorong transformasi ekonomi Indonesia dari ekonomi yang ditopang oleh sumber daya alam menjadi ekonomi berbasis inovasi teknologi, seperti yang dialami negara-negara maju. Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan, penguasaan teknologi yang dimiliki perekayasa BPPT dalam menghasilkan inovasi terkait Covid-19 bisa dijadikan modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang dihela inovasi.
”Transformasi Indonesia berbasis teknologi adalah kerja untuk masa depan,” katanya.
Rekayasa terbalik
Keberhasilan hilirisasi dan komersialisasi produk inovasi terkait Covid-19 itu, dinilai Bambang, tidak terlepas dari kemampuan peneliti dan perakayasa Indonesia dalam mengembangkan rekayasa terbalik (reverse engineering), yaitu membongkar teknologi yang sudah ada untuk kemudian mengembangkannya sendiri. Tanpa kemampuan ini, Indonesia dipastikan masih akan bergantung pada produk impor.
Meski tinggal dibeli, pengadaan produk impor itu juga tidak mudah karena butuh waktu dan semua negara saat ini membutuhkannya. Pengalaman ini dialami Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang memiliki 68 rumah sakit di seluruh Indonesia. Namun, hanya enam rumah sakit yang memiliki peralatan uji PCR, dengan dua peralatan di antaranya merupakan bantuan BPPT.
Kepala Staf TNI AD Jenderal Andika Perkasa mengatakan, produk-produk inovasi BPPT sangat membantu penanganan Covid-19. Rumah sakit TNI AD itu tak hanya merawat sekitar 900 prajurit TNI dan pegawai negeri sipil di lingkungannya yang positif Covid-19, tetapi juga merawat masyarakat umum.
”TNI AD menantikan karya-karya lain BPPT sebagai alternatif solusi pada masa pandemi,” katanya.
Pengalaman kolaborasi riset dan inovasi serta menggandeng mitra industri selama pandemi ini perlu diberdayakan pada masa depan. Karena itu, kondisi industri manufaktur Indonesia perlu dipetakan dari sekarang untuk mengetahui apakah mereka sudah adaptif dengan kemajuan inovasi Indonesia saat ini serta memiliki kepercayaan yang baik terhadap produk inovasi dalam negeri.
Hal serupa diungkapkan Staf Ahli Bidang Manajemen Konektivitas Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Sahat M Panggabean. Setelah Covid-19 bisa dikendalikan, perekayasa BPPT perlu menyiapkan diri untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa lainnya, seperti isu pangan, deteksi tsunami, dan survei laut.
”Jangan terlena dengan suasana Covid-19,” katanya. Seruan itu diingatkan karena pelibatan peneliti dan perekayasa mutlak diperlukan untuk menangani berbagai persoalan bangsa, tidak hanya terkait dengan penanganan Covid-19.
Oleh MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 24 Agustus 2020