Kolaborasi Peneliti, Akademisi, dan Industri Diperkuat
Penelitian dan pengembangan kesehatan diminta tidak lagi hanya didedikasikan untuk peningkatan ilmu pengetahuan, tetapi juga untuk melahirkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat. Karena itu, kolaborasi antara peneliti, akademisi, dan industri diperlukan.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama mengemukakan hal itu seusai Simposium Internasional Riset dan Pengembangan Kesehatan Ke-2, Rabu (16/9), di Jakarta.
Penelitian dan pengembangan kesehatan untuk menambah dan meningkatkan ilmu pengetahuan dinilai bukan hal salah. Namun, lebih baik jika itu berorientasi pada produk. “Sebaiknya riset kesehatan ditujukan untuk kepentingan kesehatan masyarakat agar manfaat penelitian itu dirasakan masyarakat,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, untuk melaksanakan riset berorientasi produk, peneliti tak bisa bekerja sendiri. Itu butuh keterlibatan banyak pihak terutama industri untuk mewujudkan produk dari penelitian.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek mengatakan, dengan peningkatan anggaran kesehatan tahun 2016 hingga 5 persen, anggaran bagi Balitbangkes tahun depan sekitar Rp 1,6 triliun atau naik dua kali lipat dibandingkan dengan anggaran tahun 2015. Kenaikan anggaran itu diharapkan mendorong peneliti di Balitbangkes agar bisa membuat riset berorientasi produk. “Tidak boleh berhenti begitu saja. Harus ada produk,” ujarnya.
Terkait hal itu, Tjandra memaparkan, anggaran itu akan dipakai untuk meningkatkan mutu riset yang dilakukan, melaksanakan riset kesehatan nasional, riset di tempat tertentu, dan kegiatan laboratorium. Dana itu juga akan dipakai untuk riset berorientasi produk seperti saintifikasi jamu.
Satu hal yang juga akan dilakukan mulai tahun depan dan hal baru adalah penelitian antarriset kesehatan dasar (riskesdas) yang menurut rencana dilakukan setiap tahun. Hasil riset antarriskesdas itu akan dipakai untuk mengukur kemajuan pembangunan. Jadi, capaian target program pembangunan pemerintah tak lagi dinilai dari laporan, tetapi hasil riset.
Dasar kebijakan
Menurut Nila, riset dan pengembangan kesehatan merupakan unsur penting pembangunan kesehatan. Setiap informasi, data, serta inovasi valid dan tepercaya mesti melalui riset lebih dulu. Produk informasi dan inovasi hasil riset jadi dasar pengambilan kebijakan berbasis bukti (evidence based policy).
Dalam pembangunan berkelanjutan pasca 2015, ada sejumlah penyakit yang secara global harus dikendalikan. Pada tahun 2013, di Indonesia teridentifikasi 23 penyakit berpotensi wabah. Karena itu, perlu ada penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan produk deteksi (diagnostik), pencegahan (vaksin), penyembuhan (obat), dan alat kesehatan untuk mengatasi berbagai penyakit itu.
Tjandra menambahkan, ada tiga riset yang dilakukan Balitbangkes dalam konsorsium yang dimulai sejak tahun 2012. Itu meliputi riset vaksin dengue (sejak 2012), tuberkulosis (sejak 2012), dan obat anti malaria (sejak 2014).
Konsorsium itu melibatkan sejumlah lembaga riset, perguruan tinggi, dan industri. Pihak yang ikut dalam konsorsium antara lain, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, PT Biofarma, Universitas Gadjah Mada, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kementerian Pertanian, Institut Teknologi Bandung, Universitas Airlangga, dan PT Indofarma.
Selain konsorsium itu, ada saintifikasi jamu yang telah menghasilkan lima jamu saintifik. Ke depan, saintifikasi jamu akan dipertimbangkan untuk menghasilkan inovasi produk.
Kepala Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Balitbangkes Kemenkes Pretty Multihartina menambahkan, materi yang dipakai sebagai bahan obat anti malaria adalah tanaman Artemisia annua. Riset obat anti malaria itu didahului riset tanaman obat dan jamu.
Untuk mengatasi sekitar dua juta kasus malaria di Indonesia, perlu obat artemisinin 900 kilogram yang dihasilkan dari 450 ton simplisia kering. Simplisia itu bisa diperoleh dari 100 hektar tanaman Artemisia annua.
Selain riset untuk produk yang dilakukan Balitbangkes dalam konsorsium, ada juga riset produk yang dikerjakan lembaga lain. Misalnya, FKUI meneliti riset diagnostik HIV dan PT Biofarma dengan riset pneumonia. (ADH)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 September 2015, di halaman 14 dengan judul “Riset Hasilkan Produk”.