Pendanaan bagi pelaku usaha ekonomi digital Asia Tenggara diperkirakan mencapai 37 miliar dollar AS dalam empat tahun terakhir. Sebagian besar suntikan investasi itu diterima perusahaan teknologi berskala besar.
Sesuai laporan studi e-Economy SEA 2019, perusahaan teknologi berskala besar adalah perusahaan bervaluasi hingga 1 miliar dollar AS atau unicorn dan perusahaan bervaluasi 100 juta dollar AS hingga 1 miliar dollar AS atau aspiring unicorn.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Dekorasi di kantor Google Indonesia di Jakarta, Senin (7/10/2019). Google Indonesia, Temasek, dan Bain & Company menyampaikan laporan e-Conomy SEA 2019 yang menyatakan bahwa Indonesia menepati urutan terdepan dalam tren pertumbuhan ekonomi digital di Asia Tenggara. Ekonomi digital Indonesia pada tahun 2019 ini mendekati 40 miliar dollar AS dan berpotensi mencapai 133 miliar dollar AS pada tahun 2025. Kompas/Priyombodo (PRI)07-10-2019
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Laporan e-Economy SEA 2019 adalah hasil riset Google, Temasek Holdings Pte, dan Bain & Company. Ekonomi internet atau ekonomi digital dilihat dari nilai barang dagangan (GMV). Laporan itu meriset lima sektor, yaitu perdagangan secara elektronik atau e-dagang, media dalam jairngan, ride hailing, wisata dan perjalanan, serta jasa keuangan digital.
Pada periode 2015 sampai dengan semester I-2019, tujuh perusahaan teknologi berstatus unicorn di Asia Tenggara mengumpulkan pendanaan 24 miliar dollar AS. Saat ini, perusahaan berstatus unicorn di Asia Tenggara adalah Bigo, Bukalapak, Gojek, Grab, Lazada, Razer, OVO, SEA Group, Traveloka, Tokopedia, dan VNG. Adapun aspiring unicorn adalah Carousell, Zilingo, Carro, dan PropertyGuru.
Laporan e-Economy SEA 2019 menyebutkan, sekitar 70 perusahaan aspiring unicorn mengumpulkan pendanaan sekitar 5 miliar dollar AS sejak 2016. Pada semester I-2019, investasi yang mereka terima sekitar 1,1 miliar dollar AS.
Laporan itu juga menyebutkan, ketegangan perdagangan Amerika Serikat dan China yang meningkat telah menurunkan perdagangan dan membatasi pengeluaran investasi. Situasi ini berdampak terhadap pendanaan bagi pelaku usaha ekonomi digital global.
Menurut data Crunchbase, pendanaan ventura global diprediksi turun 17,5 persen pada triwulan II-2019. Namun, pendanaan ke Asia Tenggara tetap lancar.
Co-Founder and Managing Partner East Ventures Willson Cuaca, dalam diskusi Investment Landscape in Asia, Selasa (8/10/2019), di Jakarta, menyebutkan, investasi sedang melimpah. Kesenjangan akses investasi bukan lagi permasalahan utama di ekosistem usaha rintisan bidang teknologi.
Diskusi Investment Landscape in Asia adalah bagian dari konferensi Tech In Asia 2019.
Dalam lima tahun terakhir, lanjut dia, pemerintah Indonesia mengupayakan kemudahan berinvestasi ke usaha rintisan bidang teknologi. Sementara, dari sisi pasar, kelas menengah Indonesia sedang tumbuh. Kedua faktor ini menjadi daya tarik bagi investor.
Selama 10 tahun beroperasi, East Ventures berinvestasi ke lebih dari 160 perusahaan rintisan bidang teknologi tahap awal pertumbuhan. Dua diantaranya telah menjadi perusahaan bervaluasi hingga satu miliar dollar AS, yaitu Traveloka dan Tokopedia.
Willson menegaskan, East Ventures akan tetap fokus menyuntikkan dana ke perusahaan rintisan bidang teknologi di tahap awal pertumbuhan.
Meningkat
Joint Head, Investment Group sekaligus Joint Head, Portofolio Strategy & Risk Group di Temasek, Rohit Sipahimalani, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (7/10), mengatakan, jumlah kesepakatan suntikan investasi di Indonesia naik setiap tahun. Pada 2016, tercapai 166 kesepakatan, yang meningkat menjadi 181 pada 2017 dan 349 pada 2018.
Founding Partner Golden Gate Ventures Vinnie Lauria berpendapat, keunikan di Asia Tenggara, setiap negara memiliki fokus permasalahan berbeda. Solusi yang diciptakan perusahaan rintisan mengikuti persoalan itu.
Vinnie menambahkan, e-dagang juga masih menarik bagi investor. Sektor ini baru menyumbang sekitar tiga persen terhadap total perdagangan ritel, meskipun tingkat pertumbuhan pendapatannya cukup tinggi.
Co-Founder, Program Director & Entrepreneur in Residence, Accelerating Asia, Craig Dixon, berpendapat, ekosistem usaha rintisan bidang teknologi di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, tetap menarik di mata investor. Penduduk Indonesia punya sejumlah permasalahan yang salah satunya bisa diselesaikan menggunakan teknologi, misalnya pekerja migran yang kesulitan mengirim remitansi ke keluarga mereka.
Oleh karena itu, arus pendanaan kepada usaha rintisan bidang teknologi akan tetap mengalir, terutama kepada usaha yang mampu menciptakan solusi efektif bagi warga.
Craig mengatakan, dukungan pemerintah terhadap ekosistem usaha rintisan juga menjadi daya tarik investor.
Meski demikian, dia menyayangkan, sejauh ini, aliran pendanaan kepada perusahaan rintisan belum merata ke setiap tahap tumbuh kembang. Aliran pendanaan belum masif terjadi di perusahaan rintisan di tahap awal pertumbuhan.
Accelerating Asia merupakan pengelola program akselerasi bisnis, perusahaan modal ventura, dan konsultan inovasi bagi perusahaan rintisan bidang teknologi. Di Asia, Accelerating Asia baru saja menggelar program akselerasi bisnis angkatan pertama. Program ini diperuntukkan bagi perusahaan rintisan bidang teknologi dari berbagai sektor industri, antara lain pengiriman, teknologi finansial, dan pengelola data raksasa. (MED)-MEDIANA
Sumber: Kompas, 9 Oktober 2019