Penelitian World Mosquito Program Yogyakarta menggunakan bakteri wolbachia berhasil menurunkan kasus demam berdarah dengue sebesar 77 persen. Hasil riset ini diharap bisa memperkuat penanggulangan DBD di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/HARIS FIRDAUS—Anggota staf World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta memberi makan nyamuk ”Aedes aegypti” yang telah mengandung bakteri wolbachia, Selasa (26/2/2019), di Laboratorium Entomologi WMP Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. WMP merupakan program penelitian penanggulangan demam berdarah dengue (DBD) menggunakan bakteri wolbachia.
Penelitian penanggulangan demam berdarah dengue (DBD) menggunakan bakteri wolbachia di Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan hasil menggembirakan. Penelitian oleh World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta itu berhasil menurunkan kasus DBD sebesar 77 persen. Hasil riset ini diharapkan memperkuat pengendalian DBD di Indonesia.
”Terdapat penurunan sebesar 77 persen kasus demam berdarah dengue pada wilayah yang diintervensi,” kata peneliti utama WMP Yogyakarta, Adi Utarini, dalam konferensi pers secara daring, Rabu (26/8/2020), di Yogyakarta.
WMP Yogyakarta merupakan program penelitian yang dimulai tahun 2011 melalui kerja sama sejumlah pihak, yakni Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM), Yayasan Tahija, dan Monash University, Australia. Penelitian tersebut juga bagian riset WMP global yang dilakukan di 12 negara. Dalam penelitiannya, WMP Yogyakarta menggunakan bakteri wolbachia untuk mencegah penularan penyakit DBD.
Tim peneliti memasukkan wolbachia, yang merupakan bakteri alami yang biasa terdapat pada serangga, ke dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti yang menularkan penyakit DBD. Riset menunjukkan, bakteri Wolbachia terbukti mampu menghambat pertumbuhan virus dengue dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti. Oleh karena itu, nyamuk Aedes aegypti yang telah mengandung wolbachia tidak bisa menularkan penyakit DBD ke manusia.
ARSIP WMP YOGYAKARTA—Peneliti utama World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta, Adi Utarini, memberi penjelasan mengenai hasil penelitian penanggulangan demam berdarah dengue dengan bakteri wolbachia, Rabu (26/8/2020), di Yogyakarta.
Utarini menjelaskan, penelitian yang dilakukan WMP Yogyakarta itu terbagi dalam beberapa tahapan. Pada dua tahun awal, fokus penelitian adalah mencari tahu apakah penggunaan bakteri wolbachia aman bagi manusia dan lingkungan. Setelah keamanannya dipastikan, tahun 2014, tim mulai melepaskan nyamuk Aedes aegypti yang mengandung bakteri wolbachia secara terbatas di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Nyamuk Aedes aegypti yang mengandung wolbachia dan telah dilepasliarkan itu akan kawin dengan nyamuk Aedes aegypti biasa di alam bebas. Jika nyamuk betina yang mengandung wolbachia kawin dengan nyamuk jantan biasa, telurnya akan mengandung wolbachia. Adapun jika nyamuk jantan yang mengandung wolbachia kawin dengan nyamuk betina biasa, maka telurnya tidak menetas.
Sesudah pelepasan secara terbatas itu, dilakukan analisis risiko oleh pihak independen untuk memastikan nyamuk yang mengandung wolbachia tidak menimbulkan risiko kesehatan bagi manusia. Setelah itu, tim WMP Yogyakarta mulai melepaskan nyamuk Aedes aegypti yang mengandung wolbachia ke wilayah yang lebih luas.
Menurut Utarini, sejak 2017, tim WMP Yogyakarta melakukan penelitian dengan metode randomised controlled trial (RCT) di 35 kelurahan di Kota Yogyakarta serta sebagian kecil wilayah Bantul. Dalam penelitian RCT itu, area penelitian dibagi secara acak menjadi dua, yakni area intervensi dan area kontrol.
Pada 12 area intervensi, tim melakukan pelepasan nyamuk Aedes aegypti yang mengandung wolbachia. Adapun pada 12 area kontrol tidak dilakukan pelepasan nyamuk. Meski begitu, area intervensi dan area kontrol tetap menjalankan program pengendalian DBD, misalnya dengan pemberantasan sarang nyamuk.
”Ada 12 area yang mendapat intervensi dan 12 area sebagai area kontrol atau pembanding. Area ini dipilih secara acak dan proses pengacakannya dilakukan di depan publik yang diwakili oleh camat, lurah, dan pihak terkait lain,” ujar Utarini yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM.
Utarini menuturkan, pelepasan nyamuk Aedes aegypti yang mengandung wolbachia di area intervensi itu dilakukan selama 8 bulan. Sesudah itu, tim WMP Yogyakarta bekerja sama dengan 18 puskesmas di Kota Yogyakarta dan Bantul memantau kasus DBD di wilayah penelitian. Pemantauan juga melibatkan partisipasi 8.144 pasien demam berusia 3-45 tahun yang memeriksakan diri ke puskesmas.
Menurut Utarini, tim melakukan pemeriksaan virologis kepada para pasien itu untuk memastikan apakah mereka terkena virus dengue atau tidak. ”Kami memantau angka kejadian demam berdarah sejak Januari 2018 sampai dengan Maret 2020. Cara memantaunya adalah melalui pasien demam yang datang ke puskesmas. Mereka menjalani pemeriksaan virologis untuk memastikan terkena dengue atau tidak,” ungkapnya.
Sangat signifikan
Hasil pemantauan itu menunjukkan, kasus DBD di 12 area intervensi ternyata menurun sebesar 77 persen. Utarini menyebut, dalam penanganan penyakit penular seperti DBD, penurunan sebesar 77 persen itu sangat signifikan. ”Kalau kita bicara dalam konteks penyakit menular, penurunan ini sangatlah berarti. Ini penurunan yang luar biasa,” tuturnya.
Utarini berharap hasil penelitian tersebut bisa diterapkan dalam lingkup yang lebih luas di wilayah-wilayah lain. Dengan begitu, penelitian tersebut bisa memperkuat program pengendalian DBD di Indonesia.
”Kami berharap kepada pemerintah, hasil penelitian ini dapat melengkapi dan menguatkan program pengendalian demam berdarah,” ujarnya.
Ketua Yayasan Tahija Trihadi Saptoadi mengatakan, penelitian WMP Yogyakarta itu bisa menuai hasil yang menggembirakan berkat dukungan dan kepercayaan dari para mitra dan seluruh pihak terkait, termasuk masyarakat. Pasalnya, penelitian itu tak hanya dilakukan di dalam laboratorium, tetapi juga di wilayah permukiman sehingga harus ada persetujuan dari masyarakat.
”Kami berupaya membangun partisipasi dan kepercayaan dari masyarakat. Persetujuan masyarakat adalah syarat yang sangat penting, bukan hanya dari sisi ilmiah, melainkan juga etis,” ujar Trihadi.
Trihadi menambahkan, sejumlah warga Yogyakarta juga bersedia menjadi relawan penelitian, misalnya dengan meletakkan dan mengawasi ember berisi nyamuk Aedes aegypti yang mengandung wolbachia di dekat rumah mereka. ”Jadi, bagi kami, masyarakat adalah ujung tombak suksesnya riset ini,” ucapnya.
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi berharap penanggulangan DBD dengan bakteri wolbachia itu bisa diperluas ke seluruh wilayah Kota Yogyakarta. Hal ini agar penurunan kasus DBD bisa terjadi secara merata di seluruh area di Kota Yogyakarta. ”Sudah saatnya seluruh masyarakat Yogyakarta ikut menikmati hasil dari teknologi wolbachia yang terbukti menurunkan kasus DBD,” ujarnya.
Oleh HARIS FIRDAUS
Editor: GREGORIUS FINESSO
Sumber: Kompas, 26 Agustus 2020